Trubus — Global Compettiveness Indeks (GCI) alias indeks daya saing dunia menggambarkan daya saing setiap negara di dunia menghadapi revolusi industri keempat, yang lazim disebut era industri 4.0 atau 4IR. Riset Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum, WEF) itu mengukur beragam faktor yang tumbuh paling pesat di suatu negara ketika menerapkan revolusi industri keempat (4IR). Faktor-faktor itu antara lain sumber daya manusia, kemampuan berinovasi, ketahanan, dan keterampilan.
Dalam Insight Report: The Global Competitiveness Report 2019, WEF menyatakan negara terkompetitif di dunia adalah Singapura. Negara dengan ikon patung singa merlion itu bahkan mengungguli Amerika Serikat yang berada di peringkat kedua. Sementara itu Indonesia berada di 4 terbawah Asia Tenggara, hanya mengungguli Filipina (posisi 64), Vietnam (posisi 67), dan Laos (posisi 113). Tetangga dekat sesama anggota ASEAN yang posisinya lebih tinggi ketimbang Indonesia antara lain Malaysia (peringkat 27), dan Thailand (40).
Berlimpah modal
Lebih mengerikan lagi kalau melihat indeks inovasi dunia (Global Innovation Index, GII). Pada 2019, posisi Indonesia nomor 85 dari 129 negara. Dengan skor hanya 29,8, Indonesia berada di posisi kedua terbawah Asia, setingkat di atas Kamboja. Pemicunya, rendahnya kapasitas adopsi ilmu pengetahuan dan teknologi dan penciptaan inovasi. Jumlah sumber daya manusia (SDM) iptek terbatas dan hanya 14,08 persen di antaranya yang melewati jenjang pendidikan doktoral.
Jumlah peneliti di Indonesia juga sangat sedikit, hanya 89 orang per 1 juta penduduk. Dari semua peneliti itu pun hanya beberapa yang risetnya benar-benar aplikatif. Riset perbandingan kadar atau penapisan zat aktif hanya bermanfaat bagi periset lain yang akan menggunakan bahan itu. Namun bagi masyarakat umum, kegunaan riset seperti itu kecil sekali. Belanja untuk proses penelitian dan pengembangan (research and development, RND) Indonesia pun minim. Indonesia membelanjakan sebanyak US$2,13 juta—setara Rp29,9 miliar dengan kurs Rp14,06 per US$. Angka itu hanya satu per seribu bagian produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Bandingkan dengan belanja penelitian dan pengembangan negara maju, antara lain Singapura (2,2% PDB), Korea Selatan (4,3% PDB), Cina (2% PDB), atau Amerika Serikat (2,7% PDB). PDB menggambarkan total nilai perdagangan barang dan jasa dalam suatu negara selama setahun. Komposisi keikutsertaan swasta atau industri strategis pun berbeda. Dana penelitian dan pengembangan Indonesia terdiri atas 39% anggaran pemerintah, 34,9% anggaran perguruan tinggi, dan sisanya 26% anggaran swasta. Di negara maju, kontribusi penelitian dan pengembangan kalangan swasta lebih dari 60%.
Apa hasilnya? Penelitian di negara maju terarah, aplikatif, dan komersial. Proses penelitian dan pengembangan efektif mendorong penciptaan lebih banyak lapangan kerja, memacu produktivitas bisnis, dan meningkatkan daya saing. Di tanah air kebanyakan laporan penelitian tertumpuk bisu di tembok dingin perpustakaan. Saat industri lokal mencari riset pendukung, sering kali mereka harus berpaling ke mancanegara dan membayar hak paten sebelum mengadopsi suatu teknologi.
Pemerintah Indonesia menyadari masalah itu. Dalam pidato peringatan Hari Kemerdekaan ke-74 RI, Presiden RI Ir. Joko Widodo menekankan pentingnya SDM yang kompetitif, produktif, inovatif, dan berideologi Pancasila untuk menghadapi persaingan. Negara ini memiliki banyak modal untuk menjadi besar. Bonus demografi dengan jumlah saat ini 269 juta jiwa atau 3,49% dari total populasi dunia. Biodiversitas terbesar—17% total keanekaragaman hayati di muka Bumi—nomor dua dunia setelah Brasil dengan 10% jumlah tumbuhan, 12% mamalia, 16% reptil, 17% burung, dan 25% ikan dunia hidup di Indonesia.
Kita harus mengantisipasi era disruptif 4IR melalui aplikasi iptek yang relevan dan mutakhir. Pendidikan harus menghasilkan SDM kompetitif dalam karakter dan ilmu pengetahuan. Manusia Indonesia harus berkarakter pekerja keras dan menguasai keterampilan terkini. Salah satunya melalui pembentukan kawasan sains dan teknologi (KST). Menurut Perpres no. 106/2017, KST adalah wahana yang dikelola profesional untuk memacu pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui pengembangan dan penerapan iptek serta penumbuhan Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (PPBT).
Pentaheliks
Salah satu KST yang baru-baru ini diresmikan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir adalah KST Padjadjaran di Kompleks Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Tujuan KST memperlancar penghiliran dan komersialisasi teknologi. Sebelum sampai ke hilir, inovasi mesti diinkubasi. KST menjadi wadah yang pas untuk proses inkubasi. Komersialisasi teknologi hasil inovasi itu bisa menjadi salah satu sumber pemasukan bagi kampus.
Pengembangan kapasitas inovasi SDM tidak mungkin dilakukan sendiri-sendiri. Lima komponen pokok negara (pentaheliks), yang terdiri atas kampus atau akademisi, pebisnis, pemerintah, masyarakat, dan media massa (academian businessman government community media, ABGCM) perlu aktif terlibat. Tentu saja perguruan tinggi menjadi lokomotifnya. Perguruan tinggi fokus mengembangkan bidang ilmu yang menjadi keunggulan dengan membangun jejaring kerjasama antarperguruan tinggi maupun berbagai pusat riset dalam dan luar negeri.
Peningkatan kerja sama riset otomatis memacu produktivitas penelitian, baik jumlah publikasi dosen di jurnal internasional, jumlah sitasi, maupun paten atau hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Sistem inovasi di Indonesia perlu terus dikembangkan untuk mendorong produktivitas ekonomi. Salah satu upaya untuk meningkatkan inovasi teknologi, adalah perlunya membangun ekosistem inovasi yang didukung dengan komitmen peningkatan belanja litbang nasional.
Untuk mencapai tujuan itu tentu saja tidak semudah membalik telapak tangan. Peralatan riset yang memadai belum tersedia sehingga riset aplikatif sedikit. Selain itu, SDM belum sepenuhnya memiliki soft skills yang kuat untuk membangun karya-karya inovatif yang mampu menghilir. Hal terakhir adalah tata kelola (good governance) dari pemangku kebijakan belum optimal mewujudkan KST berdaya saing dan bernilai komersial. Namun, kalau semua tantangan itu teratasi, niscaya bangsa ini mampu menjadi negara besar dengan mengandalkan karya inovatif sebagai sumber devisa. (Prof. Sapto P. Putro, M.Si, Ph.D, dosen senior Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro)