Pembangunan embung bagai lokomotif yang menarik banyak gerbong: produksi meningkat dan kesejahteraan petani melonjak.
Trubus — Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Syair Kolam Susu itu mengingatkan kita, Indonesia sebagai surga untuk budidaya beragam tanaman. Sinar matahari sepanjang tahun dan lahan subur membentang di negeri ini. Curah hujan pun tinggi, rata-rata 2.000—3.000 mm per tahun. Sayangnya, air hujan itu acap kali menjadi limpasan atau terbuang karena kurang optimalnya penampungan air.
Padahal, air juga menjadi kebutuhan para petani untuk membudidayakan tanaman. Ketersediaan air amat vital bagi kegiatan pertanian. Periset di Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Najla Anwar Fuadi, membuktikan, kebutuhan air bersih di sawah konvensional rata-rata 6,55 mm per hari. Adapun petani yang menerapkan System of Rice Intensification (SRI) membutuhkan air 4,67 mm per hari.
Usaha pertanian
Bila setiap tetes air hujan itu termanfaatkan, keruan saja irigasi untuk pertanian bisa lebih optimal. Harap mafhum masih banyak daerah pertanian di Indonesia yang mengandalkan tadah hujan. Mereka hanya bisa bercocok tanam ketika musim hujan. Menurut data Kementerian Pertanian pada 2017, areal tadah hujan di Indonesia mencapai 4 juta hektare.
Mengoptimalkan lahan tadah hujan itu petani berpeluang untuk menanam 2—3 kali setahun. Oleh karena itu, potensi pendapatan hingga Rp100 triliun—Rp200 triliun. Salah satu kiat mengoptimalkan pemanfaatan air hujan adalah menampungnya dalam embung. Tujuannya agar kelebihan air pada musim hujan bisa dipergunakan pada musim kemarau.
Embung adalah penampungan air hujan yang digunakan pada saat musim kemarau untuk tujuan irigasi dan air bersih. Penggunaan embung amat erat kaitannya dengan irigasi pertanian, terutama di daerah yang jauh dari sumber air. Penggunaan embung sangat cocok di areal pertanian tadah hujan.
Kementerian Pertanian mengembangkan 1.000 embung di berbagai daerah dengan dana Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) pada 2017—2018. Sebuah embung mampu mengairi lahan 25 hektare. Pembangunan embung itu termasuk dam parit dan long storage. Ketiga bangunan itu pada prinsipnya berupa tampungan air dan mempunyai karakteristik yang berbeda tergantung jenis sumber air, bentuk tampungannya, dan cara pemanfaatannya.
Omzet melonjak
Tidak hanya air hujan, sumber air potensial lain seperti air sungai, air parit, suplesi air irigasi, hingga air dari mata air pun bisa ditampung pada embung. Menurut Pedoman Teknis Pembuatan Embung (PSP, 2017), volume tampungan embung atau long storage terkecil 500 m³ dan debit minimal dam parit 5 liter per detik mampu mengairi lahan minimal 25 ha.
Di beberapa daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), pendapatan petani melonjak signifikan setelah ada embung pada 2017. Itu karena pertanaman meningkat menjadi 2 kali setahun, sebelumnya sekali setahun. Salah satu embung itu ada di Desa Sembalunlawang, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dibangun untuk menunjang swasembada bawang putih pada 2019.
Petani bawang putih setempat kini bisa 2—3 kali menanam dalam setahun. Embung dikerjakan sejak 2017 berdasarkan usulan dari kelompok tani (poktan) di Desa Sembalunlawang. Tiga kelompok tani itu adalah Langsuna Unggul untuk lahan seluas 45 hektare, Horsela (55,5 ha), dan Gumilang (42,27 ha). Embung di ketinggian 100 meter di atas lahan bawang putih.
Itulah sebabnya untuk mengalirkan air ke lahan pertanian bawang putih hanya mengandalkan gaya gravitasi. Petani di Bumi Gora—sebutan untuk Nusa Tenggara Barat—bukan satu-satunya yang menikmati faedah embung. Lihat saja para petani di Desa Antapan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Bali, juga merasakan keberadaan embung, terutama ketika memasuki musim kemarau.
Embung meningkatkan efisiensi waktu petani dalam mengolah lahan di desa berketinggian 800 meter di atas permukaan laut itu. Dua embung berkapasitas total 72 meter kubik mampu mengairi 6.000 meter persegi lahan dengan 72.000 liter debit air. Desa lain di Bali yang juga merasakan faedah embung adalah Desa Bukti, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng.
Keberadaan embung di desa itu tidak lepas dari program bioindustri yang diusung oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan). Semua Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) di 33 provinsi mewujudkan program itu. Dukungan Kementan dengan memfasilitasi pembangunan infrastruktur berupa sarana penampung air (atau embung), hidran (pompa air) untuk kelompok, dan kandang yang dilengkapi sarana produksi pupuk organik padat dan cair.
Pengembangan embung pertanian terbukti dapat mengurangi risiko kegagalan usaha tani dan meningkatkan Indeks Pertanaman (IP), dan meningkatkan luas tambah tanam (LTT). Selain itu embung juga meningkatkan produksi sehingga meningkatkan ketahanan pangan nasional. Apalagi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) juga memperingatkan agar masyarakat waspada terhadap kemungkinan cuaca ekstrem. Jadi sedia embung sebelum kemarau menjadi solusi tepat. (Ir. Lilik Winarti, M.Si, penyuluh pertanian di Kementerian Pertanian)