Trubus — Jalan tol Trans Jawa mendekatkan saya dengan “wedang soklat”. Setelah macet di tol Cikampek, mobil meluncur ke Gunung Kidul. Di dusun Semanu, petugas keamanan bernama Supri menghidangkan satu gelas cokelat panas. Untuk kali pertama, saya mendapat minuman surgawi itu di sebuah desa. Dahulu tidak begitu. Meskipun tanaman kakao merata sampai ke pelosok, minuman dan olahan cokelat susah didapat.
Pada Januari 2019, seorang satpam menyodorkan cokelat panas racikannya sendiri. “Wedang soklatmu sendiri mana?” Ternyata dia malah belum minum. Begitu juga sopir yang membawa kami ngebut dari Jakarta. Cokelat panas seolah-olah baru dinikmati oleh para tamu. Khususnya, kaum milenial, belum menjadi tuan rumah di desa sendiri. Inilah masalah utama pasar kakao.
Saya langsung ingin bersumpah, “Belum sepenuhnya bahagia kalau sopir, satpam, dan rakyat jelata belum suka menikmati cokelatnya sendiri.” Indonesia punya 1,6 juta hektare kebun kakao. Ekspor kakao memberikan devisa nomor 4 terbesar di antara produk pertanian. Komoditas itu hanya kalah dari kelapa sawit, karet, dan kelapa. Kalau saja pasar setempat bisa diperkuat, kualitas dan kuantitas kakao Indonesia bisa makin berkibar.
Desa cokelat
Untungnya kini muncul desa cokelat di mana-mana. Ada kampung cokelat di Blitar, “doesoen kakao” di Banyuwangi, dan beragam kafe, warung, pusat-pusat wisata cokelat di seantero Jawa yang telah tersambung jalan tol itu. Satu contohnya adalah Kampung Cokelat Majapahit di Dlanggu, Mojokerto. Berawal pada 2012, sejumlah petani di Desa Randugeneng menanam kakao di lahan 450 hektare.
Seorang pemilik pabrik di situ, Mulyono, dikabarkan setiap hari mampu menghasilkan 200 kg cokelat olahan. Itulah yang dilabeli Cokelat Majapahit, dijual dengan harga terjangkau. Bahan bakunya berasal dari sekitar 1.300-an petani kakao di Dlanggu itu, yang setiap bulan memanen 34 ton kakao. Sebelum menanam cokelat, mereka adalah petani tebu dan tembakau yang sering menderita gagal untung.
Ide dari kampung cokelat berawal dari Blitar. Desa Plosorejo mulai menjadi destinasi wisata edukasi karena menanam kakao sejak 2000. Pengolahan dan promosi menjadi “Kampung Cokelat” baru mulai 2004. Itulah yang dibanggakan sebagai awal sejarah pemasyarakatan konsumsi cokelat di kampung halaman kita. Sekarang, Mulyono berharap minimal perlu ada kios penjual cokelat di setiap kecamatan.
Mengapa konsumsi cokelat itu penting? Coba periksa 17 khasiat cokelat untuk kesehatan. Olahan buah kakao Theobroma cacao bukan hanya penambah energi. Dari namanya saja, theobroma, berarti “kudapan dewa”. Cokelat memberikan ketenteraman batin, karena melindungi jantung, mencegah kanker, menyegarkan otak sampai menghaluskan kulit. Jangan heran kalau dikatakan, “Cokelat bisa mengatur perasaan, sedangkan kakao menyehatkan perekonomian.”
Dalam berbagai kesempatan saya katakan, cokelat adalah makanan yang membuat manusia paling bahagia. Jasa-jasanya bisa dirunut sampai tahun 1900 sebelum masehi. Di kalangan orang Indian Amerika Selatan, biji cokelat bahkan pernah dijadikan pengganti mata uang. Gaji para rohaniwan pun dihitung dengan biji kakao.
Buta pasar
Sekarang, ada bank perkreditan rakyat di Gunung Kidul yang menaruh harapan masa depan pada pabrik pengolahan cokelat. Saya pikir itu tidak salah sama sekali. Namun, pendidikan publik agar lebih memahami cokelat perlu sangat ditingkatkan. Situs Kakao Indonesia menyatakan lebih dari 80 persen petani kakao kita menderita buta pasar. Banyak yang tidak tahu cara menjual hasil panen. Indikatornya kentara pada saat ditanya berapa harga satu kilogram kakao mentah.
Harga terendah yang sering terdengar Rp23.000 per kilogram. Pertanyaan lanjutannya adalah, bagaimana meningkatkan harga itu menjadi Rp25.000. Sungguh mengejutkan bila sebagian besar menjawab: tidak mungkin! Kenyataanya, di Jakarta harga cokelat mentah bisa dua kali itu. Jadi mengapa tidak mungkin? Karena belum banyak petani yang pandai memilih jenis kakao, teknik memanen salah, dan kualitas panennya rendah.
Jangan heran kalau ekspor kakao Indonesia sering kena denda (penalti) di pasar New York, Amerika Serikat. Jadi, keperluan mendesak adalah kursus menanam kakao yang berkualitas tinggi. Bila petani pandai menjaga kualitas panen, pintar memilih jenis cokelat yang disukai, penghasilannya bisa meningkat drastis. Lebih dari itu, teknik pengolahan cokelat perlu dimasyarakatkan sampai ke desa-desa. Terutama pada Februari, ketika seluruh dunia merayakan hari Valentine, dengan cokelat sebagai rajanya.
Indonesia memenuhi tujuh syarat ideal untuk menjadi Negeri Kudapan Dewa – alias tanah air cokelat yang lezat dan penuh manfaat. Kakao tumbuh sehat di bawah ketinggian 800 meter, sinar matahari, pasokan air, kelembapan, suhu sehari-hari, kondisi tanah dengan unsur haranya, bahkan tanaman naungannya. Jadi, sayang benar bila keunggulan itu tidak dimanfaatkan. Mendengar cokelat akan menjadi primadona, bila mulai dari desa, Pak Supri yang menyajikan cokelat panas itu pun gembira.
Cepat-cepat ia membuat pembibitan cokelat dan berjanji akan menanam kakao di seputar rumahnya. Para penyalur kredit di perdesaan perlu cepat bertindak. Ilmu tentang cokelat– Kakaologi, budidaya kakao natural, pedoman bertani kakao organik kini saatnya disebarluaskan. Apa lagi bila mesin-mesin pengolah cokelat mulai menyebar. Kita tidak lagi kecanduan produk olahan Inggris, Belanda, dan Swiss.
Dari dulu seharusnya kita terlatih mengolah dan menikmati cokelat di desa-desa. Semua paham berkah wedang soklat—sebutan cokelat di lidah masyarakat Jawa–yang bikin pandangan mata jernih dan otak bekerja lebih lincah. Tentu saja, hati tenteram dan bahagia. Itulah berkat soklat di Nusantara.***
*) Budayawan, Kolumnis Trubus sejak 2001, aktivis Tirto Utomo Foundation dan kebun organik Jababeka, Cikarang