Mark Sungkar mengembangkan beragam teknik pertanian modern nirtanah.
Mark Sungkar menuai 72 kg selada di lahan 6 m² pada Agustus 2018. Padahal penanaman secara konvensional hanya menghasilkan sekitar 24 kg selada di lahan sama berjarak tanam 20 cm x 25 cm.

Produktivitas melonjak 200% lantaran Mark menggunakan instalasi aeroponik kreasi sendiri. Kerangka perangkat itu dari baja ringan. Stirofoam setebal 5 cm menjadi media peletakan pot tanaman.
Instalasi membentuk segitiga sehingga memiliki dua sisi penanaman. Total jenderal terdapat 12 stirofoam berukuran 1 m x 1 m. Setiap stirofoam berisi 30 lubang tanam yang menghasilkan minimal 6 kg selada. Jadi satu instalasi itu menghasilkan 72 kg selada. Beberapa restoran di Puncak, Kabupaten Bogor, siap menampung sayuran anggota famili Brassicaceae itu.
Akuaponik
Mark Sungkar menuturkan, “Itulah yang disebut urban farming. Jika pembeli ada di Jakarta, maka lokasi penanaman juga di Jakarta. Produk urban farming harus segar. Jika perlu budidaya tanaman di restoran.” Aktor film pada era 1970—1980-an itu menyebut instalasi aeroponik karena pemberian nutrisi menggunakan nozel berukuran 0,4 mm sehingga seperti kabut.

Menurut ahli aeroponik di Jakarta, Ir. Yos Sutiyoso, secara harfiah, aeroponik berarti bercocok tanam di udara. Pada aeroponik akar memang tumbuh di udara karena tanpa media tanam. Pemberian nutrisi dengan menyemprotkan larutan hara secara berkala. Mark menggunakan 6 nozel berlubang 5. Pemberian nutrisi setiap hari mulai pukul 06.00—19.00. Pengatur waktu bertugas mengatur pemberian nutrisi.

Saat itu Mark menyetel pengatur waktu untuk menyemprotkan nutrisi selama 1 jam, lalu berhenti 1 jam. Ia menggunakan pupuk hayati racikan sendiri dalam sistem itu. Mark merancang instalasi aeroponik itu sejak Maret 2018. Ia terinspirasi dengan bentuk piramida sehingga terbentuklah instalasi yang berbentuk segitiga itu. “Jika benar seperti piramida memerlukan ruang besar. Jadi bentuk ini lebih praktis,” kata pria bernama lengkap Mubarak Ali Sungkar itu.

Mark berencana menggunakan sistem aeroponik itu untuk memproduksi selada pesanan restoran karena praktis. Lebih lanjut ia menuturkan keunggulan aeroponik antara lain lebih hemat air dan lebih kaya oksigen. Akar pun lebih bersih sehingga lebih optimal menyerap nutrisi dan oksigen. Yang pasti instalasi itu pun cocok di lahan sempit. Sejatinya kali pertama Mark mengembangkan model aeroponik seperti itu ketika ia mengikuti pameran pertanian pada 2013.
Saat itu ia membawa instalasi lebih kecil dengan total jenderal ada 8 lubang tanam di kedua sisi. Ia menghubungkan perangkat itu dengan kolam kecil berisi ikan. Mark menyebut model itu akuaponik aeroponik. Saat itu pengunjung pameran asal Jepang takjub melihat selada seukuran kol. Selain aeroponik, Mark pun memiliki instalasi akuaponik—budidaya sayuran dan ikan sekaligus.
Lebih cepat panen
Salah satu yang menarik perhatian adalah akuaponik bersistem nutrient film technique (NFT) yang mengalirkan nutrisi setipis film. Perangkat akuaponik itu tersusun dari pipa sepanjang sekitar 5 m dan tersusun atas 3 tingkat. Tanaman di tingkat terbawah mendapatkan pencahayaan tambahan dari lampu light emitting diode (LED) mulai pukul 18.00—21.00 setiap hari.

Musababnya, tanaman di tingkat pertama tidak terpapar sinar matahari penuh. Terdapat 5 lampu di tingkat pertama dan kedua. Ketika Trubus berkunjung selada dalam instalasi aeroponik NFT itu berumur 2 pekan. Pertumbuhan selada yang diberi lampu LED lebih cepat dibandingkan dengan yang tanpa lampu. “Bisa dipanen pada umur 30 hari setelah tanam (hst) atau 5 hari lebih cepat daripada tanaman tanpa lampu. Lazimnya panen selada 35—40 hst,” kata yang pehobi bertani sejak duduk di sekolah dasar (SD) kelas 2 itu.
Mark menghitung penggunaan LED masih ekonomis. Ia berakuaponik sejak 2011 secara otodidak. Akuaponik memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan hidroponik antara lain lebih hemat air 97% dan masa simpan sayuran lebih lama. Dua hari di suhu ruang sayuran tetap segar. Masa simpan hingga sepekan jika dimasukkan ke dalam kulkas. Itu karena sayuran organik. (Riefza Vebriansyah)