Trubus.id— Wortel bisa diolah menjadi beragam produk seperti tepung dan mi. Selain awet, produk olahan wortel berpotensi meningkatkan nilai tambah. Mateus Kristiyanto, S.T., dari PT Lingkar Organik Indonesia, salah satu produsen yang mengolah wortel menjadi mi.
Perusahaan dari Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, itu mengolah wortel menjadi mi sejak 2013. Umbi tanaman anggota famili Apiaceae itu salah satu dari 10 varian mi sayuran kreasi PT Lingkar Organik Indonesia.
Beberapa sayuran lain sebagai bahan campuran mi yaitu bit, buah naga, dan sawi. Pasokan wortel dari Kelompok Tani Bumi Lestari. Total jenderal kebutuhan wortel segar organik mencapai 100—200 kg per bulan.
Perusahaan pangan organik sejak 2009 itu memproduksi 1.000 bungkus per hari. Satu bungkus mi terdiri atas 2 keping. “Total produksi mi per hari mencapai 2.000 keping,” kata Mateus. Masa simpan mi wortel hingga 10 bulan.
Pengolahan pangan berbasis wortel membantu petani menekan kerugian akibat harga anjlok ketika panen raya. Produksi yang besar ketika panen dan belum terserap pasar menjadi permasalahan yang kerap dijumpai petani.
Masyarakat dapat memanfaatkan potensi lokal itu secara optimal dengan membuat olahan penganan lokal berbahan dasar wortel. Pembuatan produk olahan wortel menjadi mi dan nuget sehat meningkatkan nilai gizi dan minat makan sayur.
Produk itu juga meningkatkan nilai tambah wortel dan sumber pendapatan rumah tangga sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Ahli Peneliti Madya di Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional Republik Indonesia (BRIN), Nurdi Setyawan, S.T.P., M.Agr., olahan produk pertanian merupakan upaya menurunkan tingkat kehilangan dan pemborosan makanan (food loss and food waste).
Panen raya membuat pasokan tinggi tetapi permintaan tetap sehingga hasil panen sulit terjual. Membuat produk olahan merupakan salah satu teknologi untuk mengurangi food loss and food waste dari sayuran segar.
Namun pembuatan produk olahan dengan cara dikeringkan dan digoreng pada suhu panas tertentu dapat mengurangi nilai gizi. Selain itu, senyawa akrilamida yang bersifat karsinogenik muncul dengan teknik penggorengan konvensional pada titik didih lebih dari 130°C.
Mantan Ahli Peneliti Muda Bidang Teknologi Pascapanen dari Balai Besar Penelitian Pascapanen itu mengatakan, saat ini ada teknologi pengolahan yang menekan penurunan nilai gizi yaitu vacuum frying.
Teknologi vacuum frying menekan tekanan panas sehingga titik didih turun. Suhu dengan titik didih 60—80°C membuat kandungan gizi penganan tidak banyak rusak dan terdegradasi akibat suhu panas ketika pengolahan.