Kemudian kaki dilangkahkan menuju blok diamond river di ujung kebun. Sesudah itu giliran pembibitan alpukat yang berjarak ratusan meter dari rumah mendapat perhatian. Terakhir, dalam perjalanan kembali ke rumah, deretan jeruk, durian, apple pear, dan leci asal Tiongkok dijenguknya.
Rute itulah yang ditempuh Mulyono ketika mengajak Trubus berkeliling di kebun seluas 7 hektar. Tak tampak tanda-tanda kelelahan di raut muka pria berusia 63 tahun itu lantaran sudah menjadi rutinitas. Desa Sijunjung, Kecamatan Sijangkung, Kabupaten Singkawang, lokasi kebun itu, memang bagaikan rumah kedua bagi hobiis buah itu. “Saya buka kebun ini pada 2000, tapi baru mengelola sendiri 8 bulan lalu,” paparnya sambil tersenyum.
Teras rumah adalah tempat favoritnya di sana. Tepat di depan rumah terhampar deretan 1.000 jeruk siem madu dengan latar belakang Bukit Passi. Bayangkanlah keindahannya jika bulan purnama muncul perlahan-lahan dari balik bukit itu. Sebuah pemandangan menakjubkan, seperti panorama alam pegunungan akan terlihat. Padahal, kebun buah itu hanya berjarak 6—7 km dari pantai Laut Cina Selatan.
Jika dibandingkan kolektor buah di seputaran Pontianak, Mulyono bisa disebut pendatang baru. Namun, kenekatannya mengumpulkan aneka ragam pohon buah, terutama dari luar negeri, membuat namanya melambung di Kalimantan Barat.Rombongan studi banding dari daerah lain adalah tamu yang kerapkali mengunjungi kebunnya. Di luar Kalimantan, anjungan provinsi Bumi Khatulistiwa itu sering menarik perhatian pengunjung karena koleksi buahnya yang tidak lazim. Itu kebanyakan berasal dari kebun mantan pengusaha kayu itu.
Aneka buah
Semua itu berkat ketekunannya mengumpulkan aneka ragam buah, baik lokal maupun introduksi. “Ada sekitar 20 jenis buah di sini. Koleksi buah paling lengkap (di Kalimantan Barat, red) saya pikir di sinilah,” kata pria yang menguasai 6 dialek bahasa Mandarin itu. Dengan luas lahan 7 ha–yang tertanami baru 5 ha—kebun Mulyono memang ibarat gado-gado. Manajemen kebun dengan gaya seorang hobiis pun terlihat sangat kental. Buktinya, saat ditanya nilai keseluruhan ia menggelengkan kepala, “Saya ngga tahu, ngga ngitung sih,” katanya.
Trubus melihat kebun itu didominasi oleh jeruk siem madu. Hanya saja, walaupun tanaman sudah berumur 3 tahun, satu pun belum ada yang berbuah. Tampak pula 40 batang alpukat hijau panjang dan merah panjang; 40 durian dari 10 jenis. Salah satunya ialah MDUR 88 asal Malaysia.
Pria yang pernah tinggal selama 20 tahun di Singapura itu menuturkan, di kebunnya ada 5 jenis jambu air, 2 jenis lengkeng, 4 varietas mangga, 10 pohon leci tanpa biji asal Cina, dan 3 varietas cempedak. “Rambutan juga banyak. Rambutan anggur dari Malaysia, tuh lagi berbunga,” ucapnya sambil menunjuk sosok pohon yang dimaksud. Terlihat pula kehadiran apple pear—kerabat putsa—dan biriba.
Meski koleksi di kebun campur aduk, Mulyono sudah menerapkan pilihan. “Saya mau konsentrasi ke jeruk madu, lengkeng, dan alpukat yang mau ditambah 150 pohon lagi,“ kata pria kelahiran Pontianak itu. Jambu air madu yang sekarang cuma 60 batang juga akan diperbanyak sampai 200 batang. Tekad membesarkan jeruk dan lengkeng kian termotivasi oleh kesuksesan kawan dekatnya, Hendrik, yang sudahmenuai uang dari kedua jenis buah itu (baca topik utama: Lengkeng Dataran Rendah, 8 Bulan Panen, halaman:12)
Alpukat dan jambu air digencarkan karena kedua buah inilah yang menjadipionir pemasukan uang. Dalam kurun waktu 8 bulan, Mulyono mulai merasakan nikmatnya panen alpukat dan jambu. Jumlahnya, yang hanya Rp1-juta—Rp2-juta, jelas tidak sebanding dengan pengeluaran per bulan. Toh, “Cukup buat beli pupuk,” katanya.
Kebun pria yang sering mondar-mandir ke Thailand itu memang cocok untuk buah-buahan. Tanahnya podsolik merah kuning dan berpasir sampai kedalaman 5 cm. Solum tipis diatasi dengan pemberian pupuk kandang. Untuk meningkatkan pH, tanah di seputar tajuk tanaman ditaburi garam nonyodium.
Air tidak menjadi masalah. Cukup dengan satu sumur sedalam 28 m, kebutuhan air untuk seluruh tanaman terpenuhi. Sumur itu tidak pernah kering walaupun kemarau. Untuk berjaga-jaga, bungsu dari 5 bersaudara itu membuat penampungan air berkapasitas 1.000 m3, yang sampai sekarang belum pernah terpakai.
Salah kelola
Mulyono memang beruntung memperoleh lokasi strategis itu. Dulu, awal 2000, ia membeli sepetak tanah di Sijunjung gara-gara panorama bulan di balik Bukit Passi. Namun, hobi menanam pohon buah-buahan mendorongnya untuk memperluas tanah secara berangsur-angsur sampai 7 ha.
Karena kesibukan mengelola penggergajian kayu di Palangkaraya, pengelolaan kebun itu diserahkan pada orang lain. Mulyono hanya berkunjung pada waktu-waktu tertentu. Sampai pertengahan 2003, secara teratur ia menyetor Rp6- juta per bulan untuk biaya operasional kebun. Namun sayangnya, semua itu tidak membuahkan hasil. “Banyak yang mati. Jeruk sudah 3 tahun belum ada yang berbuah gara-gara kebanyakan pupuk,” cerita Mulyono dengan geram. Puluhan cempedak king asal Kuching menambah daftar panjang kematian tanaman.
Akhirnya, 8 bulan lalu ia mengambil alih pengelolaan. Sawmill-nya di Palangkaraya ditutup. Jeruk yang selama ini mogok berbuah dibongkar. Tanah dibersihkan atau pohon dipindah tanam sambil membenamkan 5—6 kg pupuk kandang. Setelah ditangani sendiri koleksi tanaman di sana bertambah banyak dengan kehadiran durian.
Sisa-sisa salah pengelolaan tanaman masih terlihat saat Trubus berkunjung ke kebunnya akhir Maret. Ambil contoh lengkeng pingpong. Dengan umur yang sama, 3 tahun, tinggi pohon bervariasi antara 1—3 m. Jeruk yang 3 tahun lalu ditanam, tingginya belum beranjak dari 1 m. Toh, 100 lengkeng diamond rivernya tumbuh subur. Demikian pula dengan jambu air dan alpukat.
Langka
Lengkeng adalah tanaman yang kian melambungkan nama Mulyono di Kalimantan Barat. Ia bisa dianggap sebagai pionir penyebaran lengkeng dataran rendah di sana (baca:Dari Sijangkung Wabah itu Berawal, halaman :20). Betapa tidak, sebagian besar pembibit di Kalimantan Barat pada awalnya memperoleh bibit dari pria berkacamata itu.
Inilah salah satu bukti kenekatan pekebun yang mahir berbahasa Kek, Tiociu, Hokian, Kantan, Mandarin, dan Hailam itu. Meskipun belum pernah menanam lengkeng, ia berani memboyong 100 diamond river dari Kuching ke Singkawang dengan mobil. Jumlah itu malah ditambah lagi dengan 200 batang dalam waktu tidak terlalu lama.
Leci tanpa biji dari Cina dan rambutan anggur asal Malaysia menjadi harapan berikut dari Mulyono. Mangga okyong, arumanis, dan gadung menunggu giliran untuk dikembangkan. Biriba yang khas Kalimantan dan buah tho cina juga melengkapi koleksi di kebun itu.
Kelak suatu waktu, dari kebun yang berdekatan dengan lokasi agrowisata Taman Bugenvil itu mungkin keluar pula buah dan bibit MDUR 88. Kebun buah di Sijunjung itu, karena koleksinya lengkap, memang pantas dinobatkan sebagai rumah kedua bagi Mulyono. (Onny Untung/Peliput: Evy Syariefa)