Selama ini, kegiatan mempersiapkan untuk pertanaman lahan kentang menyita waktu dan tenaga. Usai panen, tanah diberakan dahulu selama 1—2 minggu. Selanjutnya tanah dibajak untuk dibalikkan posisinya, dan dibiarkan beberapa hari hingga seminggu.Tanah kembali dicangkul atau digaru agar menjadi remah dan gembur.
Sebelum dibuat guludan atau bedengan, tanah didiamkan 2—3 hari. Pemupukan baru dilakukan beberapa hari kemudian. Lagi-lagi, tanah dinonaktifk an selama seminggu. Setelah itu, baru bibit ditanam. Total jendral, waktu yang dibutuhkan untuk persiapan lahan saja minimal sebulan.
Wildan memangkas waktu yang dianggapnya terlalu lama itu dengan cara pengolahan tanah minimal atau minimum tillage. Cara ini membuat proses persiapan lahan menjadi kilat hanya 2—3 hari. Ada dua cara yang dipakai Wildan. Pertama, cara dilaci atau sistem buka-tutup. Langkah-langkahnya, setelah panen usai, parit di antara guludan ditimbun dengan tanah dari guludan. Setelah itu diratakan dan langsung ditanami.
Gulma yang tumbuh pada parit tidak dicabut atau dimusnahkan dengan herbisisda, tapi cukup ditimbun. Lama kelamaan gulma akan mati dan membusuk menjadi sumber hara. Hanya saja, cara ini perlu banyak tenaga kerja. Untuk menimbun parit, tidak bisa menggunakan traktor, melainkan harus dengan cangkul. Oleh sebab itu, pengolahan tanah minimal cara ini cocok untuk lahan miring yang tidak bisa memakai traktor.
Cara kedua, tanah dicangkul untuk membuat garitan agar traktor berjalan lurus. Jarak antargari tan 70—120 cm. S a m b i l m e m b u a t g a r i t a n , pupuk kandang ditabur, lalu menyusul pupuk buatan. Berbeda dengan biasanya, pemberian pupuk kandang setelah terbentuk guludan di sekitar lubang tanam. Dengan cara Wildan, pupuk justru diberikan sebelum dibentuk bedengan atau guludan.
Setelah pupuk ditaburkan merata, baru dibajak dengan traktor jika lahan datar. Pembajakan ini sekaligus mencampurkan pupuk kandang dan buatan yang sudah ditaburkan tadi. Sembari merampungkan bajakan, 2—3 orang dikerahkan untuk meratakan tanah yang telah dibajak. Tidak perlu seluruhnya, pilih saja permukaan tanah yang kurang rata. Selanjutnya, lahan diberakan cukup sehari saja. Setelah itu, bibit langsung ditanam.
Hemat waktu dan biaya
Dengan urutan kerja seperti di atas, pengolahan lahan minimal ini lebih menghemat waktu, hanya 2—3 hari. “Bahkan, hari itu panen, hari itu juga bisa ditanami,”tegas Wildan. Tak hanya itu, yang pasti, makin sederhana persiapan lahan, biaya tenaga kerja pun semakin irit. Hitunghitungan Wildan, untuk mengerjakan pengolahan tanah sistem konvensional pada lahan 1 ha, dibutuhkan 50—70 HK per ha. Jika upah Rp15.000/ HKP, maka total biaya tenaga kerja bisa mencapai
Rp 7 50.000 — R p 1.050.000. Sementara, dengan cara Wildan cukup merogoh Rp150.000— Rp450.000 karena hanya membutuhkan 10— 30 HK.
Hasil panen pun meningkat. “Tak disangka, dengan cara dilaci, meski olah tanah minimal, hasilnya cukup optimal,” ungkap Wildan. Biasanya ia memanen 25 ton per hektar. Pada panen Oktober lalu, hasilnya menjadi 27 ton. Pasalnya, cara dilaci kedalaman lubang tanam lebih dalam. “Biasanya 20 cm, dengan cara dilaci bisa 30—40 cm,” tambahnya. Dengan begitu, umbi tumbuh leluasa dan tanaman kentang menjadi tahan kering, serta kulitnya lebih halus.
Cara dilaci ala Wildan didukung Ir Gustaaf A Wattimena Ph.D, guru besar bidang hortikultura dan kultur jaringan Institut Pertanian Bogor. “Cara itu dipakai juga petani kentang di Modoinding, Manado, Sulawesi Utara. Hasilnya bagus, bisa 20 ton/ha,” ujar Gustaaf.
Untuk cara yang kedua, belum bisa dilihat hasilnya. Maklum, karena baru dimulai Oktober lalu. Meski begitu, tandatandanya sudah terlihat. “Pertumbuhan vegetatifnya setara dengan cara biasa. Bahkan, kemungkinan lebih bagus,” paparnya. Pernyataannya itu bukan tanpa alasan. Dengan pencampuran pupuk saat membajak, unsur hara akan tersebar merata. Dengan begitu, akar bekerja keras menjangkau unsur hara, sehingga pergerakannya makin meluas. Alhasil, umbi yang terbentuk pun makin melimpah.
Selain itu, risiko akar terbakar juga bisa ditekan. “Kalau akar langsung menyentuh pupuk, bisa terbakar,” jelas alumnus Jurusan Ilmu Tanah Insitut Pertanian Bogor itu. Menurut Wildan, jika pupuk dicampur terlebih dahulu, maka konsentrasi pupuk dalam tanah tidak terlalu pekat. Jadi, meski langsung bersentuhan, tak usah gentar tanaman menjadi gosong.
Begitu pula dengan struktur tanah. Jika tanah terlalu sering diolah, bisa merusak jaringan miselia cendawan yang mengikat tanah. Biarkan tanah berbentuk butiran kasar karena membuat porositas tanah tinggi. Dengan begitu, akar dan umbi akan tumbuh lebih leluasa. Umbi pun tidak mustahil semakin besar dan akhirnya produktivitas meningkat.
Menanggapi cara olah tanah Wildan, Hendro Soenaryono, salah seorang pakar pertanian saat ditemui di acara Temu Pakar, Trubus Agro Expo 2005 menjelaskan bahwa cara itu bisa dilakukan selama lahan tidak punya riwayat terkena penyakit. “Jika pernah terkena penyakit, mau tidak mau harus diberakan atau rotasi tanaman,” papar Hendro.
Inspirasi
Ide meminimalkan pengolahan lahan hanya berdasar logika Wildan. Sejak awal 2005, ia selalu termenung. Dari cara budidaya yang selama ini ia pakai, sepertinya ada tahapan budidaya yang bisa dipangkas. Pasalnya, dalam setahun, ia bisa kehilangan 2—3 bulan hanya untuk memberakan lahan dan lamanya tahapan persiapan lahan. “Padahal, waktu selama itu bisa untuk satu musim tanam,” papar Wildan. Berbekal ilmu tanah yang digelutinya 11 tahun lalu, ia coba analisis dan tercetuslah ide minimum tillage itu.
Ide Wildan rupanya disambut baik sang kolega asal Australia. Melalui diskusi di dunia maya, mereka bertukar pendapat. Ternyata, di negeri Kangguru, cara itu memang sudah lama dipakai dan berhasil. “Berarti, logika saya benar,” aku Wildan.
Dengan cara Wildan, memang lebih hemat. Hemat kerja maupun biaya. Tak hanya itu, pundi-pundi pun kian gemuk. Manisnya meraup untung, tak lagi 3 kali dalam setahun, tapi bisa 4 kali. (Imam Wiguna)