Buah merah memang menjadi buah bibir di berbagai tempat. Tak hanya di Papua, kini ekstrak buah merah yang dikemas dalam botolan telah merebak ke seluruh penjuru nusantara. Orang-orang rela terbang ke Papua demi sebotol buah merah.
Namun, keyakinan konsumen terhadap keampuhan buah merah dinilai pakar farmakologi dan herbalis patut diwaspadai. Banyak hal yang belum terungkap secara medis maupun laboratoris mengenai keamanan penggunaan buah merah. Inilah 4 dari banyak pakar yang mencermati buah merah.
Ketut Adyana, PhD
“Di sini sebenarnya buah merah diduga sebagai fi totoksik dan immunostimulan,” kata Ir Ketut Adyana, Phd, dosen jurusan Farmakologi, Institut Teknologi Bandung. Menurutnya kandungan tokoferol di buah merah sebenarnya hampir sama dengan vitamin E. “Saya yakin bukan tokoferol yang bertanggung jawab untuk antikanker. Makanya harus berhati-hati bila belum ada penelitian lanjutan,” kata Ketut.
Bila buah merah diklaim sebagai obat, berarti harus melalui beberapa penelitian yang detail. “Bukan berdasarkan pengalaman turun-temurun atau klaimklaim secara empiris,” ujar kelahiran Bali 37 tahun lalu itu. Menurut Ketut pengujian yang dilakukan akan membagi bahan alami dalam 3 kelompok besar yaitu jamu, herba standar, dan fi tofarmaka.
“Kalau belum ada studi atau penelitian secara in vivo experimental maka masih termasuk jamu,” tutur Ketut. Menurut lulusan Institute of Natural Medicine Toyama Medical and Pharmaceutical University, Jepang itu ada 3 faktor penting dalam obat yang harus dipenuhi. Ia harus aman dikonsumsi oleh masyarakat, bersifat effi casion (bermanfaat atau tidak), dan memiliki standarisasi. Nah, buah merah ini belum ada standar yang jelas. Kapan harus digunakan, dosis berapa yang efektif.
Prof Dr H R Sidik, Apt
Menurut Sidik bukan hanya betakaroten dan tokoferol saja yang berperan. Diduga ada senyawa atau zat lain bersifat major compound.
Masih banyak senyawa yang belum teridentifi kasi dari buah merah. Saya menduga banyak senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid, senyawa fenol, glikoksida, dan metabolit sekunder lain. Makanya harus diuji lebih lanjut,” tutur Prof Dr H R Sidik, Apt, wakil ketua UPT Sentra Uji Klinik Fitofarmaka, Universitas Padjadjaran Bandung.
Suatu bahan alami harus dilakukan uji LD50 (lethal dosis, red) pada hewan percobaan terlebih dahulu. Bila dosis aman telah diketahui maka uji praklinik dan klinis pun harus dilakukan. “Bukan hanya data empiris dan klaim masyarakat,” ujar peraih Phytomedica Award 1992 itu.
Doktor bidang farmakognosi lulusan Leiden University Netherlands itu memprediksi adanya zat 4-hydroxy-4-methylglutamic acid (C6H11NO5) di buah merah yang berfungsi untuk memperkuat kerja liver. “Zat ini hepatoprotektor yang melindungi hati dari zat-zat racun,” ucap Sidik. Menurutnya zat ini juga imunomodulator, peningkat daya tahan tubuh. Selain itu ia juga menduga zat lain seperti 1-methoxy-2- phenyl ethan sebagai imunomodulator lain pada ekstrak buah merah.
Pria kelahiran Bandung 20 September 1936 yang dijuluki profesor jamu itu juga mengungkapkan kemungkinan buah merah sebagai antiviral virus AIDS. Antiviral bekerja sebagai antivirus yang bersifat fagositosis, ”memangsa” virus HIV yang bekerja sama dengan imunomodulator lain.
Drs Didik Gunawan, Apt, S.U.
“Tidak ada satu jenis tanaman yang langsung menyembuhkan kanker,” ujar Drs Didik Gunawan, Apt, S.U., herbalis asal Yogyakarta. Menurutnya bila sel kanker telah terbentuk, maka buah merah tidak bisa bekerja langsung menyembuhkan kanker. Didik menduga buah merah bersifat antimutagenik yang berfungsi mempertahankan orisinalitas gen agar pembelahan sel terkendali.
“Kandungan tokoferol dan betakaroten pada buah merah belum menjamin bisa menyembuhkan,” lanjut peneliti Biologi Farmasi Universitas Gadjah Mada itu. Walaupun karoten terbukti berkhasiat sebagai antiradikal bebas dan antioksidan, tetapi khasiat tokoferol dan karoten akan berkurang bahkan hilang bila melalui proses pemanasan. “Pasti ada senyawasenyawa lain seperti fl avonoid yang bekerjasama,” tambahnya.
Ir Wahyu Suprapto
“Bila ada yang sembuh dan tidak setelah mengkonsumsi buah merah itu menunjukkan respon orang berbeda-beda,” ujar Wahyu Suprapto, herbalis asal Batu, Jawa Timur. Menurutnya respon berbeda tergantung pada keseimbangan metabolisme tubuh termasuk hormonal dan enzimatis.
Keseimbangan metabolisme tergantung dari pola dan gaya hidup setiap individu. Pola makan salah, pengaruh lingkungan sekitar, pola berpikir yang tidak teratur hingga cara bekerja memicu perubahan-perubahan sel secara liar dalam sistem metabolisme tubuh. “Itu dapat memicu kanker,” kata herbalis yang pernah mengenyam pendidikan Traditional Chinesse Medicine itu.
Teknik pengolahan buah merah, perlu diperhatikan secara saksama. Menurutnya terdapat beberapa zat, vitamin, lemak, dan senyawa lain yang mengalami kerusakan bila dipanaskan pada 60—700C. “Nah, kalau pemanasan suhu tinggi dalam waktu lama, berapa banyak zat yang hilang. Itu perlu diketahui juga,” ujarnya. Menurut pria yang 25 tahun berkecimpung di dunia herbal itu perlu dikaji lebih dalam proses pembuatan, dosis, hingga efek samping agar bisa digunakan secara umum. (Rahmansyah Dermawan/ Peliput: Nyuwan SB dan Laksita Wijayanti)