Konsumen daging kalkun mencari pasokan. Peternak kalkun sulit mendapatkan bibit. Peluang terbuka di kedua segmen.
Meski tak mengenal hari pengucapan syukur alias thanksgiving day, permintaan kalkun di Indonesia makin meningkat. Lihat saja Ir. Bambang Cahyo Murad yang hanya mampu memproduksi maksimal 20 ekor kalkun siap potong setiap pekan. Permintaan melebihi kapasitas. Setidaknya 50 kalkun per pekan ia tolak. Ayah 4 anak itu menjual kalkun siap potong Rp350.000—Rp500.000 tergantung ukuran, bobot, atau penampilan.
Makin besar atau elok, makin mahal. Kalkun siap potong berumur 5 bulan. Jumlah itu habis terserap di Pringsewu, dari Bandarlampung hanya 30—60 menit berkendara. Peternak, pembibit, dan pengolah kalkun di Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S) Mitra Alam, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung, itu menyajikan daging kalkun di restoran miliknya. Dalam sepekan Bambang menerima setidaknya 3—5 kali kunjungan orang yang meminta pasokan. “Kalau telepon bisa 2—3 orang setiap hari,” kata ayah 4 anak itu.
Jatuh bangun
Bambang juga menyetop pasokan ke pasar modern dan beberapa hotel berbintang serta restoran kelas atas di Bandarlampung. Omzet yang terlewat Rp17,5 juta—Rp25 juta per pekan. Selain kalkun siap konsumsi, Bambang juga acap menolak permintaan bibit. “Baru saja saya menolak permintaan 500 bibit dari Jawa Barat,” ungkap Bambang. Kalkun menjadi pilihan jalan keluar pasangan Bambang dan Mustika Jati ketika gelombang krisis moneter menerjang pada 1998. Tangan dingin Bambang sukses memperbanyak kalkun dari sepasang menjadi lebih dari 500 ekor berbagai umur pada 2000.
Terjangan epidemi flu burung pada 2005—2006 membuat masyarakat enggan mengonsumsi semua jenis unggas. “Pembeli tidak ada, permintaan nyaris nol,” ujar Bambang. Pada 2008, kondisi mulai membaik. Permintaan hotel, restoran, dan pasar modern kembali mengalir. Penyebaran informasi, saat itu masih mengandalkan weblogging (blog) maupun mailing list (milis), membuat peternakan kalkun Mitra Alam sohor ke berbagai daerah.
Kondisi itu memuncak pada periode 2012—2013 sampai membuat Bambang dan Mustika keteteran. Pada 2014, hampir 70% bibit tumbang tersambar penyakit berak kapur. Menurut Bambang personil dinas setempat menyatakan hal itu lantaran imun bibit kalkun lemah akibat perkawinan sedarah (inbreeding). Bambang tidak mengira perkawinan sedarah terus-menerus bakal berdampak buruk.
Sayang, hingga kini ia tidak mendapatkan solusi. Kendalanya, ia tidak memiliki induk unggul. Bibit yang ia hasilkan hasil perkawinan sedarah bertahun-tahun. Akibatnya setiap 3—4 tahun muncul generasi lemah yang rentan penyakit, rendah produksi daging maupun telur, dan daya tetas telur rendah. Akibat lain, rasio pakan menjadi daging (food convertion ratio, FCR) tinggi. Produksi sekilogram daging memerlukan 3,5—4 kg pakan. Padahal, “FCR galur murni hanya 2,5 kg,” ujar Bambang.
Hal itu menjadi salah satu faktor yang membatasi produksi. Menurut guru besar Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang, Prof. Dr. Ir. Dwi Sunarti Suyitno M.S., ketersediaan galur murni kalkun di tanah air memang terbatas. Untuk mengurangi risiko penurunan kualitas akibat inbreeding, ia menganjurkan peternak dari daerah berbeda saling bertukar bibit. Dengan demikian, “Keragaman genetik meningkat,” kata Dwi.
Rendah kolesterol
Untuk memangkas konsumsi pakan standar yang harganya mencapai Rp5.000 per kg, Bambang menambahkan hijauan sebanyak 30% bobot pakan harian. Jenisnya antara lain daun singkong, daun moringa atau kelor, murbei, dan tarum. Daun-daun itu kaya protein sehingga mendukung pertambahan bobot. Selain memangkas ongkos pakan, pemberian hijauan menurunkan kandungan kolesterol daging. Bambang menyatakan, laboratorium pangan salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa pernah menguji daging kalkun dari Mitra Alam.
Hasilnya, total kolesterol hanya 15 mg per 100 gram. “Ketika berkunjung ke tempat saya, peneliti dari Belanda menceritakan kalau kandungan kolesterol daging kalkun di sana 60 mg per 100 gram,” ujar Bambang. Peternak kalkun dengan bendera Cipta Sejahtera Agro (CSA) di Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Ir. Teuku Azhari (59 tahun) melakukan cara serupa. Ia bahkan memberikan pakan hijauan sebanyak 60—70% bobot pakan harian.
Jenis daun yang ia berikan lebih beragam, seperti kangkung, daun pisang, daun jambu biji, atau daun keladi liar (senthe). Bedanya, sejak awal Teuku melakukan hal itu untuk mengurangi kandungan kolesterol daging kalkun. Dengan cara itu, secara tidak langsung Teuku memangkas kebutuhan pakan pabrikan hingga 70%. Cara itu pun ia anjurkan kepada 8 peternak plasma.
Sampai sekarang alumnus Teknik Sipil Institut Sains dan Teknologi Nasional, Jakarta itu fokus memperbanyak indukan dan menyebarkan bibit kepada peternak plasma. Targetnya, “Menggantikan daging kalkun impor di gerai pasar modern, hotel, dan restoran di Jakarta,” kata ayah 3 anak itu. Peluang beternak kalkun terbuka lebar, menawarkan kesempatan mendulang laba. (Argohartono Arie Raharjo)