Penyuling kelimpungan memenuhi tingginya permintaan minyak serai. Harga jual saat ini cukup fantastis, Rp300.000 per kg, sementara biaya produksi hanya Rp160.000 —Rp180.000.per kg.
Aroma harum itu menguar tajam. Sumber aroma berupa tiga ketel berbahan besi nirkarat berkapasitas masing-masing 1.000 kg. Ketiga wadah itulah tempat Affandi menyuling serai atau serai wangi. Dari sebuah ketel berisi 1.000 kg bahan baku itu penyuling di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, itu memperoleh 6 kg minyak dalam waktu 4—5 jam. Artinya rendemen mencapai 0,6% berbasis bahan baku terna basah.
Frekuensi penyulingan 3—4 kali dalam sepekan sepanjang tahun. Total produksi mencapai 300—500 kg per bulan untuk memasok eksportir. Affandi mengatakan harga jual di tingkat penyuling kini Rp300.000 per kg. Menurut Affandi biaya untuk memproduksi 1 kg minyak serai mencapai Rp160.000—Rp180.000 meliputi biaya pengadaan bahan baku, bahan bakar, dan tenaga kerja. Biaya itu belum termasuk biaya pembuatan pabrik dan alat penyulingan yang dapat mencapat Rp125 juta—Rp200 juta.
Ceruk besar
Affandi adalah salah satu petani dan penyuling yang sedang mengembangkan minyak serai wangi dalam program kerjasama dengan PT Indesso Aroma. Menurut Affandi, dengan program itu kepastian pemasaran tidak dirisaukan lagi, proses pembayarannya pun tidak lama sekitar 3—4 hari bila minyak serai wangi memenuhi spesifikasi yang ditetapkan. Itulah sebabnya Affandi sangat senang, pendapatannya meningkat bila dibandingkan ketika ia menanami lahan itu dengan pepaya kalifornia. Pendapatan Affandi hanya sekitar Rp70 juta per hektare selama setahun.
Belum lagi dipotong untuk pemberian pupuk setiap bulan dan perawatan untuk hama penyakit. Omzet yang didapat paling banter Rp45—50 juta/ha/tahun. Sejatinya permintaan minyak serai wangi masih terbuka lebar. “Berapa pun tersedia minyak, bisa diterima,” kata Affandi. Itulah sebabnya petani asal Sukabumi, Jawa Barat mengajak pekebun lain menanam serai wangi.
Pria 40 tahun itu belum bisa melayani tingginya permintaan karena bahan baku berupa bibit masih kurang. Penyuling sejak 2015 itu mengelola lahan 4 hektare miliknya, dan 36 hektare lain harus kelola juga sebagai sumber bahan baku. Di lahan berketinggian 400—500 meter di atas permukaan laut itu Affandi membudidayakan serai secara monokultur. Populasi mencapai 10.000 tanaman per ha.
Ia panen 4 hari sekali dengan cara memotong daun serai wangi di atas batang tanaman. Total produksi mencapai 3 ton per sekali panen. Interval panen di lahan yang sama 50—60 hari. Produksi berkesinambungan karena Affandi bermitra dengan puluhan pekebun yang mengelola total 40 hektare lahan serai wangi.
Agar pekebun terangsang menanam, ia membagikan bibit serai secara gratis. Hingga kini Affandi bermitra dengan 100 petani di sekitar Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. “Rata-rata pekebun hanya menanam di sekitar rumah saja. Jadi luas per orang tidak merata, ada yang 200 m2 bahkan ada yang 4 ha,” ujar Affandi. Menurut Affandi sekali tanam serai, pekebun mampu 15 kali panen.
Penyuling lain di Cijeruk, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Dede Hidayat, sama saja. Permintaan perusahaan produsen minyak asiri di Jawa Timur mencapai 1 ton per bulan. Namun, Dede hanya mampu memasok 200 kg per bulan. Belum lagi permintaan dari eksportir lain. Padahal, permintaan bukan hanya datang dari satu eksportir itu. Menurut Dede setidaknya tiga eksportir yang meminta pasokan rutin hingga 3.000 kg minyak serai per bulan.
Sebanyak 200 kg minyak serai itu hasil sulingan bahan baku hingga 33 ton. Dede menyuling tanaman anggota famili Poaceae itu dua kali sepekan. Kapasitas ketel hanya 500 kg. Sekali menyuling pria 35 tahun itu memperoleh 3 kg minyak yang sohor dengan sebutan java citronella oil. Pasokan bahan baku berasal dari ladang sendiri seluas 2 hektare. Oleh sebab itu, ia tidak bisa memenuhi permintan produsen minyak asiri di Jawa Timur.
Kemitraan
Fadli Blazer menghadapi persoalan serupa, permintaan besar yang gagal terpasok. Sebanyak 5 eksportir meminta total hingga 5.000 kg minyak serai per bulan. Namun, penyuling di Sinabang, Kabupaten Simeulue, Provinsi Nggoroe Aceh Darussalam, itu gagal memenuhinya. Fadli Blazer sulit memperoleh bahan baku (lihat boks: Aral Suling Serai halaman 14). Di daerahnya terbatas orang membudidayakan tanaman anggota famili Poaceae itu.
Para eksportir kini berebut memburu minyak serai. “Mencari 1—2 ton saja eksportir harus saling berebut di lapangan. Bahkan harus menunggu berbulan-bulan lamanya. Dulu pada tahun 1980-an mencari 1—2 kontainer relatif gampang,” kata Fadli.
Menurut Staf bagian Pengadaan Dukungan Manajemen dan Rantai Pasok Bisnis, PT Indesso Aroma, Mimbar Ari Saputro, ST, MP., untuk pemenuhan kebutuhan minyak serai wangi yang paling ideal sebenarnya adanya keseimbangan demand dan supply. Namun, saat ini kebutuhan pasar serai wangi dunia belum tercukupi. Perkiraan kebutuhan minyak serai wangi dunia sekitar 1.200 ton. Saat ini perkiraan out put produksi Indonesia sekitar 1.000 ton per tahun.
Mimbar mengatakan, Indesso mampu menyerap banyak produksi minyak serai. Syaratnya antara lain mengandung senyawa sitronellal 32—45 %, geraniol 10—12%, sitronellol 11—15%, geranil asetat 3—8%, sitronellal asetat 2—4%, dan sisanya seskuiterpen. Para penyuling binaan Indesso sejatinya mudah saja memenuhi syarat itu. Untuk meningkatkan pasokan, Indesso membangun kemitraan dengan banyak penyuling.
“Kami maju karena orang lain, ada agen, ada pekebun. Kalau pekebun sengsara kita juga tak bisa maju,” ujar Haris Arifiyanto Hidayat. Oleh karena itu, ia selalu meluangkan waktu berkunjung ke para pekebun serai di tanah air seperti di Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, Karanganyar, Jawa Tengah, Kalimantan, dan Sulawesi. Menurut Mimbar serai tanaman bandel dan berumur panjang. Pekebun sekali menanam dan dapat memanen minimal 15 kali.
Panen perdana Cymbopogon nardus saat berumur 6 bulan. Setelah itu pekebun rutin memanen setiap 2—3 bulan selama 5 tahun. “Tahun pertama 2—3 kali panen. Tiga tahun berikutnya 5 kali panen per tahun,” kata Dede. Dalam setahun setiap rumpun menghasilkan 0,75—1,5 kg serai segar. Mimbar mendorong pekebun untuk bermitra dengan eksportir. Sebab, dengan bermitra maka pekebun akan tetap untung meski harga minyak anjlok.
Soal pasar, berapa pun minyak serai hasil sulingan mitra, eksportir bersedia menampung. Pasar minyak serai wangi dunia tumbuh 3—5% per tahun. Jadi tak perlu khawatir kesulitan pasar. Mimbar mengatakan, “Pihak Indesso membuat surat kontrak mengenai perjanjian kerja sama serta harga yang tidak akan merugikan pekebun.” Meskipun harga sedang merosot, para pekebun mitra selalu mendapatkan keuntungan.
Pasar minyak serai wangi dunia terbagi 2 segmen. Pertama, permintaan pasar yang tinggi dan stabil lantaran pertumbuhan penduduk relatif rendah. Contoh, pasar Jepang, Australia, dan Selandia Baru. Kedua, pasar yang terus tumbuh karena perbaikan ekonomi dan standar kehidupan yang progresif. Negara-negara di Eropa, Cina, dan negara-negara berkembang contoh pasar yang terus tumbuh.
Multifaedah
Mimbar mengatakan, permintaan minyak serai kian banyak karena minyak itu serbaguna. Sekadar menyebut beberapa contoh, minyak hasil sulingan serai berfaedah untuk bahan baku obat-obatan, lotion anti nyamuk, dan sabun mandi. “Dari bangun tidur, sampai mau tidur lagi kita selalu membutuhkan minyak asiri,” ujar Mimbar. Minyak terbang itu berguna antara lain sebagai bahan baku kebutuhan rumah tangga, parfum, kosmetik, dan obat-obatan.
Menurut Syiffa Fajriyah dari Universitas Padjadjaran, bahkan minyak serai pun berfaedah sebagai bahan baku bahan bakar kendaraan bermotor. Kelebihannya antara meningkatkan kekuatan mesin, menyempurnakan pembakaran, dan hemat bahan bakar 20—30%. Ia telah menggunakan minyak serai sebagai tambahan bahan bakar motornya sejak 2016. Setiap mengisi 1 liter pertalite, ia menambahkan 1 cc minyak serai.
Hasilnya laju kendaraan menjadi lebih cepat dan polusi yang disebabkan oleh asap motor tidak berwarna cokelat atau hitam, melainkan putih. “Penggunaan minyak serai juga menjadikan motor saya awet. Biasanya saya servis motor tiap bulan. Namun, setelah mencampur dengan minyak serai wangi hanya tiap 3 bulan sekali,” ujar alumnus Fakultas Teknologi Industri Pertanian Univeristas Padjadjaran itu
Keraun saja pasar minyak asiri bukan melulu untuk pasar ekspor. Bahkan, pasar domestik pun membutuhkannya. Beragam industri dalam negeri membutuhkan minyak serai. Leo Sihombing yang membuat cairan pengepel lantai, misalnya, membutuhkan hingga 40—50 kg minyak serai per bulan. Ia meracik larutan khusus pembersih lantai. Minyak serai bersifat antibakteri sehingga manjur membersihkan lantai.
Dengan beragam kebutuhan itu pantas permintaan minyak serai kian membubung. “Hal ini dikarenakan tidak seimbangnya antara demand dan supply,” ujar Mimbar Ari Saputro. Pasokan kikan menurun akibat jumlah pekebun dan penyuling serai wangi semakin sedikit. Bila iklim normal produksi minyak serai wangi Indonesia sekitar 1.000 ton. Sedangkan kebutuhan dunia di kisaran 1.200 ton. (Tiffani Dias Anggraeni)