“Saya mau saja meningkatkan kapasitas produksi, tapi bahan baku sulit,” kata Fadli Blazer, penyuling di Sinabang, Kabupaten Simeulue, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Bahan baku memang menjadi hambatan bagi para penyuling karena langka. Kelangkaan bahan baku berkaitan dengan kondisi sebelumnya. Pada 2016 harga minyak serai Rp60.000—Rp100.000. Pada Juli 2017—Mei 2018 harga melonjak, hingga Rp285.000—Rp300.000.
Akibatnya pekebun ramai-ramai menanam saat harga tinggi, lalu malas menanam saat harga melorot. “Dari hitung-hitungan usaha, banyak spekulasinya. Budidaya pun lebih sulit,” kata Fadli. Hambatan lain berkaitan dengan mutu minyak sebagaimana diungkapakan Kepala Bagian Pengadaan Dukungan Manajemen dan Rantai Pasok Bisnis, PT Indesso Aroma, Mimbar Ari Saputro, ST., MP.

“Hal ini dikarenakan pola budidaya yang belum baik, pemilihan varietas tanaman serai wangi tidak sesuai dengan syarat tumbuhnya, dan adanya adulterant dalam minyak serai wangi,” ujarnya. Pengujian mutu minyak serai wangi menggunakan sistem kromatografi sehingga akan diketahui seluruh komponen senyawa kimia, baik komponen asli maupun komponen pemalsunya.
Masalah lain, lembaga penelitian atau perguruan tinggi belum menyentuh aspek budidaya dan pengolahan minyak asiri. Dunia ilmu pengetahuan dan masyarakat yang bergerak di bidang industri minyak asiri belum terkait. Padahal ilmu pengetahuan memberikan nilai tambah. Ini kunci sukses. (Tiffani Dias Anggraeni)