Penutupan ribuan pabrik kimia di Tiongkok membuka peluang pestisida nabati.
Otoritas Tiongkok berusaha untuk menekan polusi kimia yang mengganggu Sungai Yangtze. Negeri Tirai Bambu mendorong pengembangan ekonomi Sungai Yangtze. Sejak September 2016 pemerintah Tiongkok tegas menempatkan perlindungan dan pemulihan lingkungan sebagai tugas terpenting. Bagian tengah dan bawah Yangtze adalah tempat sekitar 400.000 perusahaan kimia.
Pabrik lebih memilih lokasi dekat sungai karena kemudahan akses dan transportasi yang nyaman. Akibatnya polusi sepanjang 600 km yang mengandung lebih dari 300 polutan berbahaya terbentuk di sepanjang sungai. Laporan pada 2009 yang diterbitkan oleh kelompok penelitian yang dipimpin oleh ahli hidrologi Wang Zhaoyin menemukan bahwa banyak makhluk hidup di Yangtze memiliki tingkat logam berat yang tinggi seperti tembaga, seng dan besi di tubuh mereka.
Lonjakan harga
Menurut praktikus pertanian di Jakarta, Final Prajnanta, pemerintah Tiongkok mengisyaratkan pabrik kimia terlokalisir di suatu kawasan industri. Sebelum pengetatan aturan, sekitar 2.200 pabrik kimia di Tiongkok bergerak di bidang pertanian. Pascapengetatan aturan sekitar 2000 pabrik ditutup karena tidak memenuhi syarat. Menurut Final kapasitas 2.200 pabrik kimia semula cukup untuk memenuhi kebutuhan dunia selama 3 tahun.
“Jika tersisa hanya 200 pabrik, memenuhi kebutuhan 1 tahun pun tentu akan berat,” kata Final yang bekerja di industri pestisida. Imbas dari penutupan pabrik kimia di Tiongkok yakni harga bahan kimia asal Tiongkok naik sangat tajam. Lonjakan harga bisa mencapai 30—100% termasuk di Indonesia. Pupuk dan pestisida yang menggunakan bahan baku kimia, terutama berasal dari Tiongkok pasti terkena dampak.
Oleh karena itu, produsen pupuk dan pestisida harus meningkatkan harga jual produknya. Final mengatakan, solusi agar pasokan bahan kimia ke seluruh dunia lancar dengan bergabungnya perusahaan kecil dan relokasi. Namun, penggabungan perusahaan dan relokasi tidak mudah. “Untuk relokasi pabrik kimia pun relatif lama tidak akan selesai hanya 1—2 tahun,” kata alumnus Universitas Jenderal Soedirman itu.
Bagaimana peluang pemenuhan kebutuhan pupuk dan pestisida oleh produsen dalam negeri? Menurut ketua Crop Care, Joko Suwondo, kendalanya Indonesia belum bisa memproduksi bahan aktif sendiri. Pabrik pestisida di tanah air hanya meracik formula kemudian memasarkan. Harap mafhum, penelitian untuk membuat bahan aktif memerlukan biaya tinggi dan proses panjang—di antaranya menguji keefektifan bahan aktif di berbagai negara di belahan dunia.
Makin adaptif suatu bahan aktif di berbagai tempat berkaitan dengan pangsa pasar suatu produk. Alternatif lain pestisida yang bisa dilirik yakni pestisida nabati dan biopestisida. Petani di tanah air kerap memanfaatkan tanaman seperti mimba, bawang putih, daun sirsak, dan kacang babi sebagai pestisida nabati. Namun, pemanfaatannya masih terbatas. Penggunanya terutama petani yang menerapkan sistem budidaya organik.
Ramah lingkungan
Menurut ahli biopestisida di Bogor, Jawa Barat, Dr. Ir. Priyono, DIRS., pestisida nabati bisa digolongkan menjadi biopestisida. Sebab, produk itu berasal dari makhluk hidup, sehingga biopestisida tidak melulu mengandalkan agen hayati. Menurut Priyono Indonesia sangat potensial untuk mengembangkan biopestisida. Musababnya, bahan baku melimpah di tanah air. Namun, pelaku pertanian enggan menggunakan karena memerlukan proses dalam cara kerjanya.
“Petani lebih senang menggunakan pestisida yang membunuh hama seketika,” kata Priyono. Padahal penggunaan biopestisida jauh lebih ramah lingkungan. Menurut ahli biopestisida di Purwokerto, Jawa Tengah, Prof. Ir. Loekas Soesanto, M.S. Ph.D., peluang biopestisida di tanah air sangat besar. Sebab, makin sadarnya konsumen akan beragam komoditas pertanian yang sehat. Namun, banyak kendala pula dalam pengembang biopestisda di Indonesia.
Loekas menyebut kendala itu antara lain belum banyak uji multilokasi, multihama penyakit, dan multitanaman. Kerap kali biopestisida tidak mempan. Penelitian lebih lanjut mengenai biopestisda terhadap serangga sasaran dan waktu penyimpanan pun perlu dikaji agar biopestisida di tanah air makin baik.
Pameran Agrokimia
Menurut ketua Crop Care, Joko Suwondo, pameran bertajuk Trade Summit Southeast Asia akan berlangsung di Hotel Westin, Jakarta Selatan, pada 4—5 Desember 2018. Pada hari pertama, seminar bertema penelitian dan pengembangan biopestisida di Indonesia, kombinasi perlindungan tanaman secara biologi dan tradisional, serta regulasi teranyar pestisida di Indonesia dan Asia Tenggara.
Pada hari ke-2 lebih berfokus ke kondisi industri agrokimia terkini, terutama di India dan Tiongkok, serta imbas pertanian digital di Asia Tenggara. Selain seminar, pengunjung juga bisa melihat pameran produk pertanian teranyar. Total 35 produsen pertanian dari berbagai negara di dunia ambil bagian meramaikan acara. Beberapa di anataranya mengembangkan biopestisda. Menurut Joko, acara adalah kali kedua pascasukses penyelengaraan tahun 2017. Acara terselenggara kerja sama antara Crop Care dengan Meister Media, media Agrokimia Internasional. (Muhamad Fajar Ramadhan)