
(Koleksi PT Hijau Surya Biotechindo)
TRUBUS — Beberapa pekebun pisang menggunakan irigasi tetes untuk pengairan. Teknologi itu mempercepat pertumbuhan tanaman.
Selang hitam berdiameter ¾ inci itu tampak di permukaan tanah. Setiap pipa bercabang di dekat batang pisang. Sprinkler melekati bagian ujungnya untuk mengalirkan air. Itulah pemandangan di kebun pisang milik Masim Sugiyanto di Kecamatan Batujaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Penggunaan irigasi tetes di lahan pisang relatif baru, lazimnya justru petani cabai yang menerapkannya.
Masim Sugiyanto mengelola kebun pisang 4.000 m2 sejak Januari 2020. Di lahan itu tumbuh 1.000 batang pisang yang terdiri dari 20% kepok kuning, 20% ambon, 15% tanduk, 5% raja sereh, dan 40% sisanya campuran berbagai jenis pisang. Lahan persawahan itu bersuhu rata-rata 27ºC. Namun, ketika musim kering suhu panas menyebabkan puluhan bibit pisang mati. Oleh karena itu, Masim memasang irigasi tetes pada Juni 2020.

Lebih praktis
Air mengalir selama 3—4 jam tiap 2—3 hari sekali. Setiap tanaman memperoleh jatah air total 0,5—1 liter sehari. Menurut Vavai—panggilan Maksim Sugiyanto—dua pekan setelah pemasangan irigasi tetes, anakan muncul dari tanaman yang semula kering dan kurus. Bahkan tanaman yang tampak mati, kembali tumbuh.
Ia memompa air tanah dan mengalirkan melalui saluran irigasi terbuat dari pipa polivinil klorida sebagai pembagi jalur air. Menurut Masim, biaya selang plastik Rp70.000—Rp100.000 per 100 m. Petani pisang itu menghabiskan biaya Rp5 juta–Rp10 juta untuk memasang sistem irigasi. “Luasan kebun minimal yang ideal untuk dipasang sistem irigasi yaitu 0,5 ha, jika luasan kebun kurang dari itu, akan over budget,” kata Masim.
Andi Chandra, M.Eng juga memasang sistem irigasi tetes untuk kebun contoh pisang seluas 2 hektare sejak Juni 2021. Direktur Operasional PT Hijau Surya Biotechindo itu mengelola kebun pisang di Kelurahan Sei Renggas, Kecamatan Kisaran Barat, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Sistem irigasi tetes itu menggunakan air sungai yang difiltrasi supaya persediaan air selama musim kemarau terjamin.
Pipa irigasi utama berukuran 3 inci dan pipa sub-line 2,5 inci, dan selang drip 16 mm. Pemilik kebun pisang Hijau Surya itu menampung air dengan tandon berkapasitas 5.000 dan 3.000 liter. Di lahan itu Andi meletakkan 2 tandon. Curah hujan di area berketinggian 30 meter di atas permukaan laut itu mencapai 300 mm per tahun. Irigasi tetes di kebun Hijau Surya belum dioperasikan lantaran masih dalam tahap persiapan dan instalasi.

“Penggunaan sistem irigasi tetes menghemat air 30—70% dibandingkan cara irigasi lainnya seperti pembanjiran dan percikan air atau water sprinkle,” magister Teknik Kimia alumnus University of Manchester, Britania Raya, itu.
Andi menanam pisang barangan merah, kepok, fhia 17, dan raja bulu hasil kultur jaringan. Peningkatan produksi juga lebih terjamin dengan penggunaan irigasi tetes lantaran berkurangnya risiko penyebaran penyakit bercak daun.
Menurut Andi media penyebaran bercak daun adalah air. Penyakit akibat ulah cendawan Cladosporim sp. itu menularkan ke tanaman sehat lewat percikan air. “Kalau pakai irigasi tetes, kita hanya menyemprotkan airnya di bagian akar, tidak mengenai tajuk tanaman, sehingga mengurangi penyebaran penyakit bercak daun,” ujar pria yang menekuni kultur jaringan sejak 2015 itu.

Di Kelurahan Purwosari, Kecamatan Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Dr. Murtono, M.Pd., melengkapi kebun pisang seluas satu hektare dengan pengairan otomatis.
Sistem irigasi dengan pipa itu efektif dan efisien. Penyiraman pada musim kemarau hanya 5—8 jam sehari. Durasi penyiraman dapat diatur dengan pengatur waktu. “Biaya pipa dan sumur pada tahun pertama sekitar Rp35.000 per tanaman. Peralatan itu bisa dipakai puluhan tahun,” kata pemilik B & P Garden Kampung Kuto Edu Agro Wisata. Artinya Murtono merogoh kocek Rp35 juta untuk instalasi pengairan di kebun berpopulasi 1.000 tanaman. Biaya investasi relatif besar di awal, tapi termasuk ekonomis karena masa pakai relatif lama. (Tamara Yunike)