Mesin pengeram telur terbesar, berkapasitas 140.000 butir untuk memproduksi 120.000 day old chick (DOC) ayam kampung sentul per bulan.
Mesin pengeram telur di PT Warso Unggul di Desa Tangkil, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu berukuran 4 m x 6 m dan tinggi 2 meter. Ketika pintu mesin dibuka, rak-rak berisi ratusan ribu telur berjajar rapi di bagian kiri dan kanan mesin. “Kapasitas mesin pengeraman kami 140.000 telur dan mesin tetas 90.000 butir,” kata Ade Meirizal Zulkarnain, pemimpin Warso Unggul.
Menurut peneliti unggas dari Balai Penelitian Ternak (Balitnak) di Ciawi, Kabupaten Bogor, Dr Ir Sofjan Iskandar, MRur, mesin pengeram dan tetas yang digunakan Warso Unggul merupakan mesin terbesar di tanahair untuk pembibitan ayam kampung. “Biasanya mesin berkapasitas sebesar itu untuk pembibitan ayam ras,” kata Sofjan. Pendapat serupa disampaikan produsen DOC ayam kampung di Sleman, Yogyakarta, Agustinus Dwinugroho. “Mesin berkapasitas 140.000 butir itu tergolong sangat besar. Setahu saya paling besar baru 75.000 butir,” kata produsen DOC sejak 2004 itu. Agustinus memiliki mesin berkapasitas 60.000 butir.
Ayam kampung sentul
Warso Unggul mengembangkan ayam kampung jenis sentul di 10 kandang produksi berukuran 40 m x 6 m dan tinggi 3—4 m. Setiap kandang produksi dihuni sekitar 1.750 indukan betina dan 96 jantan berumur minimal 26 minggu. “Bibit ayam sentul yang kami gunakan murni dari indukan ayam kampung sentul yang kami dapatkan dari Balitnak,” kata Ade.
Dari jumlah indukan itu Warso Unggul memproduksi 612 butir per kandang atau mencapai 35% dari total indukan. Ade lalu menyeleksi telur-telur itu untuk mendapatkan telur yang cocok ditetaskan dan dijual. Cirinya kerabang berwarna kecokelatan, berbentuk oval, dan berbobot 40—65 g per butir. “Dari total produksi, yang lolos seleksi sekitar 85%,” kata Ade. Ade menjual sisanya sebagai telur konsumsi.
Ade kemudian memasukkan telur yang lolos seleksi ke dalam mesin pengeram berkapasitas 140.000 butir. Suhu di dalam mesin pengeram 38,6°C. Mesin memutar telur-telur itu secara otomatis satu jam sekali. “Tujuannya agar seluruh bagian telur mendapatkan panas yang merata,” kata lelaki yang juga menjabat sebagai ketua Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (HIMPULI) itu. Mesin yang menggunakan daya listrik 40.000 watt itu berbahan besi berukuran 4 m x 6 m dan tinggi 2 meter. Jika listrik mati, Warso Unggul sudah menyiapkan mesin genset.
Setelah 18 hari, Ade kembali menyeleksi telur-telur itu untuk melihat daya tetasnya. Pada telur yang lolos seleksi, jika diterawang terdapat bintik hitam seperti mata dan ikut bergoyang ketika telur digerakkan. “Bintik hitam itu menunjukkan telur sudah terisi embrio dan siap tetas tiga hari lagi,” kata Ade. Dari seluruh telur yang masuk kedalam mesin pengeram, 90% lolos seleksi.
Daya tetas tinggi
Selanjutnya Ade memindahkan telur yang lolos seleksi ke dalam mesin tetas berkapasitas 90.000 butir berukuran 3 m x 3 m dan 2 m. Ade memindahkan telur itu ke mesin tetas agar telur yang baru dimasukkan ke mesin pengeram tidak terganggu ketika telur yang lebih dahulu masuk sudah waktunya menetas. “Standar mesin modern memang seperti itu,” kata Ade. Suhu dalam mesin penetas 38,6°C dan cahaya terlarang masuk, apalagi ketika menjelang menetas. Tiga hari kemudian telur-telur itu mulai menetas. Dari total telur yang dimasukkan ke dalam mesin tetas, 85% berhasil menetas.
Menurut Sofjan Iskandar daya tetas di Warso Unggul terbilang tinggi. “Biasanya hanya di kisaran 50—60% saja,” kata alumnus Universitas Queensland, Australia, itu. Menurut Ade, daya tetas tinggi itu berkat mesin yang digunakan, karena mesin sangat responsif terhadap perubahan suhu, sehingga daya tetasnya bisa tinggi.
Ade kembali melakukan seleksi DOC untuk memastikan tak ada anakan yang cacat. Dari seluruh telur yang menetas, biasanya hanya sekitar 1% yang tidak dijual karena cacat, seperti tidak bisa berdiri. “Seleksi yang sangat ketat itu untuk menjaga kualitas DOC yang kami hasilkan,” kata Ade.
Setelah lolos seleksi, Ade kemudian menyuntikkan vaksin, lalu mengemas DOC dalam kardus. Dalam satu kardus berisi 100 ekor DOC plus 2 ekor DOC tambahan sebagai bonus. “Bonus itu untuk mengganti bila di perjalanan ada DOC yang mati,” kata Ade.
Menurut Dr Ir Sofjan Iskandar, MRur pembibitan ayam kampung skala besar yang Warso Unggul terapkan bukan tanpa risiko. “Pengawasannya harus ketat terutama pencegahan penyakit,” kata Sofjan. Oleh karena itu Warso Unggul menerapkan bio security yang ketat. Siapa pun yang akan masuk ke dalam area kandang akan disemprot desinfektan agar tidak membawa bibit-bibit penyakit ketika memasuki kandang. “Kami tidak tahu orang yang masuk itu berasal dari mana, sehingga perlu dilakukan pengamanan,” kata Ade.
Warso Unggul melayani permintaan dari beragam peternak dari berbagai daerah di Indonesia, seperti di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, hingga keluar pulau Jawa seperti Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Dalam sebulan Warso Unggul menjual 120.000 DOC dengan harga jual Rp6.300 per ekor. Untuk daerah-daerah di Pulau Jawa, pengiriman melalui jalur darat, sementara di luar Pulau Jawa via udara. Penggunaan mesin canggih asal Belanda berharga Rp1,6-miliar itu pilihan tepat untuk memenuhi permintaan DOC ayam kampung yang terus meningkat. (Bondan Setyawan)