Seorang pemasok pasar swalayan asal Jakarta berkunjung ke rumah Eva Lasti Apriani Madarona. Di halaman rumah ia berujar, “Ini duit…, ini duit…, ini duit…” seraya menunjuk beberapa jenis bunga yang tumbuh halaman.
Trubus — Lahan di seberang rumah Eva Lasti Apriani Madarona di kawasan Cipaku, Kelurahan Ledeng, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung, Jawa Barat, itu sebetulnya fasilitas umum. Semula hanya rumput yang tumbuh di lahan itu. Kini lahan di kompleks perumahan itu tampak semarak. Aneka jenis tanaman bunga tumbuh subur dan serempak berbunga. Salah satunya Cosmos sp. dengan varian warna bunga merah muda dan putih.
Ada juga marigold dan nasturtium Tropaeolum sp. yang berbunga jingga, serta mawar yang berbunga kuning dan merah muda. Eva juga membudidayakan aneka jenis bunga di dak lantai 3 rumahnya. Di dak rumah seluas 100 m² itu Eva membangun rumah tanam mini dengan kerangka baja ringan. Di dalam rumah tanam itu ia membudidayakan berbagai jenis tanaman bunga, seperti pansy, viola, lavender, calendula, dahlia, dianthus, geranium, impatient, torenia, verbena, dan borage.
Bunga edible
Ratusan tanaman itu tumbuh di dalam pot-pot kecil berdiameter 15 cm berisi media tanam berupa campuran perlit dan vermikulit dengan perbandingan sama. Keduanya merupakan lapisan mineral silika yang mengalami pemanasan suhu tinggi. Akibatnya mineral mengembang seperti berondong atau pop corn. Tingkat porositas tinggi sehingga mampu menyerap banyak air dengan cepat.
Selain itu perlit dan vermikulit juga dapat meningkatkan volume, drainase, dan aerasi media perakaran. Eva meletakkan pot-pot itu di permukaan talang yang dialiri larutan nutrisi hidroponik, yaitu AB mix. Perempuan kelahiran 30 April 1983 itu membudidayakan aneka jenis tanaman bunga bukan untuk menghias taman, melainkan untuk memanen bunganya. Bunga-bunga itu nantinya digunakan garnish atau penghias hidangan dan juga sebagai bahan pelengkap salad.
Karena bunga itu dapat dikonsumsi, maka kerap mendapat sebutan bunga edible. Beberapa jenis bunga memiliki cita rasa khas. Contohnya bunga nasturtium. Bunga berwarna jingga itu bercita rasa sedikit pedas. Ada juga bunga begonia yang bercita rasa sedikit masam menyegarkan. Dari pekarangan dan rumah tanam itu Eva memanen ratusan kuntum bunga setiap hari. “Jumlah panen berbeda-beda tergantung ketersediaan bunga,” ujarnya.
Perempuan 34 tahun itu mengemas bunga hasil panen dalam kotak plastik bening. Satu kemasan berisi sekitar 30—40 kuntum bunga. “Jumlah bunga dalam satu kemasan berbeda-beda. Pokoknya saya mengisi kemasan hingga penuh. Saat dibolak-balik isi kotak tidak bergerak, tapi juga tidak terlalu padat karena bisa merusak bunganya,” tutur Eva. Ia menjual bunga edible itu kepada pemasok pasar swalayan di Kota Bandung dan Jakarta Rp1.500—Rp2.000 per kuntum.
Untuk memenuhi kebutuhan pasar Jakarta, Eva mengirim bunga dengan menitipkan kepada perusahaan jasa angkutan yang melayani rute Bandung—Jakarta. Ia menggunakan kotak stirofoam berisi es batu untuk mengemas bunga sayuran itu. Tujuannya menjaga kesegaran bunga. Dalam sepekan Eva mengirim bunga dua kali ke Jakarta, yakni pada Selasa dan Jumat, dan Bandung hanya sekali.
Coba-coba
Jika panen bunga di luar jadwal pengiriman, Eva menyimpan hasil panen yang sudah dikemas dalam lemari berpendingin. “Hindari penyimpanan terlalu dingin, cukup jaga pada suhu 14°C. Penyimpanan bunga yang terlalu dingin menyebabkan kemasan berembun. Akibatnya bunga menjadi mudah busuk saat dikeluarkan dari kulkas,” jelas alumnus Sastra Arab Universitas Indonesia itu.
Dari perniagaan bunga edible itu Eva meraup omzet rata-rata Rp20 juta—Rp30 juta per bulan. Ia tak menyangka bakal meraup omzet sebesar itu dalam waktu singkat. Harap mafhum, ia baru setahun memproduksi bunga edible, yaitu pada 2016. “Ketika memulai belum ada niat menjual. Saya hanya coba-coba. Ketika itu ada produsen benih yang menjual benih bunga edible. Saya beli dan coba tanam,” tuturnya.
Perkembangan pertumbuhan tanaman bunga Eva abadikan melalui kamera, lalu ia unggah ke media sosial. Unggahan foto itu ternyata mengundang minat salah seorang pemasok pasar swalayan di Jakarta. Ia berminat untuk membeli karena ada permintaan dari beberapa pasar swalayan dan restoran papan atas di ibukota. “Sayangnya ketika itu belum berbunga,” ujar praktikus hidroponik sejak 2013 itu.
Suatu ketika dalam perjalanan ke Jakarta untuk menghadiri undangan pertemuan, pemasok pasar swalayan kembali menghubungi Eva. “Ia menanyakan bunga edible sudah berbunga atau belum,” ujarnya. Beruntung ketika itu Eva membawa seboks tanaman yang sedang berbunga. Keduanya lalu berjanji untuk bertemu. Dalam pertemuan itu sang pemasok meminta pasokan bunga edible kepada Eva.
“Bunga yang saya bawa juga dibeli Rp150.000. Lumayan buat ongkos pulang ke Bandung,” ujar Eva. Ia menuturkan selama ini pasar swalayan mendapat pasokan bunga edible dari hasil impor. Dalam setahun terakhir pasokan bunga edible impor terhambat karena adanya kebijakan pemerintah yang mewajibkan setiap produk tanaman difumigasi sebelum diedarkan di tanahair. “Mungkin tujuannya untuk mencegah masuknya penyakit yang terbawa oleh produk impor,” ujar Eva.
Proses fumigasi itu membuat bunga edible menjadi tidak aman konsumsi karena terpapar bahan kimia yang berbahaya. Itulah sebabnya perusahaan pemasok pasar swalayan langsung tertarik saat mengetahui ada produsen bunga edible lokal. Sejak itulah Eva makin serius membudidayakan tanaman bunga edible. Rumah tanam di dak lantai 3 rumahnya yang semula berisi sayuran hidroponik ia ganti dengan aneka tanaman bunga.
Fokus bunga
Cara budidaya bunga sayuran itu sama dengan sayuran hidroponik, yakni dengan teknologi nutrient film technique (NFT). Mula-mula ia menyemai benih di rockwool, kemudian menempatkan bibit di netpot di lubang tanam. Namun, teknik budidaya itu membuat pertumbuhan tanaman bunga kurang optimal. “Tanaman tidak tumbuh roset sehingga tampak seperti kerdil dan jumlah bunga yang dihasilkan sedikit,” ujarnya.
Sejak itu ia mengganti gully trapesium yang semula digunakan untuk membudidayakan sayuran hidroponik dengan talang air. Ada pun tanaman bunga ia tanam dalam pot berisi media tanam nirtanah. “Tapi untuk nutrisinya tetap menggunakan AB mix,” kata ibu yang juga hobi membuat kue itu. Dengan teknik budidaya itu pertumbuhan tanaman lebih baik. Contohnya viola, beranak pinak sehingga tampak lebih roset dan mampu menghasilkan bunga lebih banyak.
Karena bunga yang dihasilkan untuk konsumsi, Eva tidak menyemprot tanaman dengan pestisida apa pun. Itulah yang kini menjadi tantangan buat Eva. Hama menjadi ancaman terbesar dalam budidaya tanaman bunga. “Pada saat awal menanam tanaman bunga, tanaman saya sempat habis oleh serangan hama seperti thrips dan spider mite,” ujarnya. Tak ingin kejadian buruk itu terulang, ia pun melakukan berbagai upaya pencegahan.
Salah satunya dengan melindungi dinding rumah tanam dengan jaring halus untuk mencegah serangga masuk. Penutupan dinding rumah tanam itu memang mengganggu sirkulasi udara. Agar sirkulasi udara tetap baik, Eva memasang kipas angin di dalam rumah tanam. Berbagai upaya itu belum menjamin tanaman bebas serangan hama. Masih ada saja kutu yang bersarang di tanaman.
“Oleh sebab itu, saya selalu rutin memeriksa kondisi tanaman. Jika ada daun yang menjadi sarang hama, saya petik,” tutur Eva. Petani muda itu rela melakukannya demi menjaga bunga-bunga hingga panen. Aneka puspa itu bukan hanya elok di mata, tetapi juga lezat di lidah sekaligus mendatangkan rupiah. (Imam Wiguna)