Penggunaan robot memudahkan pekerjaan peternak sapi perah. Tiga orang mengelola hingga 120 sapi.

“Sangat modern dan serbaotomatis,” kata Twan Wiermans dari Belanda saat mengunjungi peternakan sapi perah Gaec du Tertre Goutte di Pleudihen-sur-Rance, Côtes-d’Armor, Brittany, Perancis. Lebih dari 20 profesional peternakan dari berbagai negara itu bertandang ke kandang sapi sebagai bagian pameran peternakan terbesar di dunia, Salon de la Production Agricole Carrefour Européen (SPACE) 2018.
Peternakan sapi perah yang berdiri sejak 1994 itu istimewa lantaran mengandalkan beragam robot untuk memelihara 120 sapi perah berjenis friesien holstein (FH). Sebelumnya pada 2014—2015 populasi sapi 71 ekor. Pemilik peternakan, Michel Boixière, mengatakan penggunaan robot di peternakan sejak 2012. “Tujuannya agar memiliki waktu luang sehingga bisa mengembangkan perusahaan lainnya,” kata Michel.
Efektif
Selain itu dengan mekanisasi tenaga kerja pun lebih sedikit. Total jenderal hanya 3 orang—Michel Boixière, Antoine Boixière (anak Michel), dan seorang pekerja—yang mengelola peternakan dan ladang pakan seluas sekitar 145 hektare itu. Sapi secara otomatis masuk ke dalam ruang perah yang muat seekor sapi. Mesin memerlukan waktu 6.30 menit untuk memerah susu hewan ruminansia itu.

Bandingkan dengan cara manual dengan tangan yang menghabiskan waktu 10—15 menit. Belum lagi pekerja yang kelelahan setelah memerah. Dengan mesin pemerahan lebih efektif dan efisien. Setiap hari sapi asal Belanda itu 3 kali masuk ke ruang perah. “Sapi-sapi masuk sendiri ke dalam mesin pemerah jika mereka merasa perlu,” kata Michel. Ia menghasilkan sekitar 36,5 liter susu setiap hari.
Produksi susu tahunan mencapai 1,4 juta liter. Michel menjual susu itu ke perusahaan pengolah susu di Kota Saint-Malo, perjalanan sekitar 1 jam bermobil dari peternakan setiap 2 hari. Michel pun memanfaatkan robot pengolah pakan dan pendistribusi pakan. Robot pengolah pakan menggabungkan antara silase jagung, alfalfa, dan gandum sesuai komposisi yang ditentukan.
Robot itu mengumpulkan dan mengaduk rata semua pakan dalam mesin pendistribusi pakan. Selanjutnya mesin itu “berjalan” di atas lempengan besi khusus ke kandang dan mengeluarkan pakan. “Mesin itu mendistribusikan dan mengatur pakan sekali setiap jam,” kata Michel. Teknologi lain yang ia gunakan yakni mesin pendistribusi jerami. Para peternak hanya memerlukan waktu 15 menit meletakkan jerami di kandang secara merata, sebelumnya perlu hingga 1 jam.

Penanaman dan pemanenan tanaman penghasil pakan pun menggunakan mobil khusus sehingga pekerjaan lebih efisien dan efektif. Daily Development Program Frisian Flag Indonesia (FFI), Muhammad Rizki, mengatakan penggunaan robot di kandang sapi perah di Perancis dan negara Eropa lain merupakan hal yang sangat baru di Indonesia. “Bahkan mungkin belum terpikirkan,” kata Rizki.
Musababnya perkembangan mesin perah portabel belum pesat. Padahal, mesin itu bentuk mekanisasi paling dasar di kandang. Sementara itu penggunaan teknologi berbasis robot secara penuh di Eropa pun belum masif karena investasinya relatif besar. Michel merogoh kocek hingga €550.000 setara Rp9,3 miliar dengan kurs €1=Rp17.000. Mungkin lebih dari 30% peternak yang menggunakan sistem robot di kandang sapi perah di Eropa.
Diperlukan

Menurut Rizki kelebihan penggunaan mesin susu antara lain mengurangi tenaga kerja, beban pekerjaan peternak, dan kejadian mastitis. Selain itu kualitas susu (angka kuman) relatif stabil asalkan mesin digunakan sesuai standar operasional prosedur (SOP). Sementara kekurangan mesin pemerah yakni harganya relatif mahal dan memerlukan komitmen peternak untuk mematuhi SOP pemakaian dan perawatan alat itu.
Pemanfaatan mesin pemerah susu lazim di Perancis dan negara lain di Benua Biru lantaran kepemilikan sapi per mencapai 80 ekor per peternak. Oleh karena itu, mereka mutlak memerlukan teknologi mesin pemerah susu dan mekanisasi lain. Apalagi biaya tenaga kerja relatif mahal. Faktor lain yang mendukung penggunaan mesin pemerah lazim di Eropa yaitu kesadaran tinggi peternak menjaga kualitas susu dan kesehatan sapi.
Pemerahan dengan robot juga bentuk sinergi antara peternak, penjual mesin, dan penyuluh demi berlangsungnya penggunaan mesin sesuai SOP. “Komitmen dan kesadaran untuk mematuhi SOP pemakaian dan perawatan mesin sangat tinggi sehingga efek negatif mesin perah tidak ada. Intinya edukasi di Eropa lebih tinggi,” kata Rik Rik, sapaan akrab Muhammad Rizki.

Harap mafhum saat mesin pemerah susu kali pertama masuk ke Indonesia tidak dibarengi dengan pengetahuan mengenai penggunaan dan perawatan mesin. Dampaknya terjadi mastitis pada sapi dan berita itu menyebar cepat ke peternak sapi sehingga mereka engan menggunakan alat itu. Rizki mengatakan, mekanisasi di peternakan sudah sangat mendesak. Alasannya biaya tenaga kerja yang mahal, peningkatan kepemilikan sapi di tingkat peternak stagnan, serta adanya kesadaran sinergi antara peternak dan penyuluh. (Riefza Vebriansyah/Peliput: Muhamad Fajar Ramadhan)