Pada awal praktik sebagai herbalis, pada 2000 Valentina Indrajati memberikan herbal dalam bentuk kapsul. Menurut Valentina tubuh memerlukan waktu lebih lama untuk memproses senyawa aktif yang terkandung dalam herbal. Sebab, mesti mengancurkan selongsong kapsul. Itulah sebabnya ia memilih menggunakan herbal dalam bentuk serbuk setahun setelah praktik sebagai herbalis di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Valentina mengatakan, herbal dalam bentuk serbuk mempercepat proses larutnya senyawa aktif saat perebusan. Sebab, luas penampang makin besar sehingga senyawa aktif yang terlarut pun lebih optimal. Ia mengemas campuran herbal dalam satu kemasan berbobot 100 gram untuk sekali perebusan. Artinya pasien tak perlu menimbang sebelum merebus. Setelah merebus hingga mendidih, membiarkan hangat agar serbuk mengendap di dasar wadah.
Pasien hanya mengonsumsi air rebusan atau seduhan herbal. Pasien tinggal membagi segelas larutan herbal hasil saringan itu menjadi dua bagian yang sama atau masing-masing setengah gelas. Hasil rebusan itu kini siap konsumsi. Menurut Valentina herbal dalam bentuk serbuk juga praktis. Pasien relatif mudah membawa ke mana pun pergi dibandingkan dengan jika membawa simplisia.
Valentina menjelaskan, pasiennya yang umroh ke Arab Saudi membawa herbal dalam bentuk serbuk. Selain bentuk sediaan, Valentina juga menerapkan standar bahan baku yang ketat. Ia mensyaratkan petani mitra—tersebar di beberapa wilayah di Jawa Tengah dan Yogyakarta—untuk membudidayakan tanaman obat secara organik. Panen juga mesti dilakukan ketika tanaman dewasa agar kandungan senyawa aktif optimal.
Untuk empon-empon seperti temulawak atau kunyit, misalnya, panen pada umur 8 bulan. Valentina membutuhkan ratusan herbal dalam bentuk serbuk. Selain dari para petani mitra, ia juga memperoleh tanaman obat di halaman. Ia memang menanam ratusan tanaman obat di halaman rumahnya sebagai elemen taman. Sekadar menyebut beberapa contoh ada daruju, makasar, sembung, dan delima. (Sardi Duryatmo)