Rumah-rumah walet bermunculan di tepian Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, bersebelahan dengan rumah tinggal.
Bagian depan rumah sebagai hunian, sedangkan bagian belakang untuk rumah walet. Berbagi hunian antara manusia dan burung penghasil liur mahal itu tampak di di perjalanan Balikpapan—Kutaikartanagara, Provinsi Kalimantan Timur. Selepas 5 jam perjalanan dari Banuaq Patra—julukan Balikpapan yang berarti Kota Minyak, Trubus melintas Desa Jembayan, Kecamatan Loahulu, Kabupaten Kutaikartanegara.
Di sanalah pemandangan unik itu terpampang, sebuah rumah memanjang berukuran sekitar 20 m. Di atap bagian belakang rumah yang menyambung dengan bagian depan, terlihat sebuah rumah monyet alias jalan memasuki rumah walet. Rumah monyet setinggi 3 m itu menyisakan sebuah lubang masuk berukuran 20 cm x 20 cm. Lubang yang menghadap ke timur itu menjadi jalan masuk bagi walet untuk mencapai bagian belakang rumah.
Kayu dan tembok
Lantunan tweeter untuk mengundang walet terdengar sayup-sayup. Selain hanya berbatas tembok dengan rumah tinggal di bagian depan masih, berjarak 10 m di sebelah utara berdiri sebuah tempat ibadah. Tidak jauh dari lokasi itu terdapat rumah kayu berukuran 5 m x 5 m. Rumah itu malah hanya menyisakan ruangan sepanjang 2 m di bagian depan untuk hunian manusia.
Bagian terbesarnya, di bagian belakang, dimanfaatkan sebagai sarang liur Collocalia fucifaga itu berlabuh. Bangunan bagian belakang 0,5 m lebih tinggi daripada bagian depan dengan rumah monyet di atas. Tidak jauh dari lokasi itu, sebuah rumah berdinding tembok tidak mau kalah. Bagian depan untuk rumah tinggal, bagian belakang rumah walet mini berukuran tidak lebih dari 2 m x 2 m dengan atap lebih rendah daripada atap rumah bagian depan.
Sebuah rumah monyet menyerupai cerobong asap dari tembok menjadi penanda pintu masuk bagi walet. Kondisi serupa Trubus jumpai saat menginjakkan kaki di dermaga penyeberangan Kotabangun. Walet tetap nyaman berbagi ruang dengan manusia. Namun, ada perbedaan fisik rumah walet Kotabangun antara tepi Sungai Mahakam dengan di darat. Di darat, bangunan walet didominasi tembok beton.
Itu menyesuaikan dengan kondisi rumah yang juga terbuat dari material serupa. Biasanya rumah walet diletakkan di lantai atas bangunan. Tinggi rumah walet bervariasi. Ada yang satu lantai atau lebih. Bangunan dasar dimanfaatkan untuk tempat tinggal merangkap tempat usaha. Lantaran dekat dan bersinggungan dengan aktivitas manusia, suara tweeter pengundang walet pun nyaris tak terdengar.
Jarak dengan rumah tetangga yang hanya dipisahkan tembok membuat suara tweeter lirih pun bakal terdengar. Saat Trubus berdiri 3 m di depan bangunan, nyaris tiada suara yang mampir ke gendang telinga. Terpisah jalan beton selebar 5 m dari daratan, rumah kayu berimpitan di tepian Sungai Mahakam. Selain dimanfaatkan sebagai tempat tinggal, rumah di tepi sungai tersebut banyak difungsikan sebagai tempat usaha semisal penginapan atau menjadi pangkalan ketinting.
Ketinting alias sampan bermesin menjadi kendaraan warga untuk menyeberangi sungai Mahakam. Berjalan menuju pangkalan ketinting, Trubus melewati lorong berukuran 0,5 m yang terletak di antara 2 penginapan. Saat memasuki lorong yang terdiri dari undakan kayu yang hanya pas untuk satu orang lewat, dari bagian atas terdengar jeritan tweeter dan suara cericit walet bersahutan.
Saat menengadah ternyata suara riuh itu berasal dari rumah walet di bagian atas. Padahal, banguan yang ditopang kayu ke sungai itu merupakan penginapan. Rupanya sang pemilik memanfaatkan bagian atas bangunan sebagai sarang walet. Saat perahu ramping sepanjang 7 m berpenggerak mesin 9 PK menyibak air Mahakam, terlihat jelas pemandangan rumah walet di tepian sungai yang menyatu dengan pemukiman.
Tersedia pakan
Kehadiran rumah walet yang tersembul di antara padatnya pemukiman rumah kayu terlihat dari rumah monyet yang menjulang tinggi. Ukuran rumah monyet bervariasi, tetapi kebanyakan lebih tinggi daripada atap pemukiman. Tujuannya memudahkan walet untuk masuk ke dalam sarang. Bentuk rumah walet pun berbeda-beda. Ada yang menempel dengan rumah, ada pula yang berdiri sendiri.
Itu pun masih berimpitan dengan rumah tinggal. Pantas, suara tweeter dari jarak 5 m pun tak terdengar. Karena penasaran, ketinting diarahkan ke tepi lalu mesin dimatikan. Suara tweeter pun tak terdengar. Rupanya hal itu karena letaknya yang berimpitan dengan rumah warga. Suara tweeter yang terlalu kencang bakal mengganggu warga sehingga suara pemanggil hanya dibunyikan lirih.
Menurut Rustam, pengemudi ketinting, gempita pembangunan rumah walet dimulai 10 tahun silam. Kelembapan tinggi di tepi sungai membuat walet kerasan dan bersarang. Di kawasan perairan itu pun banyak serangga air beterbangan yang menjadi pakan walet. Sisa sampah organik tempat hidup serangga pakan walet pun turut bertumbuh seiring dengan banyaknya pemukiman di bibir sungai. Rumah walet tidak hanya berimpitan dengan rumah tinggal.
Saat ketinting berbelok menuju Desa Sangkuliman, persis di bawah jembatan berdiri sebuah rumah walet. Saat perjalanan makin laju, beberapa rumah walet di tepian sungai pun turut pula dijumpai. Jika diperhatikan lebih saksama, beberapa di antaranya adalah rumah tua yang tidak dihuni lagi. Di bagian depan tampak beranda, sementara di sisi kiri dan dan kanan terdapat jendela-jendela besar yang tertutup rapat.
Para penghuni “mengalah” pergi dan merelakan tempatnya bernaung untuk kehadiran burung penghasil rupiah. Namun, tidak semua rumah walet memanfaatkan rumah kosong. Beberapa rumah walet dengan ukuran bervariasi tampak baru dibangun. Ada yang menjulang megah sepanjang 20 m dengan ketinggian 4—5 lantai. Ada juga yang mungil berukuran hanya 3 m x 3 m. Semua demi memikat pembuat liur emas untuk singgah dan bersarang. (Faiz Yajri kontributor Trubus di Jakarta)