Setelah Lebaran 2015, konsumen berharap harga daging kembali normal. Harapan konsumen ternyata tidak terjadi, alih-alih harga daging sapi menurun malah melonjak signifikan. Daging sapi di Jakarta dan sekitarnya, Bandung, serta kota-kota besar lainnya menjadi langka. Akibatnya harga naik signifikan dari Rp90.000 menjadi sekitar Rp130.000 per kilogram.
Kondisi itu membuat para pedagang daging sapi mogok. Mereka menuntut agar pemerintah menjamin harga daging sapi turun. Para pedagang meyakini bahwa harga sangat tinggi melampaui daya beli konsumen. Para pedagang memilih tidak menjual daging sapi daripada rugi.
Saling tuduh
Prahara kelangkaan daging sapi ternyata bertambah ramai dengan perdebatan di antara pelaku daging sapi di tanahair. Pemerintah meyakini bahwa stok daging dalam negeri cukup. Namun, diduga ada pihak-pihak yang menahan stok yang seharusnya dipasok ke pasar.
Bahkan Presiden Joko Widodo pun meyakini bahwa modus kartel dan penahanan (penimbunan) stok merupakan strategi para importir daging sapi untuk memaksa pemerintah membuka impor daging sapi lebih banyak. Tuduhan itu dibantah keras para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (ASPIDI), Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (APFINDO), serta Asosiasi Pengusaha Pemotongan Hewan Indonesia (APPHI).
Mereka meyakini bahwa kelangkaan daging diakibatkan kebijakan pemerintah yang salah dan tidak didukung oleh data yang benar. Pihak asosiasi pun meyakini kelangkaan seperti itu sering terjadi dan berulang. Pemerintah seharusnya belajar pengalaman masa lalu.
Oleh karena itu pemerintah harus memutuskan kebijakan berdasarkan data dan fakta, tidak sekadar mempertahankan kebijakan swasembada sapi potong dengan mengurangi impor, sementara ketersediaan pasokan domestik belum mendukung. Menjelang hari raya pemerintah mengurangi secara drastis impor sapi menjadi 50.000 ekor. Sementara ekspektasi pasar 200.000—250.000 sapi. Biang keladi kelangkaan daging sapi adalah keputusan pemerintah yang salah.
Penyakit mulut dan kuku
Isu lain yang mengemuka adalah ketergantungan tinggi terhadap Australia sebagai sumber sapi bakalan dan daging sapi. Itu menjadi alasan kuat yang melatarbelakangi pemerintah untuk mencari alternatif seperti dari Brasil atau India.
Kendalanya adalah kedua negara itu belum bebas dari penyakit mulit dan kuku (PMK), sementara Indonesia bebas penyakit PMK. Untuk melaksanakan hal itu, sistem biosekuritas peternakan sapi potong di Indonesia harus diperbaiki.
Sistem biosekuritas (kesehatan hewan) yang masih lemah dan tidak ada garis komando yang jelas untuk pencegahan dan pemberantasan penyakit harus segera dibenahi. Laboratorium diagnostik modern harus disediakan untuk mendeteksi virus PMK dengan sangat cepat.
Kini bukan waktunya lagi untuk saling menyalahkan. Demi NKRI, para pemangku kepentingan (pemerintah, pengusaha penggemukan sapi, dan importir daging sapi) perlu “duduk satu meja”. Bukan hanya membedah data dan adu argumentasi, tetapi bersama-sama mencari solusi.
Sistem logistik
Potensi ternak sapi di Indonesia masih tersebar di berbagai sentra seperti Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Sementara konsumsi daging terbesar di Indonesia terpusat di daerah Jakarta dan sekitarnya.Oleh karena itu persoalan logistik mendesak untuk dibenahi. Jangan sampai sapi yang dijual dari Australia ke Jakarta lebih murah dibandingkan sapi yang dijual dari wilayah timur Indonesia ke Jakarta.
Sejatinya masing-masing provinsi dan pulau secara alami memiliki arus distribusi tersendiri. Distribusi terjadi antarprovinsi dan pulau yang memiliki kedekatan geografis. Ternak sapi dari Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur tidak terdistribusi hingga ke Jakarta, kalaupun ada jumlahnya sedikit. Jakarta dan sekitarnya lebih banyak mendapatkan kiriman ternak sapi dari Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung, dan Bali serta impor.
Arus distribusi ternak sapi dari Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur justru lebih banyak ke Kalimantan dan Sulawesi. Itu menjadi sinyal kuat adanya persoalan distribusi. Sistem logistik nasional kita belum efisien benar, baik regulasi, transportasi, dan distribusi. Padahal sentra produksi dan sentra konsumsi mensyaratkan konektivitas.
Hal itu agar arus komoditas sapi dan daging dapat mengalir dengan mudah dan murah. Sistem logistik yang belum efisien, alat transportasi yang tidak dirancang khusus untuk angkutan ternak, menyebabkan sapi stres. Akibatnya bobot sapi pun turun. Pedagang sapi di NTB menyebutkan, sapi yang diangkut dari Mataram ke Jakarta mengalami penyusutan 9—12%. Biaya distribusi relatif besar menyebabkan pedagang (intermediaries) menekan harga di tingkat peternak.
Tujuannya agar harga jual di konsumen akhir masih sesuai dengan daya beli konsumen. Akibatnya peternak dari sentra produksi (misalnya NTB dan NTT) enggan menjual sapi ke pedagang yang akan menjual sapinya ke Jakarta karena harganya yang rendah. Para peternak lebih memilih menjual ternak sapi ke pedagang yang akan menjual sapi ke daerah lain, misalnya ke Kalimantan atau Sulawesi karena harganya lebih tinggi. Sebab, biaya distribusi sapi ke Kalimantan dan Sulawesi lebih murah dibanding ke Jakarta. Selain itu penurunan bobot tubuh sapi yang relatif kecil.
Campur tangan
Jika ingin peternak dalam negeri sebagai tulang punggung, sementara impor ternak dan daging hanya sebagai pendukung, maka pemerintah harus berpihak kepada kepentingan konsumen dan peternak. Persoalan perbedaan pendapat mengenai akurasi data penawaran dan permintaan perlu segera diselesaikan. Bila sekiranya perhitungan menetapkan kuota impor yang dilakukan pemerintah “keliru”, pemerintah harus “legowo” untuk melakukan koreksi.
Sebaliknya bila pengusaha “bermain” dalam mengurangi pasokan ke pasar, maka pemerintah harus berani “bertindak”. Prinsip dasar dalam menganalisis biaya distribusi dari sentra produksi ke sentra konsumsi ternak sapi potong harus mengusung konsep sistem distribusi yang berkeadilan.
Konsep distribusi yang berkeadilan yaitu peternak mampu mendapatkan keuntungan yang cukup untuk kelayakan hidup peternak, sementara pedagang juga mendapatkan keuntungan sesuai harga pasar, sehingga harga bersaing. Terdapat dua strategi yang dapat dilakukan. Pertama, pemerintah menyediakan alat transportasi antarpulau, yang dapat didesain khusus sewaktu-waktu untuk angkutan ternak sapi.
Dalam strategi itu pemerintah dapat menunjuk perusahaan BUMN angkutan, misalnya PT Pelni, sebagai operator. Kedua, mendistribusikan ternak sapi dalam bentuk daging beku. Pemerintah harus menyediakan berbagai fasilitas pendukung, seperti fasilitas prosesing dan penyimpangan di ruang pendingin. Pemerintah harus memiliki political will yang kuat dan konsisten. Semoga semua pemangku kepentingan bekerja lebih keras, cerdas, dan tuntas. (Ir Arief Daryanto, MEc, PhD, Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis, Sekolah Bisnis Institut Pertanian Bogor)