
Memadukan teh dengan beragam rempah-rempah. Pas untuk minuman generasi milenial.
Tangan Ir. Iriana Ekasari cekatan meracik berbagai rempah dengan teh serbuk. Ia memasukkan racikan itu ke dalam teko kaca dengan saringan logam lalu menyeduh dengan air panas. Sebelum menyajikan, ia menambahkan susu segar. Perempuan kelahiran April 1965 itu lantas mempersilakan Trubus menyesap hasil racikan itu dan menebak jenis rempah dalam larutan teh itu. Yang pertama terasa adalah aroma kayumanis Cinnamomum zeylanica. Iriana lantas menunjukkan rempah itu. Selain kayumanis, ada 6 jenis bahan yang ia tambahkan, antara lain biji adas Foeniculum vulgare, jahe, dan lada hitam.
Ia menjuluki racikan untuk kaum milenial itu 7 Spices Milk Tea. “Paduan itu memberikan sensasi hangat menyegarkan, apalagi diminum dingin,” ujar ibu seorang anak itu. Iriana pendatang baru dalam industri teh. Tempat meracik dan mengemas teh itu bernama Sila Tea House atau Rumah Teh Sila. Kedai teh di Kecamatan Katulampa, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, baru ia dirikan pada Februari 2018. Sadar bahwa ia menghadapi banyak produsen bermodal besar, Iriana memilih jalur pemasaran nonbiasa.
Kemasan cantik
Lantaran menyasar kaum muda, Iriana memanfaatkan dunia maya atau media sosial sebagai cara berpromosi. Penjualan produk pun ia lakukan melalui lapak-lapak daring (online). Alumnus Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor itu juga aktif berbicara tentang teh dalam berbagai forum.

Menggelar lapak sembari menjelaskan seluk-beluk teh efektif mengerek omzet Rumah Teh Sila. Ia mengemas produknya dalam kemasan cantik dan eksklusif. Cara itu Iriana pelajari semasa aktif di BUMN. Ketika bertugas ke London, Inggris, ia melihat gerai teh yang menyajikan teh dalam kemasan-kemasan menarik.
Padahal, penyajian elok berbanding lurus dengan harga. Tentu, tanpa menomorduakan kualitas produk. Kemasan apik memikat pembeli, kualitas tinggi membuat mereka membeli kembali. Cara pemasaran aktif dan interaktif melengkapi kedua unsur itu. Gabungan 3 unsur itu sekaligus menghindari benturan dengan produk sejenis besutan pabrik besar, yang dana promosinya saja mencapai triliunan rupiah.
Menjual dengan harga premium juga menjadi cara meningkatkan pendapatan petani dan tenaga kerja di sektor hulu. “Industri teh saat ini tidak berpihak kepada pekerja di lapangan. Upah kecil padahal mereka harus mulai bekerja sebelum matahari terbit,” kata Iriana. Menurut mantan konsultan pemasaran itu, pekerja yang kebanyakan perempuan, harus memanggul puluhan kilogram daun teh hasil panen ke titik-titik pengumpulan terdekat. Jaraknya hanya beberapa ratus meter, tapi dengan kontur perkebunan teh yang naik turun, pekerjaan itu menjadi sangat melelahkan.
Hal itu juga yang coba Iriana sampaikan kepada konsumen melalui paket wisata kunjungan kebun sekaligus menjajal panen. Dalam salah satu kunjungan, peserta banyak yang menyerah ketika merasakan proses panen. “Padahal pekerja kebun melakoni pekerjaan itu setiap hari,” katanya. Dengan cara itu, ia menyadarkan penikmat terhadap ketimpangan dalam setiap teguk teh yang mereka sesap. Hal yang kadung menjadi kelaziman itulah yang ingin ia perbaiki melalui pendidikan dan penyadaran kepada konsumen.
Jejak karbon

Salah satu fakta yang meyakinkan Iriana terhadap potensi mengerek nilai jual teh adalah tingginya kualitas teh dalam negeri. Faktanya, hampir semua teh berkualitas tinggi itu justru tersaji dalam cangkir teh di mancanegara. Sementara itu, “Konsumen teh tanah air harus puas dengan produk berkualitas seadanya,” kata manajer bisnis Rumah Teh Sila, Redha Taufik Ardias. Masyarakat Indonesia telanjur dicekoki paham bahwa teh yang baik harus berwarna pekat atau pahit. Padahal teh terbaik dan paling mahal, yaitu teh putih, justru cenderung encer den Faktor lain yang bisa digarap adalah fakta bahwa teh, sejak penanaman sampai penyajian, minim jejak karbon. Sudah begitu, pohon teh juga mempertahankan kontur tanah, mencegah longsor, dan menyerap hujan menjadi air tanah. “Jejak karbon bisa meningkatkan nilai jual teh buatan dalam negeri di pasar negara-negara maju yang masyarakatnya sadar lingkungan,” kata Iriana.
Dengan alasan itu, Iriana mengusung jargon bisnis teh secara etis. Itu sebabnya ia memilih nama Sila—bahasa Sansekerta yang salah satu artinya adalah etis atau berbudi. Ia membeli di pasar umum untuk mempertahankan mata rantai pemasaran yang ada. Namun, Iriana menetapkan syarat ketat untuk bahan rempah. Dengan harga beli lebih tinggi, pedagang pasar dengan senang hati menuruti syarat itu.

Saat ini Rumah Teh Sila menggunakan bahan racikan antara lain serai, melati, mawar merah, kayu secang, kapulaga, dan berbagai bahan lain. Mereknya terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, setelah melalui proses selama 2 tahun. Iriana mengeluhkan lamanya proses mendaftarkan merek itu, yang tidak berpihak kepada industri kecil atau rumahan. Berbagai halangan mampu ia taklukkan, membuktikan bahwa pilihannya menerjuni bisnis teh premium adalah keputusan tepat. (Argohartono Arie Raharjo)