Penanaman terintegrasi dengan komoditas lain dan penguasaan teknik mengolah jadi strategi untuk meningkatkan nilai tambah kopi ketika demam kopi melanda masyarakat.
Trubus — Tiga tahun terakhir, kedai kopi tumbuh bak jamur di musim hujan. Hampir di seluruh kota di Indonesia bermunculan kedai kopi. Di setiap pojok kota, ruko-ruko disulap menjadi kedai kopi. Banyak pengusaha yang membuka kedai kopi dalam bentuk gerobak kaki lima. Mereka menyeduh biji kopi arabika specialty dan fine robusta. Itu menandai terjadinya pergeseran budaya “ngopi” di tengah masyarakat.
Penggemar kopi mulai meninggalkan kopi instan komersial yang digunting (sachet), beralih ke kopi kelas premium. Penggemar kopi menikmati biji kopi segar sangrai dan harus digiling langsung sebelum seduh. Kini mereka mulai meninggalkan kopi sangrai hitam seperti arang. Bahkan kopi kini cita rasanya tak lagi pahit. Sebab, para pengusaha menyangrai biji kopi lebih muda (light to medium).
Perubahan iklim
Secara sosiologis profil penggemar kopi pun mulai berubah. Kopi kini tidak lagi identik dengan dunia pria dewasa. Pemuda, remaja, dan kaum perempuan kini ikut menggemari kopi. Kasus racun dalam secangkir kopi yang menewaskan peminumnya menjadi sorotan media massa lalu justru mengusik keingintahuan orang. Banyak orang yang penasaran rasa seduhan kopi ala Vietnam.
Di lini produksi, kendala umum pertanian adalah usia tenaga kerja yang kian menua. Namun, hal itu tak terjadi pada komoditas kopi. Para pemuda desa bangga menjadi petani kopi. Luasan kebun kopi di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi bertambah setiap tahun. Sayangnya gangguan produksi akibat perubahan iklim membayang-bayangi gairah masyarakat menyeruput kopi.
Saat ini batas musim hujan dan kemarau yang makin kabur mengancam pembentukan buah kopi. Pada 2016 produksi beberapa sentra kopi nasional seperti Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Pangalengan, Jawa Barat, menurun. Bahkan produksi di sentra baru seperti Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah, dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pun ikut anjlok.
Data Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) menunjukkan, produksi kopi pada 2015 mencapai 680.000 ton. Pada 2016 merosot menjadi sekitar 625.000 ton. Salah satu biang keladinya adalah hujan yang turun ketika tanaman anggota famili Rubiaceae itu berbunga. Terpaan hujan merusak bunga sehingga gagal membentuk buah. Efeknya tentu saja merembet ke hilir.
Stok biji para pemilik kedai menipis sementara para pengepul kopi berlomba mencari kopi untuk memenuhi kuota ekspor. Sebenarnya, fenomena penurunan produksi cukup sering terjadi. Tidak hanya di Indonesia, beberapa negara penghasil kopi seperti Etiopia, Kenya, Brasil, Kolombia, Guatemala, atau Honduras kerap mengalaminya. Kegagalan panen kopi arabika di Brasil dan Kolombia akibat faktor cuaca ekstrem dingin atau frosts.
Penyebab lain adalah penyakit karat daun akibat serangan cendawan Hemileia vastatrix (HV). Serangan cendawan itu terbesar di Indonesia terjadi di Jawa pada 1896, mengakibatkan hampir semua tanaman arabika diganti dengan robusta. Cirinya daun berbercak kuning, rontok, dan akhirnya pohon mati. Di Amerika Tengah penyakit itu dinamai laroya dan momok terbesar perkebunan kopi.
Nilai tambah
Ancaman penurunan produksi itu menjadi bendera kuning di tengah demam kopi Indonesia. Bagaimana kita harus bersikap? Pertama, pekebun harus meletakkan kopi dalam konteks kedaulatan pangan. Jangan menjadikan kopi sebagai tanaman utama. Pekebun kopi tidak boleh hanya menggantungkan ekonomi keluarga semata dari tanaman kopi, tetapi harus memiliki tanaman lain sebagai sumber penghasilan atau sumber pangan.
Di Subak Ulian, Kintamani, Provinsi Bali, petani mengintegrasikan kopi dengan jeruk. Sebelum memanen kopi, petani menikmati panen jeruk di kebun yang sama. Artinya dalam luasan sama, petani bisa mendiversifikasi sumber pendapatannya. Bahkan kopi bisa ditanam secara tumpangsari dengan tanaman hortikultura. Kedua, pola agroekologi berdasarkan penelitian mampu melindungi tanaman kopi dari serangan hama penyakit dan cuaca.
Penelitian Ivette dan John Vandermeer menunjukkan bahwa predator alami akan muncul mengusir hama dan penyakit kopi bila kebun terintegrasi dengan tanaman kayu dan peneduh. Artinya, penanaman kopi harus secara polikultur—atau budidaya beragam spesies di sebuah lahan—alih-alih monokultur seperti kelapa sawit.
Ketiga, peningkatan keterampilan pekebun mengolah kopi yang benar sampai menjadi kopi beras (green bean). Kopi beras adalah biji kopi yang telah terkupas kulitnya. Penguasaan metode itu bisa mendongkrak pendapatan pekebun 2—3 kali lipat daripada menjual dalam bentuk kopi gabah basah—atau biji kopi yang masih berkulit. Bila setiap pekebun mengolah kopi dengan benar, standar produksi kopi nasional bisa ditingkatkan menjadi spesialti.
Keempat, pekebun kopi harus memahami kualitas produknya sendiri melalui pelatihan cupper dan tester—teknik menilai minuman kopi dengan mencium aroma, menyeruput, atau menenggak. Dengan kemampuan itu, mereka bisa mengukur hasil produksinya. Pekebun bisa memperoleh harga pantas apabila mampu menghasilkan produk berkualitas tinggi. Mereka bisa menaikkan harga penawaran saat bernegosiasi dengan eksportir atau pengepul.
Kita harus berkaca kepada Italia, Jerman, Swiss, Amerika Serikat, atau Australia. Mereka mampu mendulang laba dari perniagaan kopi. Hal yang ironis mengingat mereka tidak memiliki semeter pun kebun kopi. Rahasianya, mereka mendapatkan keuntungan melalui perniagaan, sekolah kopi atau instituto del cafe, laboratorium cupping, atau mesin dan peralatan kopi.
Sekadar menyesali penurunan panenan kopi, tentu bukan solusi. Potensi-potensi itulah yang belum tersentuh di sini. Padahal, negeri ini memiliki kopi spesialti terbanyak di dunia. Letak strategis yang diapit 2 samudera dan 2 benua juga menjadi berkah yang tidak dimiliki negara lain. Sentuhan, polesan, dan promosi menjadi kunci mendulang pemasukan dari nilai tambah kopi. (Tejo Pramono, S.T.P., co-founder Rumah Kopi Ranin di Bogor dan pengajar di Sekolah Kopi Humbang Hasundutan, Sumatera Utara)