Para pekebun lengkeng di berbagai daerah menerapkan konsep agrowisata. Itu sebuah pilihan tanpa kesengajaan. Pekebun lebih untung. Pengunjung memanjakan mata sekaligus lidah.
Trubus — Deretan pohon lengkeng setinggi 1,5 meter itu sarat buah. Mugiyanto harus menyangga cabang-cabang Dimocarpus longan berumur 5 tahun. Panorama itu memanjakan mata siapa pun yang mengunjungi kebun lengkeng seluas 1,3 hektare di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu. Menyaksikan buah ranum, apalagi memetik sendiri lengkeng di kebun menjadi daya tarik.
Pekebun 40 tahun itu menetapkan tarif Rp15.000 per orang yang hendak mengunjungi kebunnya. Pengunjung memetik buah siap panen dengan gunting yang telah disediakan. Petugas kebun akan menimbang buah hasil panen pengunjung. Konsumen membayar uang sesuai bobot panen. Mugiyanto menjual lengkeng Rp40.000 per kg. Selain itu pengunjung juga memperoleh edukasi tentang budidaya lengkeng. Di lahan itu ia menanam 250 pohon produktif hasil penanaman pada 24 Februari 2015.
Belum terpenuhi
Mugiyanto mengatur pembuahan setiap pohon agar buah berkesinambungan. Dengan begitu kapan pun pengunjung datang, selalu bisa tersedia pohon yang tengah berbuah. Menurut pekebun lengkeng sejak 2015 itu produksi pohon mencapai 41—50 kg per tahun. Setahun terakhir Mugiyanto tidak pernah memanen sendiri buah lengkeng di kebunnya. Pengunjung yang memanen “habis” buah di setiap pohon.
Pekebun yang juga anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) Komando Distrik Militer (Kodim) 0705 Magelang itu membuahkan rata-rata 20 pohon per bulan. Sejak perlakuan, pohon anggota famili Sapindaceae itu siap panen 6—7 bulan kemudian. Para pengunjung memberikan omzet kepada Mugiyanto rata-rata Rp1,6 juta per pohon. Jika 20 pohon “siap panen” per bulan, maka omzet Mugiyanto Rp32 juta. Mugiyanto mengatakan, pengunjung mendatangai kebunnya sejak Januari 2018.
Anggota TNI AD berpangkat kopral kepala itu mencatat sejak membuka kebun untuk umum, setidaknya 15.000 pengunjung datang. Mugi memanen minimal 15 ton lengkeng dari total populasi 250 pohon. Menurut Mugiyanto jumlah panen itu belum memenuhi permintaan konsumen. Harap mafhum, selain melayani kebutuhan buah untuk para pengunjung kebun, Mugi juga melayani pesanan buah dari konsumen lain yang menghubunginya lewat telepon. Ia melayani permintaan buah dari berbagai daerah, seperti Medan, Sumatera Utara, Kabupaten Siak (Provinsi Riau), dan beberapa daerah di Jawa Barat.
“Jumlah permintaan buah mencapai 50 ton per tahun,” tutur pemilik Kebun Lengkeng Borobudur itu. Itulah sebabnya ia bermitra dengan pekebun lain untuk memenuhi permintaan buah. Salah satunya Pitoyo yang mengebunkan lengkeng di Desa Tuksongo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Ia mengebunkan lengkeng di lahan 1.000 m² dengan jarak tanam 4 m x 4 m atau total 40 pohon.
Pekebun mitra lainnya adalah Sidik yang mengebunkan lengkeng di Desa Waringinputih, Kecamatan Borobudur. Ia mengebunkan 63 pohon lengkeng di lahan milik desa seluas 2.500 m². Menurut Sidik kebun itu bagian dari kebun milik Kelompok Tani Karangjati di Desa Wringinputih. “Luas lahan seluruhnya sekitar 2,5 hektare dengan populasi rata-rata 200 pohon per hektare,” tuturnya.
Sayangnya saat Trubus berkunjung sebagian buah sudah panen. Buah yang tersisa masih kecil-kecil dan siap panen sekitar 2 bulan lagi. Mugiyanto juga memperoleh pasokan buah dari pekebun lain di luar Magelang, seperti Magetan dan Lumajang, keduanya di Provinsi Jawa Timur. Mugi mulai mengebunkan lengkeng pada 24 Februari 2015. “Saya anggota TNI aktif. Kegiatan berkebun sejalan dengan pemberdayaaan masyarakat, terutama di bidang ketahanan pangan,” tutur Mugiyanto.
Mugiyanto menggunakan lahan milik Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Graha Mandala, Desa Borobudur. “Saya mengelola kebun dengan modal pribadi,” kata pria 40 tahun itu. Mugi menanam lengkeng jenis kateki. Ia memilih varietas itu lantaran paling unggul dan sudah tersertifikasi sejak 2016. Ketebalan daging buah mencapai 6—7,5 mm dengan tingkat kemanisan 19,6—21,4o briks. Daging buah kateki juga lebih kering, yakni berkadar air 78,4—79,4%.
Tanaman kerabat rambutan itu juga mampu berbuah lebat. Dalam satu dompol buah bisa mencapai 4,7 kg. Keunggulan lain, kateki lebih tahan simpan, yakni mencapai 7—10 hari dalam suhu kamar. Daya tahan itu lebih lama dibandingkan dengan itoh yang hanya 3—4 hari. Mugi memperoleh bibit dari penangkar buah di Kota Semarang, Prakoso Heryono, dan Samlawi asal Salaman, Magelang.
Perangsang buah
Nun di Kecamatan Cijambe, Kabupaten Subang, Jawa Barat, ada Sutanta yang mengelola kebun lengkeng milik investor asal Jakarta. Namun, Totok—panggilan akrab Sutanta—tak membebankan tiket, para pengunjung cukup melapor kepada pengelola kebun. Di sana pengunjung dapat memilih petik buah sendiri atau meminta bantuan kepada karyawan kebun untuk memanen. Bila ingin memetik buah sendiri, karyawan kebun akan mendampingi pengunjung.
Selanjutnya hasil panen ditimbang. Totok mematok harga jual buah lengkeng Rp35.000 per kg. Di kebun 6 hektare itu tumbuh 1.200 pohon lengkeng. Umur pohon bervariasi karena penanaman secara bertahap. Yang tertua berumur 8 tahun. Dari jumlah itu 1.100 pohon di antaranya lengkeng jenis itoh. Sisanya bervariasi sebagai tanaman koleksi. Totok mengatur masa berbuah dengan perangsangan buah secara berkala agar buah tersedia terus-menerus.
“Biasanya sekali membuahkan rata-rata 100 pohon,” ujarnya. Perangsangan buah biasanya pada musim hujan, yakni pada Oktober—Februari. “Pada saat perangsangan buah kebutuhan air harus terpenuhi,” kata pria asal Yogyakarta itu. Perangsangan buah dilakukan dengan menyiramkan larutan pupuk yang mengandung potasium klorat (KClO3). Dosisnya disesuaikan dengan lebar tajuk.
Potasium klorat lazim digunakan para pekebun untuk merangsang itoh berbuah. Harap mafhum, itoh sejatinya jenis lengkeng yang berasal dari dataran tinggi. “Jika ditanam di dataran rendah perlu perangsangan buah. Jika tidak, tanaman enggan berbuah,” jelas Totok. Dari masing-masing pohon Totok memanen rata-rata 20—25 kg lengkeng per pohon. Artinya, dalam satu periode pembuahan ia memanen rata-rata 2—2,5 ton buah. “Jumlah hasil panen itu selalu habis di kebun,” tuturnya.
Pekebun lain yang juga membuka kebunnya untuk masyarakat umum adalah Urip Ibrahim. Pekebun di Desa Lelea, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat, itu mengebunkan 115 pohon lengkeng jenis mutiara. Umur pohon rata-rata 2—3 tahun. Pemilik Agrimania Flora memilih varietas itu karena pertumbuhannya paling optimal dibandingkan dengan lengkeng jenis lain.
Urip mulai membuka kebun untuk umum pada Januari 2018. Namun, saat acara pembukaan kebun, buah lengkeng masih pentil. Baru pada April 2018 lengkeng di kebunnya panen raya.
Ketika itu baru 52 pohon yang siap panen. Dari satu pohon ia memanen rata-rata 40 kg lengkeng. Urip tidak mengenakan biaya tiket masuk kepada para pengunjung. “Pengunjung bisa memetik sendiri, lalu menimbangnya,” ujarnya. Ia menjual lengkeng dengan harga Rp30.000 per kg. Ia tak menyangka banyak warga sekitar kebun yang antusias membeli lengkeng langsung di kebun.
Jadi agrowisata
Mugiyanto, Sutanta, dan Urip tidak sengaja membuat agrowisata lengkeng. Semula mereka hanya berniat mengebunkan tanaman kerabat leci itu. Namun, panorama elok saat pohon berbuah menjadi magnet bagi para pengunjung. Para pengunjung pun berdatangan. Harga jual lebih tinggi tidak persoalan bagi pengunjung. Harga lengkeng di lapak-lapak buah hanya Rp20.000 per kg.
Itulah sebabnya Urip berencana menjadikan area di sekitar kebun sebagai kawasan agrowisata lengkeng, selain mangga agrimania yang menjadi andalannya. Untuk itu ia bermitra dengan para pemilik kebun lengkeng di sekitar kebunnya agar sama-sama membuka kebun menjadi kawasan agrowisata. Di dekat kebunnya ada pemilik kebun asal Kota Bandung, Jawa Barat, yang baru saja menanam sekitar 300 pohon lengkeng. “Mungkin 2—3 tahun lagi sudah siap untuk wisata petik lengkeng,” tuturnya.
Lima tahun terakhir makin banyak kebun-kebun lengkeng berskala kecil, tapi menerapkan konsep agrowisata. Para pemilik kebun memperbolehkan konsumen membeli hasil panen langsung di kebun. Ada pekebun yang membebankan tiket masuk, ada juga yang gratis. Konsep agrowisata yang diterapkan para pekebun berbeda-beda. Beberapa pekebun ada yang mengizinkan pengunjung memetik langsung lengkeng dari pohonnya, ada juga yang tidak. Pengunjung hanya boleh membeli lengkeng yang sudah dipanen pengelola kebun.
Contoh kebun buah milik PT Purnawangi Majujaya di Desa Ciptaharja, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Kebun seluas 60 hektare itu tidak mengizinkan konsumen memetik sendiri buah di kebun. Pengunjung hanya boleh membeli lengkeng yang sudah dipanen. Selain itu tentu saja pekebun yang menerapkan agrowisata memperoleh laba lebih besar karena harga jual buah di kebun lebih tinggi. Selisih harga mencapai Rp15.000—Rp20.000 per kg.
Mugiyanto menuturkan ia tertarik membuka kebun untuk agrowisata karena lebih menguntungkan. Keuntungan itu diperoleh karena pekebun dapat menekan biaya produksi terutama untuk distribusi. “Saya bisa mereduksi biaya produksi hingga Rp15.000 per kg karena memotong rantai penjualan dan mendekatkan konsumen langsung ke kebun,” katanya (baca boks: Lebih Hemat Laba Lebih Besar).
Ia menjual lengkeng hasil panen dengan harga Rp40.000 per kg. Dengan agrowisata Mugi juga bisa memperoleh pendapatan tanpa harus menjual barang, yaitu pendapatan dari penjualan tiket. Ia membanderol harga tiket masuk Rp15.000 per pengunjung.
Plantera
Menurut penangkar tanaman buah di Kota Semarang, Prakoso Heryono, sebetulnya konsep kebun agrowisata lengkeng dirintis sejak 2005 oleh Budi Dharmawan di Ngebruk, Kecamatan Patean, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Pemilik PT Cengkeh Zanzibar itu semula membuka kebun lengkeng hanya untuk produksi buah. Pada 2012 Budi membuka kebun agrowisata modern bernama Plantera Fruit Paradise.
Dari total luas lahan 234 hektare, 60 hektare di antaranya merupakan kebun lengkeng. Di lahan seluas itu tumbuh 11.800 pohon lengkeng yang terdiri atas 4 varietas, yakni 2.000 pohon jenis biew kiew, 7.000 pohon itoh, 2.000 pohon kinglong, dan 800 pohon petlong. Adapun sisanya digunakan untuk menanam komoditas lain, seperti srikaya new varietas, durian, dan pamelo, serta berbagai fasilitas agrowisata seperti function hall, gazebo, jalan beton, dan restoran.
Hingga kini memang belum ada kebun agrowisata lengkeng yang menyaingi Plantera. Namun, jumlah kebun lengkeng dengan konsep agrowisata kini terus bertambah, meski fasilitasnya tak selengkap Plantera. Contohnya kebun lengkeng milik Eni Sulistyana di Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Kebun seluas 1,5 hektare itu mulai dibuka untuk umum pada September 2018.
Di kebun itu tumbuh 260 pohon lengkeng. Sebagian besar adalah jenis kateki. Dari masing-masing pohon Eni memanen rata-rata hingga 50 kg buah. Ia menjual hasil panen dengan harga Rp35.000 per kg. Pemerintah Kota Semarang kini juga tengah getol membangun agrowisata. Salah satunya kawasan agrowisata Agro Wates di Kelurahan Wates, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang.
Di sana pemerintah Kota Semarang mengebunkan 324 pohon lengkeng kateki, jambu kristal, durian, dan sirsak, di lahan 5,5 hektare. Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Pertanian Kota Semarang mengelola kebun itu. Saat diresmikan pada Desember 2018, setidaknya ada 200 pohon lengkeng yang sudah berbuah. Dari setiap pohon mampu menghasilkan hingga 50 kg lengkeng.
Kendala
Namun, bukan berarti membuka kebun untuk agrowisata mulus tanpa kendala. Untuk mendongkrak penjualan pekebun harus memikirkan strategi agar konsumen mau datang langsung ke kebun untuk membeli hasil panen. Menurut Prasetyo, peran internet sangat membantu promosi, seperti melalui situs dan media sosial. “Dalam dua tahun terakhir dampaknya sangat luar biasa,” ujarnya.
Untuk mempromosikan kebun cukup unggah foto pohon yang sedang berbuah lebat di media sosial. “Setelah itu konsumen banyak yang menghubungi dan menanyakan ketersediaan buah. Begitu dijawab ada, mereka berdatangan ke kebun,” kata pria yang berpengalaman merawat kebun buah sejak 1979 itu. Jawaban serupa juga disampaikan Sutanta.
Namun, ramainya pengunjung yang datang terkadang merepotkan pengelola kebun. Apalagi kalau kebunnya luas. Akibatnya, banyak pengunjung yang nakal karena tidak diawasi. Mereka memetik buah sembarangan dan mengonsumsinya di tempat.
Oleh sebab itu, saat ini Prasetyo terpaksa melarang pengunjung memetik buah sendiri. Hambatan lain berupa serangan hama dan penyakit (baca: Hambatan Berkebun Lengkeng halaman 24—25).
Pengaturan masa berbuah juga tak kalah penting. “Masa berbuah sebaiknya diatur agar bisa panen terus-menerus,” ujar Prasetyo. Ia pernah keliru mengatur masa berbuah. Ia merangsang berbuah hingga 1.100 pohon lengkeng secara serempak. Akibatnya, panen juga serempak sehingga kewalahan menjual hasil panen. Ia harus berpacu dengan waktu karena daya simpan buah yang singkat.
Di kebun Cipatat lengkeng jenis itoh hanya mampu bertahan maksimal 3—4 hari dan kateki 7 hari. Kini Prasetyo mengubah strategi. Ia hanya membuahkan 300—400 pohon dalam sekali membuahkan. Perangsangan buah dilakukan selama masih ada hujan. Perangsangan buah dianggap berhasil jika tanaman muncul bunga 30—40 hari pascapemberian booster atau ramuan perangsang buah. Buah siap panen 6—7 bulan pascaberbunga. Jika seluruh kendala itu teratasi, laba yang dinanti bukan sekadar mimpi. (Imam Wiguna/Peliput: Sinta Herian Pawestri)