Trubus.id — Tren kakao organik populer di pasar global, dengan perkiraan pertumbuhan pasar 9,5 persen pada 2021–2026. Sementara itu, pertumbuhan pasar kakao nonorganik relatif stabil yakni 2 persen.
Dr. Tomy Perdana, S.P., M.M., dosen Agribisnis Universitas Padjadjaran, mengatakan, kakao organik mendapatkan respons baik dari pasar lantaran kesadaran masyarakat mengenai kesehatan makin tinggi. Apalagi, sejak pandemi Covid-19 yang kian melambungkan kakao organik.
Harus diakui sebutan organik identik dengan pangan sehat. Pengolah kakao pun untung sebab nilai jual produk lebih tinggi.
Namun, menurutnya, berkebun kakao organik bukan perkara gampang. Pekebun harus mematuhi syarat kebun organik mulai dari lokasi, tanah, air, bibit, pupuk, hingga pestisida.
Begitu pula pada proses pascapanen hingga biji kakao kering diterima konsumen. Bisa dibilang organik merupakan proses yang menjamin keberlangsungan dalam jangka panjang dan tidak memanfaatkan bahan kimia.
Di Indonesia, pekebun kecil menjadi pemasok utama buah kakao segar. Adapun industri ataupun pelaku bisnis menguasai pengolahan. Meskipun ada juga pengusaha kecil atau rumahan yang terjun ke segmen pengolahan kakao.
“Mengenai pekebun yang menjual biji kakao nonfermentasi merupakan tantangan dalam rantai pasar kakao,” jelasnya.
Tomy menyebut, pekebun tentu akan merespons cepat permintaan pasar, terutama pemain asing, yang membutuhkan bahan mentah. Mereka lantas memberikan nilai tambah pada produk yang dihasilkan.
Fenomena itu menjadi latar belakang pemerintah untuk mencanangkan program peningkatan nilai tambah kakao, salah satunya lewat fermentasi. Belakangan pengolah kakao lokal menjadi produk siap pakai bermunculan.
“Tantangan saat ini adalah mengisi pasar domestik dengan produk lokal,” papar Tomy.