Buah hijau dan merah seukuran spidol white board bergelayutan dari cabang tanaman. Dari situlah sebagian lahan seluas 4,5 ha telah dipanen 4 kali selama seminggu. “Sekali panen 7 kuintal—1,2 ton. Panen ke-7 dan ke-8 nanti bisa berlipat,” kata Arief Darmono, sang pemilik lahan. Kontras dengan pekebun lain di Jawa, Sumatera, dan Bali yang porak-poranda akibat serangan virus.
Sukses Arif mengebunkan cabai berawal 5 bulan silam. Ketika itu pekebun lain kapok menanam cabai karena virus gemini yang menyerang sejak 3 tahun silam. Pun beragam penyakit seperti antraknosa, phytophthora, layu bakteri dan layu fusarium yang selalu menghantui. Ia berpikir suatu saat harga akan naik karena jumlah pekebun berkurang dan banyak yang gagal panen.
Namun, ia tak mau ceroboh dan asal tanam. “Harus tanam varietas unggul. Bila pakai benih sembarangan bisa gagal seperti petani lain. Itu namanya menggali kubur sendiri,” kata alumnus Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada itu.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sahabat lamanya, Mr Yeun Tae Kim, ahli cabai dari Korea, mengontaknya. Dia bercerita telah hadir Inko Hot, varietas baru cabai unggul hasil penelitiannya. “Secara genetis, rasa Inko Hot tidak disukai hama. Ia juga tahan penyakit,” kata Mr Kim seperti ditirukan Arief. Ia juga berproduksi tinggi, 1—1,5 kg per tanaman. Rata-rata pekebun lain 0,75—0,8 kg. Yang juga istimewa, Inko Hot berkulit buah tebal 2—3 mm dan buah keras sehingga tahan simpan dan tahan angkut. Varietas lain hanya 1—2 mm.
Lantaran percaya pada sahabat baik yang telah dikenal 11 tahun itu, tanpa ragu Arief menggelontorkan Rp10,26-juta untuk memesan 180 pack benih Inko Hot. Artinya 1 pack Rp57-ribu. Itu jauh lebih murah dibanding benih varietas lain yang bisa mencapai Rp75 ribu per pack. “Mahal belum tentu bagus. Jadi saya penasaran, apalagi varietas sebelumnya yang ditawarkan Mr Kim sukses luar biasa,” kata Ayah Revin dan Arga itu. Sebagai perbandingan, Arief juga menanam 15.000 tanaman cabai varietas lain di lahan 1 ha dan 8 varietas lain sebanyak 200—500 tanaman.
Intensif
Maret 2005, ketika itu awal musim kemarau. Arief tahu pasti white fl y alias kutu kebul bakal banyak mengunjungi kebun cabainya di musim itu. Sebetulnya serangga itu tidak terlalu berbahaya, tapi ia juga berperan sebagai vektor virus gemini yang bisa membuat gagal panen. “Budidaya harus intensif. Saya harus cegah kehadiran kutu kebul agar serangan virus tidak terjadi,” kata Arief.
Jurus pertama yang dikeluarkan adalah membuat stamina tanaman cabai prima. Itu didapat dari pasokan hara yang cukup. Ia memilih mengkombinasikan pupuk organik dan kimia. Makanya Arief menambahkan 900 karung kotoran ayam—setara 22,5 ton— dan 1 ton NPK untuk 1 ha lahan sebagai pupuk dasar. Pekebun lain paling 10 ton per ha.
Sejak awal penanaman, Arief mulai mencegah kehadiran serangga vektor. Ia menggunakan pestisida nabati Pentana untuk mengendalikan thrip dan kutu kebul. Ia mempunyai kemampuan untuk membunuh dan menolak kehadiran hama.
Pestisida kimia berupa Confi dor, Rampage, dan Winder juga digunakan. Dosisnya sesuai dengan yang tertera pada kemasan. Pestisida itu disemprotkan seminggu sekali atau sesuai kebutuhan. “Bila ada kasus penyerangan, bisa 5 hari sekali,” kata pehobi sepakbola itu. Selain itu ia juga menolak kehadiran patogen tanah penyebab layu dengan memanfaatkan formulasi spora trichoderma dan gliocladium.
Pada minggu pertama itu pula Arief menambahkan pupuk susulan berupa kocoran. “Biasanya pupuk dasar belum dapat diserap tanaman pada awal penanaman,” katanya. Ia mengandalkan NPK sebanyak 2 kg, pupuk organik padat Super Nasa atau Plasma 0,25 kg, dan perata perekat 40 ml. Bahan-bahan itu dilarutkan dalam 200 liter air dan dikocorkan pada setiap tanaman. Ramuan sebanyak itu cukup untuk 1.000 tanaman cabai. Arif mengulangi perlakuan itu sebanyak 3—5 kali. Setelah itu tanaman dapat memanfaatkan pupuk dasar.
Panen bagus
Benih unggul dan perlakuan intensif itulah kunci Arief mengebunkan cabai. Ketika musim tak menentu pada Juni 2005, kebun cabainya tetap bagus. “Harusnya saat ini musim kemarau, tapi berubah jadi hujan setiap hari. Untung saja, benih yang ditanam tahan banting,” kata Arief.
Melihat hal itu, Arief memperkirakan sampai akhir panen musim ini, ia akan menuai 250—300 ton dari lahan seluas 15 ha. Atau setara dengan 1—1,5 kg per tanaman. Dengan harga minimal Rp5.000 per kg, Arief bakal meraup pendapatan kotor Rp1,25 miliar. Itu kebalikannya dengan varietas lain yang ditanam sebagai pembanding. “Gagal total, 70% mati. Yang tersisa hasilnya jelek,” kata Arif.
Yang juga menarik, tingkat ketahanan Inko Hot terhadap penyakit sangat tinggi. Pengamatan Arief, sampai 110 hari setelah tanam atau 20 hari setelah panen pertama, tingkat kematian karena penyakit di bawah 0,1%. Artinya, dari 20.000 tanaman per ha hanya 20 yang mati akibat penyakit. “Itu luar biasa, belum pernah saya melihat ketahanan cabai seperti itu,” katanya.
Agung
Yang juga sukses menanam cabai di musim yang tak menentu adalah Satimin. Bedanya, pekebun di Desa Ketawang, Kecamatan Gondanglegi, Malang, Jawa Timur itu hanya melakukan uji coba. Sebagai pekebun sukses, ia kerap bekerjasama dengan produsen benih di Indonesia dan mancanegara untuk mencoba varietas baru. Pada musim ini ia menaman 7 varietas dari 3 produsen dalam negeri dan 1 produsen mancanegara di lahan seluas 1 ha.
Rata-rata setiap produsen membiayai Satimin Rp2.000 per tanaman. Minimal ia dibiayai Rp30-juta oleh semua produsen itu. Maret 2005, di kala musim kemarau ia menanam semua benih cabai berbarengan. “Semua diperlakukan sama, saya pasti netral karena semua membiayai,” kata ayah 2 anak itu. Tiga bulan kemudian, hanya varietas Agung yang 99% tanaman cabainya bisa dipanen. Kualitasnya pun luar biasa, cabai yang dihasilkan bebas bercak kuning.
Dua varietas lain sanggup bertahan dipanen di atas 70%, tapi kualitasnya rendah. “Warnanya menguning, tengkulak yang datang tak mau membeli,” kata Satimin. Vareitas lain porak-poranda, hidup segan mati tak mau. Trubus melihat dalam satu guludan berukuran 17 m x 1, 2 m, tanaman yang sanggup memunculkan buah bisa dihitung dengan jari.
Kemampuan Agung bertahan hidup di musim yang tak menentu itu membuat pekebun lain keheranan. Juni lalu, 150 pekebun cabai dari Malang dan Lumajang menyambut kehadiran Agung yang ditanam Satimin. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri, pemilihan varietas menjadi kunci utama dalam mengebunkan cabai selain perawatan yang intensif. “Pantas kebun cabai saya gagal terus, varietasnya tak tahan gempuran penyakit,” kata Nawas, pekebun di Malang, yang rugi Rp4-juta di musim ini. (Destika Cahyana/ Peliput: Oki Sakti Pandana dan Hawari Hamiduddin)