
hanya unggul
sebagai kambing
perah tetapi juga
sebagai pedaging
Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Agus Santoso SH LLM beternak 100 kambing perah. Ia hafal riwayat setiap kambing perahnya.
Dalam tugas sehari-hari, Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Agus Santoso SH LLM, memang harus jeli melihat dan menganalisis rekening mencurigakan. Pekerjaan itu berpotensi memicu stres. Untuk mengatasinya pejabat negara itu memelihara kambing. Keruan saja bukan hanya seekor, tetapi puluhan kambing perah beragam ras di lahan 7.000 m2 di Desa Pandansari, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Kepada setiap orang yang berkunjung ke peternakan miliknya, Agus Santoso mampu menerangkan secara detail seluk-beluk kambing perah miliknya. Tinggal tunjuk kambing yang dimaksud, keterangan pun mengalir lancar dari mulutnya. “Kambing ini saya peroleh dari seorang peternak di Bogor,” ujarnya kepada Trubus yang membelai seekor pejantan saanen. Atau, “Ini keturunan kedua dari Brando,” tuturnya menunjuk seekor pejantan anglo nubian. Brando adalah nama pejantan anglo nubian. Agus hafal karena turun sendiri mengurus kambing-kambingnya.
Pakan fermentasi
Agus Santoso kini mempunyai 100 kambing. Dari jumlah itu terdapat 7 jantan anglo nubian, 1 jantan saanen, dan 12 betina saanen. Sisanya 80 anakan persilangan peranakan ettawa (PE) dan anglo nubian. Betina produktif itu menghasilkan 10—15 liter susu setiap hari. Peternak itu menjual Rp40.000 per liter susu. Soal pemasaran, Agus punya cara unik. “Tiga bulan sebelum punya kambing perah, saya sudah promosi terlebih dahulu,” ujar alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran itu. Lewat cara itu Agus membangun jaringan pasar.
Agus memperhatikan kecukupan nutrisi dalam pakan. Pemberian pakan 3 kali sehari dengan jumlah 10% dari bobot tubuh, setara 1,5—2 kg per ekor. Pakan terdiri dari campuran konsentrat berkadar protein minimal 18%. Ia juga memberikan pakan hijauan dan ampas tahu. Soal ampas, Agus tidak perlu pusing. Ia memanfaatkan sisa ampas tahu sebuah pabrik tahu setempat. “Saya juga menanam rumput gajah untuk pakan,” kata master hukum dari Rijks Universiteit, Leiden, Belanda, itu.
Selain itu Agus membuat pula pakan fermentasi, campuran 100 kg rumput atau hijauan, 1 kg garam, 1 kg molase, serta 1 kg bekatul. Mantan Deputi Direktur Hukum Bank Indonesia pada 2008—2011 itu menambahkan 1 kg probiotik dan 1 kg air. Setelah semua bahan tercampur rata, ia menutup rapat wadah pakan fermentasi. Setiap pekan, wadah dibuka dan diaduk. Setelah 3 pekan, pakan fermentasi siap digunakan. “Pakan siap pakai ditandai oleh bau menyengat menyerupai bau tapai,” ujar Ketua Umum Ikatan Pegawai Bank Indonesia itu.
Untuk menjaga sanitasi, kandang dibersihkan setiap pukul 09.00—10.00. Menganut konsep zero waste agriculture alias pertanian nirlimbah, Agus memanfaatkan sisa pakan kambing sebagai pakan ikan di kolam berukuran 3 m x 5 m. Sementara itu kotoran kambing dialirkan ke sawah di belakang peternakan. “Kotoran kambing menjadi pupuk organik yang berguna untuk memperbaiki struktur fisika dan kimia tanah,” ungkap ayah satu putri yang kini merintis pusat pembibitan kambing perah unggul. Menurut Agus saat ini susah menemukan bibit kambing perah unggul. Padahal bibit unggul merupakan syarat penting dalam beternak kambing perah.

Kambing kurban
Agus Santoso mulai menggeluti budidaya kambing pada 2005. Semua bermula dari usahanya menernakkan 12 kambing potong untuk kurban. “Untuk mengurus kambing itu saya melibatkan warga sekitar sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat,” ujar pria kelahiran Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, 9 Agustus 1960 itu. Lambat-laun jumlah itu meningkat menjadi 30 ekor pada 2009. Pada tahun itu pula Agus mulai melirik kambing perah setelah menonton liputan sebuah stasiun televisi tentang prospek bisnis kambing perah.
Peternak berusia 53 tahun itu pun memutuskan beralih memelihara kambing perah. Menurut Agus dengan beternak kambing perah, maka likuiditas lebih cepat karena dapat menjual susu setiap hari. Keuntungan lain, saat keluar susu, kambing perah mempunyai anakan yang bisa dijual. Padahal, dalam 2 tahun, kambing bisa beranak 3 kali.
“Terakhir, kambing apkir betina atau jantan yang berumur 5—6 tahun bisa dimanfaatkan sebagai pedaging,” kata pria yang sejak di bangku sekolah dasar memelihara kambing yang diberi nama Bohim. Dengan potensi besar itu, maka Agus rajin berburu informasi mengenai kambing perah. Pilihan pertama jatuh pada kambing perah jenis peranakan ettawa (PE). Ia memulai dengan seekor pejantan dan 9 betina.
Lebih gurih
Amtenar alias pegawai pemerintah itu juga membeli jenis anglo nubian. Anglo nubian menurut Mason’s World Dictionary of Livestock Breeds, Types and Varieties merupakan hasil persilangan antara kambing perah asli Inggris dengan kambing oriental yakni zairabi, chitral, dan jamnapari pada akhir abad ke-19. Kambing yang mampu beradaptasi di iklim tropis itu tergolong tipe dwiguna, yakni sebagai penghasil susu dan pedaging.
Agus mengatakan bahwa rata-rata produksi susu anglo nubian mencapai 1,8—2 liter per hari. Masih kalah dibanding saanen yang menghasilkan 2—2,5 liter per hari. Keunggulan susu anglo nubian terletak pada kadar lemak susu yang tinggi, rata-rata mencapai 4,5—6,5%. Bandingkan dengan rata-rata susu kambing yang berkisar 2,5—3,5%.
Tidak heran anglo nubian memperoleh julukan jersey cows in the goat world lantaran memproduksi susu berkadar lemak tinggi. Saanen memproleh julukan holstein cows in the goat world lantaran produksi susunya melimpah, tapi rendah lemak, 4,5%. Susu kambing perah itulah sumber pendapatan Agus Santoso yang legal di mata Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. (Faiz Yajri, kontributor lepas Trubus di Jakarta)