Nata de coco bisa diolah menjadi berbagai produk nonmakanan. Salah duanya tali tambang dan plastik nata.
Seutas tali menarik perhatian delegasi Australia yang mengunjungi sebuah pameran di Serpong, Tangerang Selatan, pada Desember 2017. Sepintas tidak ada yang istimewa dari tali berbentuk pilinan serat itu. Para delegasi Negeri Kanguru itu tercengang setelah tahu tali itu terbuat dari nata de coco. Mereka langsung meminta pasokan dari produsen nata de coco di Ciputat, Tangerang Selatan, Sularto. Pengunjung dari Belanda juga tertarik melihat lembaran setipis plastik berbahan nata de coco. Mereka meminta Sularto segera mengirim sampel lembaran transparan seperti plastik berukuran 150 cm x 120 cm untuk pelapis pakaian.
Permintaan lain datang dari pengembang perumahan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Mereka meminta serbuk nata de coco untuk elemen penyaring air bersih. Namun, Sularto tidak langsung menyanggupi permintaan-permintaan itu. “Kapasitas kami belum mencukupi,” ujarnya. Setiap bulan, ia memproduksi sekitar 60 ton. Ditambah 7 plasma berkapasitas total 25 ton, dalam sebulan ia menghasilkan 85 ton nata de coco. Jumlah itu saja belum mencukupi permintaan industri minuman, yang melebihi 140 ton per bulan.
Pasar mancanegara
Permintaan produsen tanahair pun berfluktuasi sesuai musim. Pasar nata de coco untuk minuman biasanya lesu saat musim hujan—mulai November hingga Februari tahun berikutnya. Itu sebabnya Sularto tertarik menjajaki peluang pasar nonpangan karena permintaannya tidak terpengaruh iklim atau musim. Sudah begitu, permintaan olahan nonpangan nata de coco itu untuk pasar mancanegara menggiurkan.
Namun, untuk memenuhi tantangan pasar mancanegara Sularto mesti menjaga konsistensi dan kontinuitas produk. Sekali meleset, mereka akan berpaling dan tidak pernah mau berhubungan lagi,” ungkap ayah 1 anak itu. Itu sebabnya ia tidak langsung menyanggupi permintaan dan memilih memperkuat lini produksi terlebih dulu.
Modifikasi nata de coco menjadi tali, lembaran tipis, maupun serbuk penyaring air itu hasil utak-atik Sularto sejak masih kuliah pada 2005. Minat mendalami pembuatan nata dan berbagai produk turunan membawanya kuliah di Jurusan Pendidikan Biologi Universitas Negeri Jakarta. Apalagi setelah tahu bahwa pasar krim kelapa itu masih terbuka luas. Kandungan serat nabati membuat nata bisa dijadikan berbagai produk yang tidak pernah ia bayangkan. “Proses awalnya adalah mengubah nata menjadi lembaran tipis. Yang membedakan adalah proses lanjutannya,” katanya.
Dalam ruang
Biasanya, untuk memenuhi pasar industri minuman Sularto mencetak potongan nata dengan mengumpankan lembaran nata dari nampan pencetak ke ram pemotong sesuai ukuran yang diinginkan pembeli. Untuk membuat nata setipis plastik, Sularto mengumpankan lembaran nata dari nampan pencetak ke dalam mesin pengiris atau slicer. Ketebalan nata yang keluar dari mesin pengiris adalah 3 mm, jauh lebih tebal daripada plastik. Itu karena kadar airnya masih sangat tinggi. Selanjutnya irisan tipis itu ditekan dalam mesin pres atau sekadar ditindih pemberat untuk mengurangi kandungan air (lihat ilustrasi Nata Bersalin Rupa).
Pemerasan dilakukan sampai tidak ada air menetes saat lembaran diangkat. Selanjutnya lembaran itu dijemur atau dipanaskan dalam oven bersuhu 60°C selama 15—30 menit sampai kadar airnya maksimal 5%. Hasilnya lembaran persis menyerupai plastik. Jika akan membuat plastik, prosesnya berakhir di sana. Untuk membuat tali, plastik itu dimasukkan ke dalam mesin pemintal. “Diameter, jumlah pintalan, atau panjangnya bisa diatur sesuai keinginan,” kata Sularto. Lembaran itu juga bisa dimodifikasi menjadi kertas dengan penambahan bahan tertentu yang ia rahasiakan.
“Sifat kertas agak kaku dan warnanya harus putih sehingga memerlukan bahan khusus,” papar Sularto. Selembar nata de coco segar pascafermentasi berbobot 2—3 kg berukuran 40 cm x 20 cm setebal 2—2,5 cm bisa menjadi 6—7 lembar plastik. Jika dijadikan tali 2 pilinan, lembaran nata segar itu bisa menjadi tambang sepanjang 1,7—1,8 m. Panjangnya tergantung jumlah puntiran mesin pemilin. Semakin banyak puntiran, semakin liat dan kuat tambang yang dihasilkan. Konsekuensinya, panjangnya berkurang.
Kekuatan tambang nata de coco itu berani dibandingkan dengan tambang plastik. Kelemahannya, jika terkena air akan kembali lembek sehingga hanya cocok untuk penggunaan dalam ruang. Kekurangan itu bisa diakali dengan pelapisan secara laminasi atau coating dengan bahan tahan air. Fungsi lain adalah untuk tali dekorasi atau ornamen.
Maklum, harganya juga tidak murah. Harga 1 kg nata de coco segar Rp3.000 sehingga seutas tambang terbuat dari 3 kg nata segar nilainya minimal Rp10.000. Kelebihannya, berasal dari serat alami. Saat ini ia juga tengah menggarap potensi membuat nata sebagai pengisi unit penyaring air. “Nata mampu menyerap partikel berbahaya seperti logam berat,” ungkapnya. Namun, ia belum bersedia mengungkap cara pembuatannya. Menurut Prof. Dr.Ir. Nur Richana, M.Si., periset di Balai Penelitian Pascapanen Pertanian, peluang turunan nata de coco belum tersentuh.
“Masyarakat baru memandang nata sebagai bahan pangan. Riset pun lebih banyak kepada penganekaragaman bahan nata seperti ampas tahu, tomat, atau wortel,” kata Richana. Padahal di mancanegara, nata mulai dikembangkan sebagai layar komputer. Apalagi, “Potensi kelapa di Indonesia luar biasa,” kata penggagas agribisnis kelapa sistem klaster, Wisnu Gardjito. Artinya, Indonesia memiliki peluang menjadi produsen terbesar produk turunan nata de coco. (Argohartono Arie Raharjo)