Merintis budidaya sayuran berteknologi hidroponik kemudian membangun koperasi untuk memasok pasar swalayan. Semua berawal dari pelatihan.

Trubus — Halaman rumah Ajud Tajrudin seluas dua meja pingpong semula hanya untuk bermain anak-anak. Orang-orang dewasa tetangga Ajud akhirnya juga bertandang ke lokasi itu di Desa Ciwulan, Kecamatan Talagasari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Mereka tertarik menyaksikan sistem budidaya hidroponik. Ajud memanfaatkan halaman depan rumahnya sebagai lokasi budidaya selada dan caisim secara hidroponik.
Selama ini Karawang sohor sebagai sentra budidaya padi. Itulah sebabnya budidaya sayuran tanpa tanah merupakan hal baru bagi mereka sekaligus menarik perhatian warga. Ajud menanam selada keriting di 75 lubang tanam, sedangkan casisim di 75 lubang tanam. Pria yang kini berusia 44 tahun itu memanen perdana sayuran itu 30—40 hari setelah pindah tanam. Ayah tiga anak itu salah satu perintis budidaya sayuran hidroponik di Karawang.
Berkat pelatihan
Ajud membulatkan tekad berhidroponik setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Majalah Trubus pada 12 Februari 2014. Pelatihan itu terselenggara berkat kerja sama Majalah Trubus dan dan Perhimpunan Penyuluh Pertanian (Perhiptani) Kabupaten Karawang. Peserta pelatihan mencapai 200 orang, sebagian besar para penyuluh di Karawang. Selama mengikuti pelatihan para peserta sangat antusias menyimak paparan narasumber.

Pria kelahiran Karawang itu langsung jatuh hati pada metode tanam sayuran tanpa tanah. Oleh karena itu, usai mengikuti pelatihan selama sehari, ia segera membeli pupuk AB mix. Penyuluh pertanian itu mempraktikkan metode yang dipelajarinya selama pelatihan. “Hal terpenting pasti pada pupuk, maka segera saya beli untuk langsung praktik di rumah,” kata penyuluh pertanian sejak 2009 itu.

Setelah 3 kali panen sayuran hidroponik, pada Agustus 2014 Ajud membuat grup di sosial media facebook Asosiasi Hidroponik Karawang (AHIK) dan Saung Kasabtani. “AHIK mewadahi komunitas pencinta hidroponik dan Saung Kasabtani sebagai sarana penyuluhan pribadi,” katanya.
Menurut Ajud media sosial berperan besar dalam berkembangnya komunitas hidroponik. Pencinta hidroponik di sentra padi itu pun makin berkembang. Ajud dan rekan rutin melakukan pelatihan, pameran, dan kerja sama baik dengan yayasan, lembaga pemerintah, atau komunitas yang berminat belajar hidroponik. Pada 13 Juli 2015 petani hidroponik di Karawang membentuk Koperasi Tani Karawang (Kotak).
“Semula Kotak dibentuk untuk memenuhi permintaan sayuran ke salah satu pasar swalayan di Karawang. Namun, permintaan itu belum terpenuhi, terkendala pasokan rutin dengan jumlah besar,” kata Ajud. Gagal memasok pasar secara rutin justru menjadikan koperasi hidroponik di Karawang lebih maju. Semula Kotak hanya menjadi distributor pupuk, kini memproduksi pupuk mandiri untuk memenuhi kebutuhan pehidroponik di Karawang.

Saat ini anggota aktif Kotak mencapai 30 petani hidroponik yang tersebar di berbagai kecamatan di Karawang seperti Purwasari, Karawang Timur, dan Majalaya. Koperasi memproduksi beragam sayuran seperti selada dan pakcoi produksi rata-rata 50—100 kilogram per jenis per pekan. Beragam sayuran itu untuk memasok pasar sawalayan di Karawang dan Bekasi. Menurut Ajud petani pemula pun mampu memenuhi standar mutu, yakni tanaman sehat, daun hijau, akar putih, tidak berulat, dan bobot tanaman 110—120 gram per batang.
Mandiri
Ajud mengatakan, “Kami meracik pupuk setelah belajar dari salah narasumber senior Majalah Trubus, Ir. Yos Sutiyoso.” Aktivitas koperasi antara lain memproduksi sayuran, pelatihan, jasa instalasi, serta jasa konsultasi hidroponik. “Urusan benih pun sudah mandiri, karena bekerja sama dengan produsen benih lokal di Karawang,” kata Ajud. Menurut Ajud mengembangkan hidroponik tidak bisa seorang diri dan perlu kolaborasi.
“Perlu ahli pupuk, ahli budidaya, ahli instalasi, serta promosi agar suatu komunitas hidroponik atau koperasi bisa terus eksis,” katanya. (Muhamad Fajar Ramadhan)