Setahun terakhir minimal 1.500 lembar daun terjual dalam sebulan—kecuali donna carmen, aglaonema dijual per lembar daun. Sebagian besar yang terjual adalah jenis adelia, chiang may, dan lipstick yang harganya mencapai ratusan ribu rupiah. Mari ditelisik. Selembar daun chiang may dihargai Rp50.000—Rp1-juta; adelia, Rp50.000—Rp125.000. Semua tergantung mutu.
Dengan harga jual paling murah saja, Rp10.000 untuk selembar daun, omzet Ansori Rp15-juta sebulan. Volume penjualan sebetulnya dapat ditingkatkan. Sayang, ketersediaan tanaman hias daun itu langka karena pertumbuhan relatif lambat. Ia memperbanyak sekitar 50 aglaonema beragam warna dan bentuk.
Insting bisnis Ansori memang tajam. Dua tahun lalu saat pertama kali melihat adelia di kediaman Tati Soerojo, ia langsung memborong beberapa pot. Masing-masing terdiri atas 12—15 daun. Tati, kolektor tanaman hias di Cilandak, Jakarta Selatan, membandrol Rp300.000 per helai daun. Nalurinya berkata, suatu ketika adelia banyak diminta konsumen. Setelah 2—3 bulan diperbanyak, Ansori mulai menjual ratu tanaman hias itu.
Benar seperti dugaannya, hasil silangan Gregori Garnadi Hambali itu kini banyak diminati hobiis dan perancang taman. Buktinya, saat pameran Flona 2004 saja, adelia laris manis. Laba pameran minimal Rp130-juta dibelanjakan untuk membeli sebidang tanah di Jakarta. Jenis lain seperti pride of sumatera, sirikit, dan petit tak kalah laris. Ayah 2 anak itu memasarkannya setelah minimal tumbuh 2 helai daun. Alasannya, jika hanya satu daun nilai tambahnya relatif kecil.
Kelahiran Cilimus, Kuningan, 46 tahun silam itu tak harus berkeliling untuk menjajakan tanaman hias berdaun cantik. Konsumen mengalir ke rumahnya di bilangan Pondoklabu, Jakarta Selatan. Malahan sebagian inden menanti pasokan lantaran minimnya persediaan jenis aglaonema tertentu.
Batal melaut
Dengan berniaga aglaonema dan tanaman hias lain, Ansori menata kehidupannya. Itulah buah dari keputusannya berhenti sebagai pegawai negeri di Kebun Raya Bogor. Profesi abdi negara yang digeluti 10 tahun akhirnya ditinggalkan pada 1983. Setelah menganggur sesaat, ia hampir saja mengarungi samudera sebagai pelayar. Sebelum berangkat ke Cirebon—tempat kapal berlabuh—ia berpamitan kepada Sukasdi, kerabatnya, yang mengelola nurseri Anggun Ayu di Sawangan, Kotamadya Depok.
Tak dinyana, mantan kepala Kebun Raya Cibodas, Cianjur, itu justru menawarkan pekerjaan di pusat penjualan tanaman hias. Mungkin sudah suratan, jalan hidup Ansori di tanaman hias. Tawaran pekerjaan itu akhirnya disambar. “Saya lebih senang bekerja di darat daripada di atas lautan,” ujarnya.
Lalu beberapa bulan berselang, ia mengikuti pameran Flona di Monas, Jakarta Pusat. Di sinilah naluri bisnisnya mulai terasah, perniagaan tanaman hias amat menjanjikan. “Mudah sekali menjual tanaman dan cepat laku,” katanya mengenang. Wajar bila saat itu nurseri Anggun Ayu yang diwakili meraup laba besar.
Yang lebih penting, dalam ekshibisi itu ia bertemu dengan banyak kolektor tanaman hias kawakan. Usai pameran, beberapa kolektor meminta Ansori untuk merawat tanamannya. “Datang dijemput, pulang diantarkan. Sehari dapat objekan, sebulan tidur masih bisa (makan). Hanya bekerja beberapa jam diberi Rp50.000,” ujar ayah 2 anak itu.
Berburu
Pada 1984 Ansori menangani tanaman hias milik 5 kolektor di Jakarta. Bisa dibayangkan betapa menggelembungnya koceknya. Jenis tanaman yang dirawat beragam seperti aglaonema, anggrek, bonsai, dan filodendron. Bersamaan dengan itu pehobi jalan kaki itu mulai mengumpulkan tanaman hias. Bukan hanya didasari pada keelokannya, tetapi juga peluang untuk diperdagangkan.
Sebagian koleksi juga diperoleh dari kolektor itu sendiri. Namun, acap kali ia berburu di pelosok Bogor hingga dini hari. Sumber lain, importir dan penangkar tanaman hias. Contoh, aglaonema parrot jangle dan abijan diperoleh via importir yang mendatangkan dari Singapura; aglaonema mudo, Bangkok.
Tanaman-tanaman itu ditata di halaman rumah kontrakannya. Tanpa disadari koleksinya kian banyak dan beragam karena ia juga memperbanyaknya. Ketika itulah ia mulai dikenal di kalangan praktisi tanaman hias. Dampaknya mudah ditebak, ia akhirnya mencemplungkan diri di bisnis tanaman hias dan keluar dari nurseri Anggun Ayu.
Menurut Ansori dalam perdagangan tanaman hias mirip lukisan, tak ada patokan harga jual. Jika produsen dan konsumen sepakat, meski harga relatif tinggi, maka terjadilah transaksi. Itulah sebabnya dulu ia leluasa mengutip laba hingga 60%. Saat ini tentu agak sulit lantaran persaingan kian ketat.
Tentu saja tak melulu kisah manis yang dialami pria bertubuh gempal itu. Belum lama ini, misalnya, batang chiang may melepuh diserang cendawan dan gagal diselamatkan. Daun-daun nan elok itu pun akhirnya lapuk. Ia juga pernah rugi puluhan juta rupiah saat berdagang palem. “Kecilnya bagus, gedenya jelek,” katanya. Toh, aral semacam itu tak pernah menyurutkan langkah untuk berniaga tanaman hias, khususnya aglaonema. Sebab, berkat chinese evergreen itu beragam harapan semacam mempunyai hunian terpenuhi.
Kendaraan? Dengan mudah ia mampu membelinya. Namun, sikapnya yang bersahaja memilih untuk tidak memilikinya saat ini. Ia lebih senang menyewa mobil bila bepergian ke suatu tempat. Bagi pedagang aglaonema seperti Ansori, yang penting adalah gemerincing rupiah. Sebab, pada sri rejeki—nama lokal aglaonema—ia berharap rezeki datang tak berkesudahan. (Sardi Duryatmo)