Omzet Rp40 juta per bulan dari bisnis sukulen untuk pernikahan.
Telepon genggam Hadi Nurgraha terus berdering meski hari libur. Ia girang bukan main karena para penelepon itu memesan suvenir tanaman hias karyanya. Salah satu pemesan, artis Tyas Mirasih. Ia memesan 500 pot sukulen dan kaktus mini sebagai suvenir pernikahannya dengan dan Raiden Soedjono pada 8 Juli 2017 di Cilandak, Jakarta Selatan. Beberapa jenis di antaranya agave, mammillaria, haworthia, echeveria, aloe, dan ariocarpus.
Fuerte Garden—nama usaha milik Hadi—juga memanfaatkan sukulen dan kaktus mini sebagai tanaman gantung atau hanging plant. Di tempat resepsi, beberapa tamu undangan menyempatkan diri untuk memperhatikan suvenir tanaman hias dalam pot mini yang baru saja diterimanya. Bahkan ada yang menanyakan tempat membelinya pada Hadi karena tertarik memesan.
Kian tren
Artis Rifky Balweel dan Biby Alraen juga memesan lebih dari 500 pot sukulen dan kaktus mini pada Hadi. Pasangan itu memanfaatkan sukulen sebagai buah tangan untuk tamu pada resepsi pernikahan 7 Januari 2018 di Jakarta Selatan. Selain mereka, banyak juga pasangan lain yang memesan suvenir itu pada Hadi. Hingga awal Januari 2018 Fuerte Garden menerima pesanan 10.000 pot suvenir tanaman hias. Seiring dengan berjalannya waktu, kini suvenir tanaman hias untuk pernikahan makin lazim.
Keruan saja itu menjadi ladang bisnis yang menjanjikan. Hadi membanderol suvenir itu Rp5.500—Rp15.000 per pot tergantung jenis tanaman dan desain pengemasan. Harga yang paling laku berkisar Rp5.500—Rp10.000. Setiap bulan minimal 2 konsumen memesan buah tangan unik itu dengan jumlah rata-rata 100—2.000 pot. Dalam sebulan ia bisa mengirim paket suvenir rata-rata berharga Rp8.000.
Permintaan minimal 4.000 pot setiap bulan, sehingga omzet Hadi minimal Rp40 juta per bulan. Permintaan suvenir untuk pernikahan cenderung turun pada Ramadan. Sebab, pada bulan suci amat jarang acara pernikahan. Hadi menerepkan sejumlah kiat di antaranya, “Pemberian label nama pasangan pengantin dan nama Fuerte Garden pada kaktus penting. Itu sekalian untuk promosi,” ujar sulung dari dua bersaudara itu.
Kiat lain, memilih desain, wadah tanaman, dan bahan kemasan. Pria 23 tahun itu menggunakan wadah tas kecil berbahan kertas, kaca, dan anyaman bambu yang ramah lingkungan. Pilihan itu unik sehingga konsumen pun menyukainya. Itu buah kerja keras mahasiswa Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran itu mempromosikan karyanya di media sosial seperti instagram, facebook, dan website.
Menurut Hadi dengan menyasar kalangan artis-artis ibukota sangat membantu sistem pemasaran produknya. Ia pun kerap mengikuti pameran di Bandung dan Jakarta. Pada Juli 2018, Hadi dan rekan akan mengikuti pameran Bride Story Fair di Jakarta. Saat ini konsumen Hadi berasal dari berbagai kota di Jawa Barat, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Papua. “Bahkan ada pesanan dari Singapura 3 bulan lalu mencapai 2.000 pot,” ujar pria kelahiran Bandung, 8 Juni 1995 itu.
Bermitra
Kini perusahaan yang berlokasi di Maribaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, itu menjadi produsen sukulen dan kaktus. Hadi meraup omzet rata-rata Rp40 juta dari hasil penjualan 4.000—5.000 tanaman per bulan. Bahkan awal Januari 2018 ia mendapat 10.000 pesanan dan meraih omzet Rp80 juta. Hadi bekerja sama dengan Lina Warlina untuk mendapatkan pasokan sukulen dan kaktus mini.
“Selama kerja sama itu saya juga diperbolehkan menggunakan kebunnya untuk menitipkan tanaman yang belum terjual,” tutur pendiri Fuerte Garden itu. Ia menampung stok suvenir itu di greenhouse milik Lina karena belum punya kebun sendiri.
“Saya memanfaatkan kaktus berukuran kecil, tinggi 5—12 cm. Media juga tidak sembarangan,” ujar pria berusia 23 tahun itu. Sekam, pasir, dan pupuk dengan perbandingan 2 : 1 : 1 sebagai media untuk pertumbuhan kaktus dan sukulen. Hadi dan 3 rekannya mengemas tanaman-tanaman itu dengan pot elok. Mereka menambahkan batu-batu kecil beraneka warna untuk menambah daya tarik suvenir.
Hadi Nurgraha mulai berbisnis saat masih kuliah semester keenam di Universitas Padjadjaran. Sebenarnya keluarga besarnya tidak ada yang berbisnis. Ketertarikannya beragribisnis bermula karena hobi tanaman hias. “Saya termasuk orang yang pemalas tapi saya suka bercocok tanam. Maka saya memilih tanaman sukulen dan kaktus untuk berbisnis karena perawatan yang cukup mudah dan murah,” ujarmya.
Pada 2014 saat kali pertama terjun beragribisnis, ia menjual suvenir itu di Dago, Kota Bandung, ketika hari bebeas kendaraan. Ia hanya berjualan setiap Ahad dari pukul 6.00—12.00. Pada hari itu biasanya warga Bandung ramai berolah raga. Sayang, respons konsumen kurang baik. Tidak ada satu pun tanaman itu laku. Hal itu karena pengemasan kurang menarik dan jenis kaktus kurang menarik.
“Kami kemudian mencari inovasi supaya dagangan terjual,” ujar mahasiswa Hortikultura, Fakultas Pertanian di Universitas Padjadjaran, itu. Hadi terus belajar melakukan budidaya dan cara pengemasan, serta cara penjualan agar pengunjung tertarik membeli tanaman hias itu. Setelah 3 bulan ia berhasil menjual 100 pot per hari dan berhasil membawa pulang Rp500.000.
Tak hanya itu, pada pertengahan 2014 Hadi mendapat pesanan 100 pot ke salah satu hotel di Bogor, Jawa Barat. Namun, saat pengiriman ke lokasi menggunakan kargo suvenir itu rusak dan hancur. Ia rugi Rp500.000. Walau menghadapi banyak kendala, tak menyurutkan Hadi untuk menekuni usahanya itu. Satu hal yang ia percayai dalam hidup adalah terus maju dan harus memiliki keinginan terus maju.
Hadi merasakan tren penjualan suvenir tanaman hias untuk pernikahan makin meningkat. Itu menjadi bisnis yang berpotensi ekonomis tinggi pada masa depan. “Kesadaran masyarakat untuk bergaya hidup go green dan ramah lingkungan menyumbang pengaruh baik pada bisnis tanaman hias,” ujarnya. Penghias ruangan atau meja yang dahulu berupa benda-benda seni, tanaman hidup. (Tiffani Dias Anggraeni)