Trubus — Bumbu instan? Ya, sudah lebih dari 500 resep masakan tersedia dari satu merek saja. Ada bumbu rawon, gulai, soto betawi, soto lamongan, tom yam, nasi goreng, teriyaki, aneka macam kare sebutlah semua masakan di dunia. Industri bumbu masak mengalami revolusi. Itulah yang mendorong saya ikut wisata ke pabrik bumbu. Pemandunya warga Malaysia yang sudah tiga dasawarsa tinggal di Indonesia. Namanya Hoo Eek Kee, yang mengelola pabrik bumbu peninggalan istrinya.
Ternyata bukan hanya bumbu yang disediakan tapi juga sayur-mayur. Termasuk daun kelor kering dan wortel segar dari Berastagi, Provinsi Sumatera Utara. Pabriknya di Banten, tapi yang diolah dari Sabang sampai Merauke. Hobinya berkeliling berbagai daerah. Dari pulau ke pulau, dari desa ke desa. Sering juga membuat film aneka budaya. Kesimpulannya sederhana, masyarakat Indonesia, semestinya sangat sehat hidupnya.
Beragam rempah
Hoo Eek Kee menuturkan, “Negeri ini tidak boleh menderita kurang gizi. Apalagi gagal tumbuh atau stunting. Tengok seputar kita, hampir semua tumbuhan bisa dijadikan masakan. Bisa disayur, bisa dijadikan bumbu. Bermacam rempah-rempah juga tersedia.” Maka dia bikin program “revolusi dapur”. Intinya membuat semua warga suka makan masakan sehat. Syukur-syukur dimasak sendiri.
Benar saja, sebagai contoh siang itu ia memetik daun malabar yang banyak tumbuh di pagar pabriknya. Tumbuhan bersulur itu lezat. Memasaknya pun mudah sekali. Jangan terlalu panas–bisa ditumis dengan sedikit lada. Hemat waktu, hemat uang. Begitu semboyannya. Bayam merambat alias basella atau malabar spinach itu kaya zat besi, kalsium vitamin A dan C.
Tidak mengherankan kalau kita bisa membelinya di pasar swalayan. Biasanya dikemas dalam sampul plastik bersama daun pucuk kapri, ginseng, dan sayuran lainnya. Daun dan ranting mudanya lazim dicampur dengan kare, gulai, dan masakan berkuah lainnya. Sejak 2017 nilai ekspor bumbu instan Indofood saja melebihi Rp1,3 triliun. Sebuah eksportir bumbu Indonesia lainnya ke Arab Saudi mengklaim meraup belasan ribu dolar (sekitar Rp 200 juta) dalam sekali pasokan.
Artinya, baik perusahaan besar maupun kecil, mendapat peluang berkelanjutan. Produksi bahan baku bumbu bisa digenjot dan pasar akan selalu menerima dengan suka-cita. Paling sedikit ada 35 produk bumbu alami Indonesia yang diincar dunia. Jangan lupa, sejak ratusan tahun silam, para pedagang Eropa berjuang melawan ganasnya ombak untuk mendapatkan rempah-rempah.
Jadi sejak dahulu bangsa Indonesia mendapat berkah dari bumbu. Bukan hanya untuk menyehatkan anak bangsa, memeriahkan kuliner, tapi juga memperkuat perekonomiannya. Wajar kalau sampai sekarang masih ada perdebatan ongkos kirim ekspor bumbu ke berbagai negara seperti Jepang. Ada juga pasokan besar dan rutin ke pasar Amerika maupun Eropa.
Incaran
Dari pengalaman pemilihan presiden pada April 2019, tercatat hampir dua juta suara warga Indonesia tersebar di luar tanah air. Mereka praktis menjadi duta bumbu Indonesia yang kaya raya. Data dari UN Comtrade menyebutkan ekspor aneka bumbu Indonesia per tahun berkisar US$15 juta. Paling sedikit ada 35 produk alami yang dikategorikan aneka bumbu dapur andalan Indonesia.
Bukan hanya cengkih, pala, jintan, sereh, kapulaga, dan andaliman; tapi juga olahan seperti petis, kecap, saus, dan santan. Harap diingat, santan kelapa bukan hanya untuk masak-memasak, tapi juga untuk sarana kosmetik, industri kecantikan. Maka, ketika saya bersama rombongan memasuki pabrik bumbu, rambut, hidung, dan mulut harus ditutup. Alas kaki harus diganti karena memasuki arena yang steril.
Kami dibuat sadar bahwa kebersihan adalah modal utama. Di dalam kebersihan itu diolah produk-produk andalan lainnya, termasuk macam-macam bawang (merah, putih, dan bombai). Yang menarik, dunia selalu mengincar panenan terbaik. Asam jawa, lengkuas, angkak, merica punya bermacam jenis dan didatangkan dari berbagai tempat. Penyimpanan memerlukan teknologi tersendiri.
Tantangannya tentu kembali pada tersedianya komoditas. Baik kualitas maupun kuantitas perlu terjamin. Bukan hanya untuk empon-empon seperti kunyit, kencur, kunci, jahe, laos, dan sebangsanya; tapi juga kemiri, daun salam, kayu manis, maupun asam jawa yang memerlukan perkebunan dan perawatan yang lebih produktif dan efisien.
Tataboga
Yang menggembirakan, minat kalangan milenial pada dunia bumbu khususnya dan kuliner pada umumnya makin meningkat. Pasar bumbu instan yang menyebarkan aneka resep masakan juga makin besar. Memang kalangan generasi terdahulu, lebih menyukai bumbu segar yang dibeli langsung di pasar. Atitje, ahli songket Minangkabau yang bermukim di Amerika Serikat berkata, “Saya selalu memakai bumbu segar. Hanya sekali-sekali pakai bumbu sasetan. Kalau pakai bumbu soto, masih saya tambah sereh, daun jeruk, dan lengkuas,” katanya.
“Tetapi banyak milenial yang membawa bumbu instan favorit mereka ke Australia, Selandia Baru, Belanda, Amerika Serikat, Swiss, Jerman, Hongkong, dan sebagainya,” catat Murti Bunanta, seorang pengarang yang mengamati pola konsumsi orang muda. Apa lagi dengan munculnya bumbu masak untuk ikan salmon, dan bahan-bahan lain di manca-negara. Bumbu nasi goreng saja sudah diproduksi dalam berbagai variasi.
Bumbu opor termasuk yang banyak disukai. Dokter Dedeh Supantini spesialis saraf di Bandung, Jawa Barat, berkata, “Untuk soto, kari, dan ayam goreng, saya buatkan bumbu sendiri yang sesuai dengan selera keluarga. Tapi untuk nasi goreng dan opor, anak-anak sudah cocok dengan bumbu instan.”
Pendidikan untuk mencintai bumbu dan suka memasak kini mendapat peluang dan tantangan. Jurusan Teknologi Pangan kian berkembang, bahkan ke tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Puteri seorang teman saya bahkan melanjutkan studi tataboga sampai ke tingkat pascasarjana. Masyarakat yang makin maju sudah tahu bahwa masakan menunjukkan karakter dan wajah istimewa setiap bangsa.***