Beras basmati lokal yang produktif, genjah, dan adaptif di dataran rendah.
Trubus — Dokter spesialis anak di Bengkulu, Provinsi Bengkulu, Wasis Rohima mengisi waktu luangnya dengan hobi kuliner. Ia kerap mengolah antara lain nasi kebuli dan nasi hujan panas. Nasi kebuli masyhur di kalangan masyarakat Betawi dan keturunan Arab di Indonesia. Menu ini wujud pengaruh budaya Arab dan India Muslim. Dengan warna dominan kuning, daging kambing dan acar kerap menemani santapan kaya rempah itu.
Sementara itu nasi hujan panas adalah masakan tradisional Melayu asal Terengganu, Malaysia. Disebut demikian sebab warna nasi yang beragam, yakni hijau, kuning, dan merah seperti pelangi yang muncul saat cuaca panas setelah hujan. Imma—sapaan akrab Wasis Rohima— biasa menyantap nasinya hangat-hangat ketika turun hujan.
Permintaan tinggi
Imma juga mengolah tahu, tempe, dan opor ayam menjadi pelengkap nasi hujan panas. Kedua sajian sedap itu mengandalkan beras yang langka di Indonesia yaitu basmati. Basmati adalah beras khas negara-negara di Asia Selatan seperti India. Keberadaan beras basmati di Indonesia amat langka. Teksturnya pera sehingga kurang pas di lidah sebagian besar konsumen beras tanah air yang menyukai nasi pulen.
Periset Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BBPADI) di Kabupaten Subang, Jawa Barat, Suhartini dan I Putu Wardana, menyebutkan India dan Pakistan banyak menghasilkan beras basmati bermutu tinggi. Beras itu memiliki aroma spesifik serta bentuknya ramping dan memanjang setelah dimasak.
Indonesia juga memiliki varietas padi aromatik seperti sintanur, mentik wangi, dan milky rice. Namun, ketiga varietas itu bentuknya tidak ramping memanjang seperti basmati. Menurut periset dari BBPADI Subang, Elsera dan rekan-rekan, permintaan beras aromatik di pasar internasional meningkat signifikan. Data itu terlihat dalam kurun waktu 15 tahun terakhir. Beras basmati dari India dan yasmine dari Thailand mendominasi.
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, padi basmati hanya bisa tumbuh di bagian utara India dan Pakistan. Tak heran, harganya di Indonesia relatif mahal. Menanggapi permintaan pasar, Dr. Heni Safitri, yang juga periset BBPADI Subang, merakit varietas padi khusus tipe basmati sejak 2007. Ia dan tim riset berkomitmen untuk menghasilkan galur-galur harapan dengan hasil lebih tinggi atau setidaknya setara dengan padi basmati.
Potensi produksi varietas basmati di India mencapai 5—6 ton per hektare. BBPADI melepas varietas unggul baru berjuluk basmati aromatik atau baroma pada Januari 2019.
Produktif
Baroma berasal dari persilangan tetua varietas asal Indonesia dan basmati asal Pakistan. Tak seperti basmati Pakistan atau India yang tumbuh di dataran tinggi saja, baroma beradaptasi dengan baik di sawah berketinggian 0—600 meter di atas permukaan laut (dpl). Potensi hasilnya mengalahkan tetua yaitu mencapai 9,18 ton per hektare dengan rerata hasil 6,01 ton per hektare. Kepala Kebun BBPADI Sukamandi, Asep Maolana, S.P., menuturkan, “Baroma di kebun Sukamandi ditanam pada akhir Desember 2018 di lahan seluas 1 hektare. Panen pada awal April 2019 sebanyak 7—8 ton.”
Tanaman yang dapat mencapai tinggi hingga 112 cm ini tergolong padi cere sebab umurnya pendek sekitar 113 hari. Tingkat kerebahannya semenjana—sedang. Menurut Asep meskipun tinggi tapi batangnya relatif lebih besar dibandingkan dengan basmati lainnya sehingga kuat menopang hingga 17 anakan produktif. Jumlah gabah per malai 119 butir, sementara bobot per 1.000 butir 26,67 gram.
Kelebihan lain, indeks glikemik relatif rendah dan kadar amilosa cukup tinggi sebesar 25,55%. Ketika ditanak, aroma harum khas basmati pun menguar.
Menurut Asep penangkar mulai bisa memperoleh benih baroma paling cepat pada musim tanam mendatang—Agustus 2019. “Alurnya ke penangkar dulu. Kalau dari balai langsung ke petani, khawatirnya hasil panen petani langsung dikonsumsi bukan dikembangkan lagi. Hal itu berdampak pada ketersediaan benih ke depan akan berkurang,” tutur Asep. (Sinta Herian Pawestri)