Bersiasat demi produksi membubung saat harga cabai tiarap.
Petani di Garut, Jawa Barat, Bahari Anwar, biasa menanam cabai rawit setelah memanen padi. Populasi total 2.000 tanaman yang mulai berbunga 1,5 bulan setelah pindah tanam. Ia menjual kepada tengkulak ketika 75% buah matang.
Tengkulak memanen semua buah, baik matang maupun hijau. Rata-rata produksi sekitar 0,4 kg per tanaman. Produktivitas itu relatif rendah bila dibandingkan dengan hasil panen Ahmad Jaelani. Petani di Alahanpanjang, Sumatera Barat, itu menuai hingga 5 kg per tanaman.
Biaya produksi rendah
Ahmad Jaelani mengatakan, biaya produksi hanya Rp5.000 per tanaman. Ketika harga jual Rp7.000 per kg, ia meraup laba besar. Bandingkan dengan Bahari Anwar, begitu harga jatuh, maka labanya pun kian tipis, bahkan habis sama sekali. Jaelani menanam cabai di dataran tinggi, 1.200 meter di atas permukaan laut. Padahal, selama ini para petani lazim menanam cabai di datarn rendah.
Sudah begitu tanah di sana juga asam dengan pH berkisar 4,5—5. Itu sebabnya persiapan pratanam yang ia lakukan pun tidak main-main. Biaya terbesar—pemupukan—ia tekan dengan menggunakan pupuk racikan sendiri. Meski demikian produksi menjulang. Ahmad Jaelani menuai rata-rata 2 kg per tanaman, melonjak 100% dibandingkan dengan rata-rata petani lain.
Lama penyinaran di dataran tinggi lebih singkat ketimbang di lahan dataran rendah memang membuat tanaman lebih lambat berbunga. Panen pertama baru mulai ketika tanaman berumur 100 hari, lazimnya 80 hari. (baca Teknologi Budidaya di Dataran Tinggi, Produksi Naik 100% halaman 12—13).
Muhamad Tosin Glio menerapkan siasat lain saat bertani cabai. Petani di Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur, itu menghadapi masalah lahan marginal bekas penanaman tembakau. Petani lain mengecap pria berusia 47 tahun itu sebagai petani nekat. Bagaimana tidak, sudah menanami tanah rusak, Tosin menanam sewaktu musim hujan.Toh, produksi cabainya menjulang. Ia memperoleh lebih dari 15 ton dan masih terus panen meskipun umur tanaman mencapai 8 bulan. Petani di sana biasanya hanya panen selama 3 bulan, sampai tanaman berumur 6 bulan.
Kunci keberhasilan Tosin menanam cabai adalah pemanfaatan pupuk hayati. Ia memanfaatkan berbagai mikrob “baik” seperti Trichoderma sp, Bacillus subtilis, dan Pseudomonas flourescens (baca Panen Besar di Lahan Gersang, halaman 20—23). Yang membanggakan, produksi tetap tinggi.
Efisiensi biaya
Apa yang dilakukan Ahmad Jaelani dan Tosin Glio merupakan strategi peningkatan produksi. Menurut sekretaris jenderal Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia, Abdul Hamid, pendapatan petani bakal lebih tinggi seandainya tanaman cabai mampu berbuah sekaligus banyak sekali petik. “Pemetikan berkali-kali boros biaya tenaga kerja,“ ungkap pimpinan salah satu produsen benih tanaman hortikultura itu.
Maksud Hamid, sebaiknya petani menanam cabai yang minimal berbuah sekaligus 1 kg, lebih banyak lebih baik, pada pemetikan pertama. Dengan demikian, biaya tenaga kerja dapat ditekan sementara petani langsung memperoleh pendapatan besar dari penjualan. Sayang, sejauh ini belum ada benih cabai yang mampu memenuhi harapannya itu. Oleh karena itu petani perlu efisiensi biaya.
Efisiensi itu amat penting, terutama ketika harga anjlok seperti pada 20 Juni 2016. Harga cabai di tingkat petani berkisar Rp7.000—Rp10.000 per kg. Padahal, lazimnya harga si pedas menjelang Idul Fitri membubung tinggi. Bandingkan dengan harga pada Mei 2016 di tingkat petani mencapai Rp80.000 per kg. Menurut Hamid kalau produksi bisa meningkat 2 kali lipat dengan biaya tetap, petani tetap untung.
Menurut Hamid biaya produksi saat ini mencapai Rp7.000—Rp9.000 per tanaman. Jika produksi hanya 0,5 kg per tanaman, maka omzet petani hanya 8 ton per ha—populasi 16.000 tanaman. Namun, ketika petani seperti Ahmad Jaelani mampu meningkatkan produksi hingga 2 kg per tanaman, maka peluang meraih laba besar pun terbuka. Hamid mengatakan sebaiknya petani menanam ketika harga jatuh sehingga begitu panen memperoleh harga tinggi.
Musababnya, fluktuasi harga cabai murni dipengaruhi hukum pasar. Begitu pasokan menipis, harga langsung meroket. Namun, pria asal Bandarlampung itu menekankan hal lain yang tidak bisa dibiarkan, yaitu pembiaran terhadap petani. “Saat harga jatuh tidak ada tindakan sementara begitu harga tinggi malah buru-buru impor. Impor bukan solusi, malah menghancurkan petani,” ujar Hamid.
Pemerintah terlibat
Hamid menganjurkan agar pemerintah terlibat aktif dalam perniagaan cabai nasional. Caranya dengan melakukan klasterisasi sentra sehingga cabai tidak perlu didatangkan dari tempat yang terlalu jauh. “Jangan sampai, misalnya, hasil panen dari ujung Banyuwangi harus dibawa ke Jakarta hanya untuk mencari pembeli,” ujar purnatugas Kementerian Pertanian itu.
Sudah tingkat kerusakan tinggi, harga pun rawan anjlok akibat kelebihan pasokan. Sementara di kota lain seperti Padang, Sumatera Barat, atau Manado, Sulawesi Utara, harga tetap mahal karena tidak ada pasokan. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia petani pun memerlukan perhatian.
Salah satunya melalui pembenahan kelembagaan dan bantuan permodalan serta kemudahan memperoleh sarana produksi tani. “Selama ini subsidi pupuk dianggap membebani anggaran, padahal pupuk yang ada justru tidak sampai ke kebun petani,” kata Abdul Hamid. Bantuan permodalan pun kerap salah sasaran, bahkan diselewengkan oleh oknum koperasi maupun kelompok tani.
Pengamat agribisnis, Soekam Parwadi, mengatakan bahwa pemetaan salah satu solusi untuk menekan fluktuasi harga cabai. Upaya itu sekaligus mencegah sikap latah—ketika harga naik, para petani cenderung menanam cabai—sehingga memicu harga anjlok. Pemetaan berperan menstabilkan pasokan cabai di pasaran. Lagi pula konsumsi per kapita cabai nasional relatif tetap, yakni 20—30 gram per kapita (Data BPS 2014).
Dengan demikian kita bisa merancang produksi agar harga tak berayun-ayun. Kini ketika harga naik-turun, strategi teknologi peningkatan produksi menjadi solusi bagi para petani. Selain penggunaan pupuk hayati ala Tosin Glio dan budidaya di dataran tinggi, kiat lain adalah memangkas cabang ala Dedi Pamuji dan sistem tanam rapat ala Pieter Tangka. Empat kiat itu melambungkan produksi cabai. (Argohartono Arie Raharjo/Peliput: Ian Purnama Sari, Imam Wiguna, dan Riefza Vebriansyah)