Ikan gabus sohor sebagai obat untuk mempercepat pengeringan luka.

Seabad silam ilmuwan asal Amerika, Alvin Seale, menjelajah Asia untuk mengeksplorasi beragam jenis ikan. Seale mencatat spesies ikan istimewa bagi masyarakat India. “Ini spesies ikan paling berfaedah yang diberikan untuk orang-orang sakit di India,” ujat Seale. Catatan Seale yang terbit pada 1908 merujuk pada ikan gabus Channa striata yang juga ditemukannya sebagai ikan introduksi di Filipina.
Sejumlah ilmuwan lain juga menyebut gabus sebagai ikan konsumsi air tawar termahal di India, Srilanka, Vietnam, Thailand, dan Malaysia yang harganya setara dengan daging sapi. Di tanah air seperti di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan, harga gabus Rp60.000—Rp80.000 per kg tergantung ukuran. Pengakuan para ilmuwan ikan terhadap keistimewaan gabus karena masyarakat lokal di berbagai negeri menggunakannya untuk pengobatan.
Pengetahuan warisan
Masyarakat memanfaatkan ikan gabus untuk mengatasi luka setelah melahirkan, luka khitan, luka kecelakaan, luka bedah, luka bakar, asma, dan penyakit hati. Di Tiongkok para tabib mengekstrak minyak gabus sebagai obat untuk menyembuhkan luka. Sementara masyarakat di daerah rawa di Asia cukup memasak gabus sebagai sup atau tim bersama nasi yang dikonsumsi sehari-hari selama sakit.
Menurut ahli rawa dari Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Prof Muhammad Noor, pengetahuan tentang khasiat ikan gabus diwariskan turun-temurun oleh bangsa Melayu. Di kalangan mereka ikan gabus sering menjadi buah tangan untuk orang sakit. Bahkan, menurut Noor, seorang suami di suku Banjar yang istrinya hendak melahirkan memesan dan menyiapkan banyak ikan gabus.
Perempuan yang baru melahirkan mengonsumsi ikan gabus selama 3—7 hari setelah persalinan agar kondisinya cepat pulih. Riset mutakhir melaporkan, gabus mengandung albumin yang berperan menghentikan pendarahan, meremajakan sel tubuh, serta bersifat antioksidan. Organ hepar atau hati dalam tubuh manusia memproduksi albumin. Pada orang sakit atau kekurangan nutrisi produksi albumin berkurang. Tubuh pun memerlukan albumin dari luar.

Bagi masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan, haruan alias ikan gabus menjadi menu kuliner khas yang paling disukai. Mereka mengolah ikan gabus menjadi lauk sayur pada ketupat kandangan dan nasi kuning haruan. Menurut Noor bagi orang sakit, menyantap menu haruan bagaikan diet penyembuhan. Sementara bagi orang sehat konsumsi ikan anggota keluarga snakehead itu menjadi diet untuk menjaga stamina agar tubuh tetap bugar.
Amerika Serikat melalui United Stated Geological Survey (USGS) meriset keluarga snakehead dari wilayah tropis di Asia dan Afrika untuk memantau peredarannya di Amerika Serikat sebagai ikan introduksi. Keluarga snakehead diwaspadai membahayakan ikan lokal karena agresif menyerang dan memangsa ikan lain yang lebih kecil. Umumnya mereka masuk ke Amerika sebagai ikan hias yang dikoleksi para pehobi.
Predator
Dari 29 keluarga snakehead, periset USGS memantau ikan gabus Channa striata dan Channa maculata sebagai ikan paling luas sebaran introduksinya di Amerika karena diimpor sebagai ikan konsumsi. Channa maculata mirip gabus tetapi memiliki spot-spot hitam di tubuhnya. Pada periode 1900-an di Hawai dan California Channa maculata yang juga menjadi ikan konsumsi sempat diidentifikasi sebagai Channa striata.
Masyarakat Asia akrab dengan gabus Channa striata. Sebab, ribuan tahun lalu saat Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, semenanjung Malaysia, pesisir Thailand, dan pesisir Vietnam bersatu terdapat 3 sistem sungai purba yang saling berhubungan. Pada masa lalu Paparan Sunda—yang kini menjadi laut—merupakan dataran terbuka berbentuk cekungan. Saat hujan cekungan itu menjadi wadah air dan dataran banjir sehingga terbentuklah lanskap rawa yang maha luas.
Kawasan dataran banjir itulah yang menjadi habitat paling disukai gabus yang memang tergolong ikan purba. Fosil gabus juga ditemukan pada 1949 di situs Trinil, lembah Sungai Bengawan Solo. Peneliti ikan purba dari Belanda, Marinus Boeseman, melukiskan fosil gabus dengan membandingkannya dengan preparat ikan gabus. Ia memberi nama spesies ikan purba dari masa sebelum era Pleistocene itu Ophicephalus palaeostriatus yang kemudian ternyata ikan gabus.
Ketika zaman es berakhir—pada 18.000—20.000 tahun lalu—yang membuat permukaan air laut naik dan menenggelamkan 3 sistem sungai di era Pleistosen, maka ikan gabus terjebak di kawasan rawa air tawar yang tersisa. Sebaliknya, di sebelah timur garis Wallace seperti Pulau Sulawesi dan Kepulauan Filipina yang berdekatan dengan Pulau Kalimantan, gabus tidak ditemukan sebagai ikan air tawar alam kecuali sebagai ikan introduksi yang dibawa manusia.
Palung laut yang sangat dalam di antara Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi memisahkan aliran air tawar di kedua pulau itu sehingga gabus tidak dapat saling bermigrasi. Pantas bagi petani di Asia seperti di Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia, ikan gabus menjadi sahabat petani secara turun-temurun terutama sebelum revolusi hijau menjadi program pemerintah yang masif.
Sahabat petani

Gabus yang berkeliaran di sawah menjadi pemangsa hama padi seperti siput dan larva serangga perusak. Publikasi riset Dasgupta pada 2000 menyebut gabus memangsa serangga (40%), ikan lain (30%), dan udang-udangan (10%) di perairan Bengal Barat, India. Menurut publikasi Ng dan Lim pada 1990, sebagai ikan karnivora gigi gabus—terutama yang membesar di tengah—sangat kuat untuk mencengkram, membunuh, dan merobek mangsa.
Dengan perangkat itu petambak ikan karper di Filipina dan Thailand memanfaatkan gabus sebagai biokontrol untuk mengendalikan populasi ikan tilapia yang menjadi hama. Di Indonesia perannya sebagai biokontrol pun lebih disukai petani dan petambak ketimbang kerabatnya Channa micropeltes alias toman yang lebih buas. Namun, kini peran gabus membantu petani kian berkurang seiring pemakaian pestisida di lahan pertanian.
Bahkan, gabus pun semakin sulit ditemui di lahan padi lokal karena belakangan petani padi lokal juga menggunakan herbisida untuk membunuh gulma saat pengolahan tanah. Gabus kini hanya ditemui pada wilayah cekungan yang menjadi dataran banjir saat musim hujan berupa rawa alami. Ikan itu juga hidup di balik lumpur rawa yang mengering saat kemarau karena kemampuannya hidup berbulan-bulan tanpa air.
Ikan gabus merupakan amfibi yang mampu bertahan hidup dari kekeringan pada musim kemarau. Gabus mengeluarkan lendir yang menyelimuti tubuhnya lalu “bertapa” dengan menyelusup ke dalam lumpur untuk melindungi penguapan tubuhnya. Saat musim hujan gabus keluar dari lumpur lalu meneruskan hidupnya untuk bertelur menurunkan generasi berikutnya yang berfaedah untuk umat manusia. (Destika Cahyana SP, M.Sc. peneliti di Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian)