Mukidi meningkatkan nilai tambah kopi dengan mengolah dan memasarkan sendiri. Ia bermitra dengan 150 petani kopi lain di Temanggung.
Trubus — Setahun silam nama Mukidi menjadi viral di media sosial. Ia menjadi sosok imajiner dengan lelucon yang membuat pembacanya tertawa terpingkal-pingkal. Namun, siapa sangka sosok Mukidi itu ternyata hadir di dunia nyata. Ia seorang pengusaha kopi asal Dusun Jambon, Desa Gandurejo, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Aroma kopi begitu harum tercium saat Trubus berkunjung ke kediamannya pada Agustus 2017.
Di rumahnya Mukidi tengah asik menyortir biji kopi kering. Ia memisahkan biji kopi yang pecah dan kopi lanang. Biji kopi lanang (secara harfiah berarti jantan) sebutan biji kopi yang mengalami mutasi, yakni berkeping biji tunggal alias monokotil. Lazimnya biji kopi terdiri atas dua keping biji (dikotil). Kopi lanang berharga lebih tinggi. “Kopi lanang dipercaya memiliki cita rasa khas dan berkhasiat untuk meningkatkan stamina pria,” tutur Mukidi.
Tiga merek
Sementara di belakang Mukidi terdengar deru mesin penyangrai biji kopi. Dari sanalah aroma harum khas kopi menguar. Mukidi menyangrai biji kopi lolos seleksi selama 20 menit. Penyangraian menyebabkan bobot kopi susut 20%. Dari 5 kg biji kopi kering susut menjadi 4 kg biji kopi sangrai. Dalam sehari pria yang gemar mengenakan blangkon itu menyangrai rata-rata 5 kg biji kopi.
Mukidi memperoleh pasokan kopi dari kebun miliknya di dua lokasi. Kebun yang pertama tidak terlalu luas, hanya terdiri atas 40 pohon yang kini berumur 5 tahun. Lokasi kebun sekitar 500 m dari rumahnya. Kebun kedua lebih luas, yakni sekitar 1 ha berpopulasi 1.500 tanaman. “Lokasi kebun kedua lebih jauh dan agak sulit ditempuh dengan mobil karena jalannya sempit,” tutur pria 42 tahun itu.
Selain mendapatkan pasokan dari kebun sendiri, Mukidi juga bermitra dengan para pekebun kopi. Ia aktif membentuk himpunan para pekebun kopi yang jumlahnya kini mencapai sekitar 150 pekebun. Dari mereka pasokan kopi terjaga. Musim panen kopi di Kabupaten Temanggung biasanya setiap Maret hingga pertengahan April. Ia mengolah kopi-kopi itu meliputi mengupas, menjemur, menyangrai setiap hari.
Jenis kopi yang diolah tergantung stok. Mukidi memproduksi kopi jenis arabika, robusta, campuran arabika dan robusta (arabusta), dan lanang. Ia lalu menghaluskan biji kopi sangrai itu menggunakan mesin penepung. Mukidi lalu mengemas kopi bubuk itu dalam kemasan kantong aluminium foil berisi 100 g dan 250 g. Jika ada pesanan khusus, ada juga kemasan 1 kg. Mukidi melabeli kopi produksinya dengan tiga merek, yaitu Kopi Jowo, Kopi Lamsi, dan Kopi Mukidi.
Cita rasa kopi Jowo yang lebih ringan. “Kopi Jowo disesuaikan dengan selera masyarakat di sekitar Temanggung,” tutur pria kelahiran 5 Agustus 1974 itu. Oleh sebab itu, harganya lebih terjangkau, yakni hanya Rp10.000 per kemasan isi 100 g. Adapun Kopi Lamsi adalah kopi khusus yang ia beli dari para pekebun kopi di daerah Lamsi, yaitu daerah di sisi timur lereng Gunung Sumbing.
Kopi yang tumbuh di kawasan Lamsi memperoleh sinar matahari pagi optimal sehingga dipercaya menghasilkan kopi berkualitas lebih baik. Kopi Mukidi hasil dari kebun sendiri. Kedua produk baru itu berkualitas premium sehingga harga jualnya lebih mahal, yakni Rp25.000 per 100 g. Kopi dengan merek yang diambil dari namanya itu makin laris manis saat lelucon Mukidi viral di media sosial.
Saat itu Mukidi juga kerap tampil dalam wawancara di beberapa stasiun televisi. Fenomena itu membawa berkah. Sejak itu ia kebanjiran pesanan baik melalui akun media sosial atau pun telepon seluler. Mukidi mampu menjual rata-rata 5 kg kopi per hari. Permintaan itu meningkat 40% dibandingkan dengan permintaan saat sebelum nama Mukidi viral.
Beruntung Mukidi merupakan nasabah Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang menyediakan berbagai fasilitas untuk kemudahan bertransaksi. Fasilitas pelayanan bank plat merah itu memudahkan Mukidi mengecek transfer pembayaran dari konsumen yang membeli kopi. “Saya juga lebih mudah melakukan transfer jika ada yang harus dibayar,” ujar ayah dua anak itu. Mukidi juga memperoleh pendapatan tambahan dari warga sekitar yang ingin membeli pulsa telepon seluler, bayar listrik, dan cicilan dengan menjadi Agen BRILink. “Mereka juga lebih percaya karena setiap transaksi ada buktri transaki berupa struk,” kata Mukidi.
Nilai tambah
Beberapa konsumen datang langsung ke kediamannya di Temanggung. Selain memproduksi kopi, Mukidi juga membuka Rumah Kopi. Di sana para pengunjung dapat menikmati kopi dengan berbagai teknik penyajian. Mukidi sebetulnya mulai memproduksi kopi jauh sebelum namanya viral di dunia maya, yakni pada 2001. Ketika itu ia merasa prihatin para pekebun kopi di desanya tak beranjak sejahtera.
Harap mafhum, mereka hanya menjual buah kopi segar kepada para pengepul dengan harga Rp8.000 per kg. Padahal, dari sepohon kopi berumur 5 tahun, pekebun hanya memanen rata-rata 10 kg per tahun. Pendapatan itu jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan pendapatan dari hasil panen tembakau atau sayuran yang menjadi andalan warga Temanggung. Apalagi kopi baru berbuah perdana pada umur minimal 3,5 tahun, sedangkan tembakau panen umur 6—7 bulan dan sayuran 3—4 bulan.
Padahal, Mukidi yakin betul pendapatan pekebun akan lebih tinggi bila mereka mengelola kopi dari budidaya hingga pengolahan. Mukidi menghitung jika pekebun menanam sehektare kopi dengan populasi 1.500 pohon, dapat menghasilkan 15 ton buah kopi segar per tahun. Jika pekebun menjual hasil panen dalam bentuk buah segar dengan harga Rp8.000 per kg, maka pendapatan pekebun hanya Rp120-juta.
Jika pekebun mengupas buah untuk menghasilkan biji, maka untuk menghasilkan 1 kg biji kopi kering perlu 6 kg buah segar. Artinya, dari hasil panen 15 ton buah segar menghasilkan 2,5 ton biji kopi kering. Harga jual biji kopi kering Rp60.000 per kg. Jadi, jika pekebun menjual biji kopi kering, maka pendapatan pekebun meningkat menjadi Rp150-juta per ha per tahun. Bila pekebun menyangrai, maka dari 2,5 ton biji kering menghasilkan 2 ton biji kopi sangrai atau susut 20%.
Harga jual biji kopi sangrai Rp150.000—Rp200.000 per kg. Omzet petani kembali meningkat, yakni Rp300 juta. Jika biji kopi sangrai itu dihaluskan, harga jual meningkat menjadi Rp250.000 per kg. Jadi, bila pekebun menjual dalam bentuk kopi bubuk, maka dari sehektare lahan bisa menghasilkan omzet Rp500 juta per tahun atau rata-rata Rp41 juta per bulan. “Pendapatan pekebun akan lebih besar jika punya kedai kopi sendiri,” ujar pria berkaca mata itu.
Tanam sendiri
Mukidi tak mau hitung-hitungannya itu sekadar di atas kertas. “Oleh sebab itu pada 2011 saya menanam kopi sendiri. Para pekebun akan percaya hitung-hitungan saya itu bila sudah ada contoh. Saya ingin memberi contoh,” kata Mukidi. Ia menanam kopi dengan memperhatikan aspek konservasi. Ia menanam kopi di lahan miring dengan terasering yang melintang kontur tanah.
Para pekebun di lereng Gunung Sumbing biasanya menanam tembakau atau sayuran pada bedengan yang searah kontur tanah. “Padahal, bedengan seperti itu berisiko menyebabkan erosi, terutama saat musim hujan,” ujarnya. Untuk mencegah erosi, Mukidi juga menanam serai wangi di sepanjang bibir tersaring. Menurutnya perakaran serai wangi dapat mencengkeram tanah sehingga tanah tidak gampang erosi.
Namun, beberapa tetangga Mukidi malah mencibir. Mereka menganggap menanam kopi kurang menguntungkan dibandingkan dengan tembakau atau sayuran seperti cabai. Itulah sebabnya warga Temanggung menanam kopi hanya sebatas tanaman pelengkap, bukan sumber penghasilan utama. Mereka menanam kopi di antara tanaman tembakau atau sayuran.
Cibiran itu tak membuat semangat Mukidi surut untuk terjun di dunia kopi. Ia juga menanam kopi di lahan yang lebih luas, yakni mencapai 1 hektare. Selain menanam kopi, ia juga belajar menyangrai kopi kepada salah seorang tetangganya yang pengrajin kopi. Namun, alat yang digunakan sangat sederhana, yaitu menggunakan wajan tanah liat. “Di desa ini ada beberapa produsen kopi bubuk. Cuma mereka mencampur kopi dengan beras atau bahan lain biar harganya terjangkau,” tutur Mukidi.
Mukidi tak mau seperti perajin kopi di desanya. Ia ingin kopi produksinya adalah kopi murni. “Kalau saya mengikuti cara mereka produksi kopi, lalu apa bedanya produk saya dengan mereka,” tuturnya. Mukidi lalu mengemas kopi hasil produksinya dalam plastik bening dan tanpa merek. Kopi itu ia jajakan berkeliling kota Temanggung menggunakan sepeda motor. Suatu ketika ia bertemu dengan seorang rekan.
Ia menanyakan apakah kopi yang ia jual adalah kopi jowo atau bukan. “Sebutan kopi jowo itulah yang menginspirasi saya untuk menjadikannya sebagai nama merek,” ujar Mukidi. Pada hari berikutnya Mukidi lalu mencetak merek kopi pada kertas stiker menggunakan mesin pencetak. Ternyata hasilnya kurang memuaskan. Begitu terkena air, tinta pada stiker langsung luntur. Meski demikian kopi produksi Mukidi perlahan tapi pasti mulai laris.
Itulah sebabnya Mukidi makin serius memproduksi kopi dengan mengganti kemasan menjadi kantong aluminium foil. Untuk membuat merek ia menyewa jasa pendesain grafis. Ia juga mengurus izin produksi ke Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung dan Badan Pengawas Obat dan Makanan. (Imam Wiguna)