Saturday, January 25, 2025

Ilmu Ikan

Rekomendasi
- Advertisement -

Trubus — Iktiologi dalam bahasa Inggris ichthyology, ilmu tentang ikan. Meskipun banyak ikan air asin maupun air tawar di seputar kita, cabang ilmu ini masih terasa asing. Masyarakat Iktiologi Indonesia (MII) baru berdiri pada 2000. Padahal, lebih dari separuh 25.000 spesies ikan di Bumi ini ada di perairan kita. Apakah ini menandakan bangsa Indonesia kurang suka makan ikan?

Sampai 2013, konsumsi ikan per kapita orang Indonesia tiap tahun tidak lebih dari 35 kg.  Itu berarti sudah melewati target konsumsi dunia (30 kg per kapita per tahun).  Namun, konsumsi itu masih di bawah Malaysia yang 56 kg dan Singapura 48 kg. Lebih disayangkan lagi, konsumsi ikan nasional kita belum merata. Angkanya berbeda-beda di tiap daerah. Sentra penangkapan dan budidaya ikan juga belum menyebar.

Masalah cantrang
Penangkapan ikan laut masih didominasi nelayan laut dangkal, dari Selat Malaka, pantai utara Jawa, hingga Selat Bali. Namun, apa yang terjadi pada 2017?  Menjelang hari Lebaran pada Juni 2017, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pujiastuti, menyatakan konsumsi ikan bangsa Indonesia menjadi perhatian  dunia.  Dalam dua tahun konsumsi melonjak menjadi 43 kg per kapita. Itu berarti ada kenaikan 7 kg tiap orang selama dua tahun.

Eka Budianta

“Dalam sejarah peningkatan konsumsi ikan mencatat, dalam dua tahun ini, konsumsi ikan mencapai rekor tertinggi. Kalau 7 kg dikalikan 250 juta, maka menjadi 1,75 juta ton. Jika dikalikan US$1, maka nilai sudah US$ 1,75 juta. Ini adalah nilai usaha industri yang luar biasa yang dikonsumsi masyarakat kita,” kata Susi. Pemerintah, menargetkan peningkatan konsumsi ikan masyarakat Indonesia menjadi 50 kg per kapita per tahun pada 2019.

Tentu, diperlukan panen ikan lebih banyak untuk konsumsi domestik, sekitar 750 ribu ton. Bisakah? “Tidak masalah, karena stok ikan kita naik dari 9,93 juta pada 2016 menjadi 12,54 juta ton pada 2017. Ada recovery kenaikan ikan yang boleh ditangkap secara berkelanjutan hampir 100 persen,” kata Menteri Susi meyakinkan.  Sudah dua kali ia beriklan agar hidangan Lebaran diperkaya dengan ikan. “Lebih murah, lebih sehat,” serunya.

Sayangnya sukses kampanye makan ikan dan meningkatkan stok ditanggapi beragam. Pada Juli 2017, sejumlah nelayan berunjuk rasa ke depan istana. Mereka minta presiden mencopot Menteri Susi dan pelarangan cantrang dihapus.  Padahal, sudah dijelaskan cantrang adalah alat penangkap ikan yang tidak ramah lingkungan.  Jaring itu mengeruk bermacam biota termasuk ikan-ikan kecil sampai ke dasar laut.

Namun, banyak nelayan tidak tahu cara lain yang lebih baik. Mereka berpikir, cantrang adalah alat tradisional yang sudah dipakai dari generasi ke generasi. Mungkin dalam skala kecil, tidak besar dampak kerusakan yang timbul, dan dapat segera pulih.  Namun, kalau jumlah cantrang menjadi sangat banyak dan dioperasikan dengan kapal-kapal besar, dampaknya buruk sekali.  Itulah yang harus dicegah dan masa depan nelayan dilindungi.

Berbagai teknologi industri perikanan pun diperkenalkan.  Ada dua jenis utama, teknologi tangkapan dan teknologi budidaya.  Teknologi tangkapan  untuk mengembangkan dan memanen ikan liar.  Bisa di laut, danau, atau sungai.  Adapun teknologi budidaya, berfokus pada ikan-ikan yang diternakkan.  Bisa di kolam, bisa juga di keramba, termasuk di kawasan laut lepas. Industri penangkapan ikan memperkenalkan alat-alat yang legal dan ramah lingkungan.

Alternatif alat tangkap

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyiapkan 9 jenis alat tangkap yang bisa mengganti cantrang. “Untuk mengganti cantrang, KKP menyiapkan 89 spesifikasi alat penangkapan ikan yang terdiri atas 9 jenis,” kata Endroyono, kepala Subdirektorat Alat Penangkapan Ikan Ditjen Perikanan Tangkap KKP. Sembilan Jenis alat tangkap itu termasuk jaring insang, trammel net, bubu lipat ikan, bubu rajungan, pancing ulur, rawai dasar, dan rawai hanyut.

“Pemilihan jenis alat penangkapan ikan sesuai dengan usulan nelayan dengan mempertimbangkan spesies target penangkapan, kebiasaan nelayan dan ukuran kapal,”  kata Endroyono. Menteri Susi pun meyakini, banyak nelayan Indonesia mempunyai dan memanfaatkan teknologi tangkap yang baik seperti pukat cincin (purse seine) dan pukat kantong (seine net). Pukat kantong yang terdiri atas payang, dogol, dan pukat pantai dipakai menangkap ikan-ikan pelagis dan demersal.

Salah satu ahli teknologi tangkap ikan itu adalah Muchtar A.Pi dari Universitas Muhammadiyah Kendari, Sulawesi Tenggara. Tentunya KKP menerima usulan dari berbagai daerah. Jaring insang atau gill net adalah alat penangkapan ikan berbentuk lembaran jaring empat persegi panjang atau trapesium terbalik.  Tinggi jaring insang pertengahan 5—10 meter dan bentuk gill net berpelampung dan pemberat.
Jaring insang dilengkapi tali ris bawah dan atas untuk menghadang ikan, sehingga ikan tertangkap dengan cara terjerat atau terpuntal. Tidak dengan menyapu bersih. Teknologi budidaya yang sangat mendapat perhatian adalah keramba. Beberapa danau dan bendungan dinyatakan terbatas untuk jumlah tertentu.  Waduk Jatiluhur, Cirata, dan Danau Toba sudah beberapa kali mengalami musibah.

Ratusan ribu ekor ikan mati mengambang karena keracunan makanan yang berkelimpahan dan menumpuk. Pemecahannya tentu dengan membatasi jumlah keramba, sesuai dengan daya dukung lingkungan. Teknologi perikanan bukan hanya terfokus pada penangkapan dan pengolahan atau pengalengan hasil panennya. Tiga komponen lain yang memerlukan dukungan teknologi adalah pengelolaan lahan, penyediaan benih, dan ketersediaan transportasi.

Untuk hal itu dapat diperhatikan keramba-keramba besar di laut lepas.  Akuakultur paling berhasil yang pernah saya kunjungi terletak di gugusan paling luar Kepulauan Seribu.  Di sana tersedia infrastruktur keramba modern bertingkat, dilengkapi dengan sarana laboratorium untuk pembenihan dan perawatan ikan. Pasokan pangan ikan perlu didatangkan dari berbagai penjuru. Suku cadang peralatannya pun dikirim dari Australia, Jepang, atau Perancis.

Pakar iktiologi dan akuakultur didatangkan dari Perancis. Hasil panennya, ikan kakap putih Baramundi, diekspor langsung ke Hongkong, Amerika Serikat, dan Kanada.  Tujuan ekspor ikan Indonesia yang besar adalah Tiongkok, Jepang, Amerika Serikat, dan Thailand.  Namun, pada saat yang sama kita juga mengonsumsi ikan-ikan impor termasuk salmon dan dori.  Ada upaya mengganti dori dengan ikan domestik yaitu patin. Intinya, pengembangan teknologi budidaya ikan sangat perlu dikedepankan.

Indonesia telah berjaya sebagai eksporti udang. Dengan keramba-keramba modern, produktivitas ikan budidaya semoga dapat ditingkatkan, melebih ikan tangkapan.  Modernisasi teknologi perikanan adalah bagian penting dalam pembangunan agromaritim, agribisnis kelautan. Ilmu ikan selama ini hanya dikaitkan dengan biologi kelautan, limnologi (ilmu tentang air) dan oseanografi.
Padahal, meskipun beribu jenis ikan sudah dikenali, jurnal iktiologi selalu mengumumkan tiap tahun ditemukan 250 spesies ikan baru. Jadi, sudah waktunya negeri kepulauan ini melahirkan pakar-pakar iktiologi. Kita tunggu ahli-ahli patologi ikan, dokter-dokter yang menguasai kesehatan ikan, pelopor teknologi perikanan, jago-jago budidaya dan perekonomian ikan. ***


*) Eka Budianta, Budayawan, kolumnis Trubus sejak 2001, aktifis Tirto Utomo Foundation dan kebun organik Jababeka, Cikarang. 

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Pasar Butuh Pasokan Buah Alpukat Berkualitas secara Kontinu, Begini Strateginya

Trubus.id–Pasar membutuhkan pasokan buah alpukat berkualitas secara kontinu. Menurut Agus Riyadi kebutuhan pasar alpukat selalu ada. Namun, kadang terkendala...
- Advertisement -

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img