Kemiri sunan potensial menjadi bahan baku biodiesel, rendemen 30%. Alternatif pengganti bahan bakar fosil yang kian menipis ketersediannya.
Pagi itu wajah-wajah semringah memenuhi Pesantren Sunan Drajat di Paciran, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur. Dentuman musik mengiringi tembang-tembang Virgiawan Listanto atau Iwan Fals yang hadir di Lamongan. Bersama pemimpin Pesantren Sunan Drajat, KH Abdul Ghofur, dan PT Djarum Tbk, musikus itu menanam kemiri sunan di kompleks makam Sunan Drajat.
Saat itu, 2010, popularitas kemiri sunan tengah menanjak. Kini kemiri sunan tumbuh di berbagai daerah seperti Majalengka, Provinsi Jawa Barat, Boyolali (Jawa Tengah), Karangasem (Bali), Lombok (Nusa Tenggara Barat), Bajawa (Nusa Tenggara Timur), Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur), dan Kubu Raya (Kalimantan Barat). Buah kemiri sunan bahan baku biodiesel. Kualitasnya lebih baik daripada solar lantaran mempunyai nilai bakar (bilangan setana) lebih tinggi.
Multifeadah
Biji kemiri sunan pun menghasilkan banyak minyak. Penelitian Kepala Departemen Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Prof Didik Prasetyoko, pengempaan sekilogram biji kemiri sunan menghasilkan 500—620 g minyak alias rendemen 50—62%. Ekstraksi dengan pelarut nonpolar dan katalis soda api mengubah 95% minyak kemiri sunan menjadi biodiesel (baca: Kemiri Sunan dari Hulu ke Hilir hal 140—141).
Seiring waktu, pengetahuan akan manfaat biji kemiri kian berkembang. Selain bahan bakar diesel, minyak kemiri sunan juga menghasilkan gliserol yang bermanfaat untuk industri. Tempurung biji dan bungkil pun dapat dimanfaatkan (baca Faedah Selain Minyak hal. 142—143). Meski gliserol jauh lebih sedikit daripada biodiesel, harganya berlipat kali lebih tinggi.
“Hasil dari pengolahan gliserol jauh lebih bernilai sehingga biodiesel terbilang produk sampingan. Hal serupa dilakukan industri minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di Malaysia. Mereka mengambil bahan yang harganya jauh lebih mahal dan menjadikan minyak sayur sebagai produk sampingan karena secara ekonomis nilainya lebih rendah,” kata Hendra Natakarmana, pionir penanaman kemiri sunan di Indonesia.
Dengan beragam keunggulan itu, wajar penanaman kemiri sunan semakin meluas. Di Gresik, Jawa Timur, Titie Prapti Oetami melalui CV Energi Baru Santosa mengembangkan kemitraan penanaman seluas 650 ha bekerja sama dengan masyarakat di NTT. Selain itu, ia juga bekerja sama dengan Pangakalan Udara di beberapa daerah seperti Pasuruan dan Juanda, Sidoarjo.
“Kami menanam 3.000 bibit pada awal 2015. Mereka meminta penambahan lagi, tetapi kami evaluasi terlebih dahulu agar hasilnya maksimal,” ujar Titie. Ia juga menerima permintaan masyarakat di daerah-daerah terpencil untuk mengembangkan lahan-lahan marginal. Ia juga siap menginvestasikan 100% untuk penanaman di daerah tertinggal dengan sistem bagi hasil.
Titie mengatakan, “Kemiri sunan untuk lahan marginal. Kalau lahan produktif sebaiknya tanam bahan pangan seperti padi, jagung, atau buah-buahan. Untuk daerah tertinggal kami bantu dengan sistem bagi hasil 70% untuk warga, 30% untuk kami. Dengan biaya investasi kami tanggung,” ujarnya. Itu semata-mata untuk memanfaatkan lahan-lahan marginal di Nusantara yang selama ini tak tersentuh pembangunan.
Serap karbon
Kementerian Pertanian pun tidak ketinggalan. menanam di lahan percobaan Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri) di Pakuwon, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Lembaga itu mengembangkan penanaman dengan cara grafting alias sambung pucuk. Padahal, dari penelitian Titie, tanaman asal biji rata-rata belajar berbuah pada tahun ke-3—4 pascatanam.
Pohon berproduksi stabil pada tahun kelima. Kepala Pengembangan Agribisnis Pondok Pesantren Sunan Drajat, Hendra Natakarmana mengakui pengembangan kemiri sunan belum final. “Masih banyak prospek yang belum tersentuh selain bahan bakar,” kata Hendra. Kemiri sunan menjadi jalan keluar senjakala bahan bakar minyak yang cadangannya semakin menipis seiring waktu.
Tidak hanya biji, pohon kemiri sunan pun bermanfaat untuk lingkungan di sekitarnya. Untuk meneliti kontribusi kemiri sunan terhadap lingkungan, peneliti di Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar, Handi Supriadi, meneliti kemampuan kemiri sunan menyerap karbondioksida dari udara. Handi mendasarkan perhitungannya dengan analogi kemiri dapur Aleurites moluccana.
Sebab, morfologi dan bobot biomassa kedua tanaman itu hampir sama. Ia menggunakan sampel pohon kemiri sunan di Desa Banyuresmi, Kabupaten Garut. Dengan asumsi populasi 100 tanaman per ha, sehektare pohon kemiri sunan berumur 10 tahun mampu menyerap 34 ton karbondioksida (CO²) dari udara. Jumlah itu tentu semakin meningkat seiring pertambahan umur tanaman.
Pada umur 45 tahun, sehektare kemiri sunan menyerap 169 ton karbondioksida dari udara. Perhitungan karbondioksida yang Handi lakukan belum menyertakan karbon yang tersimpan dalam buah. Angka itu menjadi poin lebih kemiri sunan bila diekspor menurut skema perdagangan karbon yang disepakati dalam Kerangka Kesepakatan untuk Perubahan Iklim badan dunia PBB (UNFCC).
“Jika nilai karbon dalam buah ikut dihitung, maka angkanya meningkat berlipat kali,” kata Hendra. Riwayat kemiri sunan bermula di Pesantren Sunan Drajat. Pada 2006, pimpinan pesantren menugaskan Hendra Natakarmana mencari tanaman yang prospektif sebagai bahan bakar alternatif. Mula-mula Hendra mencoba jarak pagar Jatropha curcas.
Jarak bandung
Hendra menanam jarak pagar di Wado, Sumedang—dekat area yang sekarang menjadi waduk Jatigede. Setelah mengamati selama hampir setahun, ia menilai jarak pagar kurang memuaskan. “Buah harus dipetik satu per satu. Akibatnya biaya petik malah lebih tinggi ketimbang harga beli dari petani. Setelah petik pun harus langsung diolah agar kandungan minyak tidak keburu rusak,” tutur Hendra.
Saat mencari bibit jarak di Cigasong, Majalengka, warga menunjukkan pohon yang mereka sebut jarak bandung, yang sama sekali tidak mirip jarak. Lantaran tidak tahu seluk- beluknya, pohon itu lantas Hendra bawa ke Herbarium LIPI, Cibinong, Bogor. Identifikasi menguak identitas sekaligus kegunaan tanaman itu. Ia memboyong biji tanaman itu dari Cigasong dan menanam di area penanaman jarak pagar di Wado.
Sembari mengamati pertumbuhan pohon di Wado, Hendra melaporkan temuannya kepada KH Abdul Ghofur. Kyai pendiri pesantren Sunan Drajat itu lantas menamai jarak bandung itu sebagai kemiri sunan. Sejak itu kemiri sunan ditanam di kompleks pesantren Sunan Drajat di Paciran, Lamongan. Kini tanaman anggota famili Euphorbiacecae itu menyebar ke seantero negeri. (Argohartono Arie Raharjo/Peliput: Bondan Setyawan)