Plastik asal singkong ramah lingkungan, terurai dalam tanah hanya 90 hari.

Trubus — Indonesia penyumbang sampah plastik ke lautan terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. Itulah hasil penelitian Jenna Jambeck dari Universitas Georgia, Amerika Serikat. Menurut Jambeck Indonesia membuang setidaknya 1,29 juta ton sampah plastik ke laut setiap tahun. Meski berbagai kalangan menyangkal hasil penelitian itu karena tidak memiliki parameter yang jelas, fakta memprihatinkan terjadi di alam.
Pada akhir 2018 kabar menyedihkan datang dari perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Seekor paus sperma tewas dengan 5,9 kg plastik di perutnya. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) turut memperkuat fakta jika sampah plastik menjadi ancaman serius di Indonesia yang menghasilkan 64 juta ton sampah plastik per tahun. Dari jumlah itu 3,2 juta ton di antaranya dibuang ke laut.

Terurai 90 hari
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menganggap masalah sampah plastik sebagai ancaman berbahaya. Pasalnya, plastik yang terbuat dari polimer sintetis baru terurai dalam waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Jika dibakar, plastik menghasilkan emisi karbon yang mencemari lingkungan dan mengancam kesehatan. Ancaman itulah yang mendorong pemuda asal Bali, Kevin Kumala, memproduksi bioplastik.
Bioplastik terbuat dari polimer yang mudah terurai secara alami oleh mikroorganisme atau cuaca (kelembapan dan radiasi sinar matahari). Pada 2010 ia bersama rekan-rekannya meriset bahan-bahan alami yang dapat menggantikan plastik dan harganya murah. Kevin lalu mencoba berbagai bahan baku bioplastik, seperti jagung, kedelai, dan singkong. Ia memilih bahan baku singkong setelah melalui berbagai uji coba.

Umbi Manihot esculenta tersedia melimpah dan harganya lebih murah. Ia memproduksi bioplastik dari pati singkong yang dicampur dengan minyak sayur dan bahan-bahan nabati lain. Bioplastik itu terurai di tanah hanya dalam 90 hari.
“Bioplastik yang sudah terurai dapat menjadi pupuk kompos bagi tanaman,” katanya. Uniknya bioplastik itu juga mudah larut jika diaduk dalam air hangat. Dalam lima tahun terakhir, produsen bioplastik bermunculan seiring maraknya isu bahaya plastik bagi lingkungan.
Melimpah
Selain Avani Eco produksi Kevin, ada juga PT Mogallana Plastic yang juga memproduksi kantong bioplastik bermerek Telobag—dalam bahasa Jawa telo bermakna singkong. Produsen yang berlokasi di Serpong, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, itu memproduksi kantong nabati untuk keperluan rumah tangga, institusi komersial, dan industri di dalam negeri dan mancanegara.
Mogallana juga menggunakan pati dari singkong untuk bahan baku bioplastik. Menurut peneliti Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian di Kota Bogor, Jawa Barat, Elmi Kamsiati, pati bahan baku yang paling banyak digunakan untuk menghasilkan bioplastik. Di Indonesia ketersediaan sumber pati cukup melimpah, seperti singkong, sagu, jagung, dan umbi porang.

Dari sejumlah sumber pati di tanah air, sagu dan singkong merupakan sumber pati yang tersedia paling melimpah. Indonesia merupakan negara yang memiliki areal pertanaman sagu terluas di dunia. Luas hutan sagu di Indonesia mencapai 1,25 juta hektare (ha) dan areal semibudidaya 134.000 ha. Namun, singkong lebih banyak dibudidayakan karena perawatannya relatif mudah. Menurut data BPS, produksi singkong nasional pada 2016 mencapai 22,9 juta ton.
Umbi tanaman anggota famili Euphorbiacae itu mengandung karbohidrat cukup tinggi, yakni 34,7—37,9%. Singkong sebagian besar diolah menjadi bahan baku industri tapioka. Tapioka dan limbah berupa kulit singkong juga dapat digunakan sebagai bahan baku bioplastik. Rendemen tapioka ubi kayu berkisar antara 15—25%.
Sederhana
Elmi menuturkan proses produksi bioplastik dari pati juga lebih sederhana dibandingkan dengan bahan baku lain. Pati dapat diolah menjadi bioplastik dalam berbagai bentuk dengan bahan tambahan. Campurkan pati alami, pati tergelatinisasi, pati termoplastis, pati termodifikasi, polimer atau monomer (asam laktat, hidroksi alkanoat), pemlastis atau plasticizer, dan pewarna, melalui proses ekstrusi menggunakan ekstruder pada suhu 100—160°C.
Hasil ekstrusi kemudian dikeringkan dan diolah menjadi pelet atau biji bioplastik. Pelet selanjutnya diolah menjadi berbagai bentuk. Alat yang digunakan tergantung bentuk produk yang dihasilkan. Contohnya untuk menghasilkan kantong bioplastik menggunakan alat yang disebut film blowing. Adapun produk berupa botol plastik biasanya dicetak menggunakan alat yang disebut blow moulding. Ada juga alat bernama extrucsion coating untuk menghasilkan film laminasi untuk kemasan makanan ringan.
Sayangnya jumlah produsen bioplastik masih terbatas karena permintaan di dalam negeri rendah. Itulah sebabnya sebagian besar permintaan bioplastik yang mengalir ke Kevin datang dari luar negeri. “Kami mengekspor bioplastik hingga 26 negara,” tutur Kevin. Sebagian besar masyarakat lebih suka menggunakan kantong plastik konvensional karena harganya lebih murah. “Perlu tingkat kesadaran yang tinggi tentang bahaya plastik agar masyarakat mau beralih menggunakan kantong bioplastik,” tambahnya. (Imam Wiguna)