Trubus.id—Siapa sangka sebagian gula semut organik yang dikonsumsi warga negara Jerman dan Amerika Serikat merupakan produk kreasi Edi Purwanto. Ia memproduksi 20 ton gula semut per bulan. Sekitar 16 ton gula semut organik dari jumlah itu untuk memenuhi permintaan pemasok eksportir.
“Total permintaan pemasok eksportir mencapai 40 ton gula semut organik per bulan,” kata warga Desa Banjarpanepen, Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, itu. Artinya peluang pasar gula semut organik di pasar global cukup prospektif.
Edi sukses mengekspor gula semut organik ke Jerman dan Amerika Serikat sejak 2020. Saat ini ia tengah berupaya menembus pasar Korea Selatan. Pasar mancanegara menerima gula semut organik milik Edi karena tersertifikasi Certification of Environmental Standard (CERES) dari Jerman. CERES merupakan lembaga inspeksi sertifikasi organik yang terakreditasi untuk Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Syarat Ketat
Itulah alasan harga gula semut organik milik Edi untuk pasar ekspor lebih tinggi mencapai Rp27.000 per kilogram (kg). Sementara harga jual gula semut organik untuk pasar lokal Rp23.500 per kg. Secara keseluruhan omzet Edi dari perniagaan gula semut organik sekitar Rp80 juta per bulan.
Bukan perkara mudah bagi pria berumur 33 tahun itu untuk menghasilkan produk berstandar kualitas ekspor. Terutama yang mensyaratkan organik dan tersertifikasi lembaga internasional.
Syarat pengurusan sertifikasi organik dari lembaga internasional tergolong ketat. Yang pasti tidak boleh menggunakan bahan kimia selama pembuatan produk dan perawatan kebun. Limbah kimia seperti baterai juga tidak boleh mencemari kebun.
Pohon yang tumbuh di sekitar kelapa harus dijaga jangan sampai tercemar bahan kimia. Pemupukan harus menggunakan pupuk organik seperti kotoran kambing. “Yang terpenting sumber daya manusianya harus mau dibina,” tutur alumnus SMK Ma’arif NU 1 Sumpiuh itu.
Setiap 3 bulan ada sosialisasi dari lembaga sertifikasi organik kepada para petani. Edi juga harus memenuhi standar kualitas yang ditetapkan para pembeli dari luar negeri. Contoh kadar air tidak boleh lebih dari 0,2%. Warna gula semut juga harus cokelat cerah dan seragam meski hal itu sulit dipenuhi.
Tingkat kehalusan juga harus seragam yaitu mesti lolos saringan mes 18. Gula juga harus bebas bahan pengawet sintetis. Meski tanpa pengawet, gula semut organik yang berkualitas memiliki daya simpan 8—12 bulan dalam kemasan tertutup yang tersimpan di suhu ruang. Alat produksi yang digunakan seperti wajan, sabit, dan ayakan juga harus steril. Edi tak menyangka produk buatannya menembus pasar mancanegara.
Sebelumnya ia berniaga gula cetak yang berharga lebih murah pada 2016. Untuk mendapat pasokan, ia bermitra dengan penderes dan mengolah gula cetak. Ternyata pasar menghendaki gula semut yang lebih menjanjikan karena berharga lebih mahal yakni Rp15.000 per kg pada 2016.
Bandingkan dengan harga gula cetak yang hanya Rp8.000 per kg. Sejak saat itu ia tergugah untuk berinovasi dan berubah haluan memproduksi gula yang menyehatkan itu. Namun, para petani enggan untuk beralih.
Berkolaborasi
Alasannya menghasilkan gula semut relatif rumit dan tak segampang gula cetak. Menurut Edi untuk membuat gula semut memang perlu perlakuan khusus. Tingkat kebersihan selama pembuatan sangat memengaruhi kualitas gula. Contoh penyadapan nira harus bersih dan sabit yang digunakan untuk memotong manggar kelapa harus steril.
“Kalau harganya naik menjadi Rp20.000 per kg pun kami tidak akan membuat gula semut karena ribet,” kata Edi menirukan keluhan para petani.
Akhirnya Edi mengajari sang ayah untuk membuat gula semut. Ia lalu mencari petani yang berpengalaman mengolah gula semut dan mengajari sang ayah. Upaya itu berhasil hingga akhirnya bisa memproduksi dan menjual gula semut sendiri.
Namun pengalaman pahit datang pada 2017. Saat itu ia merugi Rp34 juta karena ditipu pembeli. Gara-gara merugi, sang ibu menyarankan Edi untuk berhenti dan bekerja yang lain saja. Ia bergeming. “Kalau saya berhenti, nanti untuk mengganti kerugian dari mana?” kata pria kelahiran 7 Juni 1990 itu.
Ia justru lebih bersemangat untuk bangkit dan membentuk kelompok tani hutan (KTH) Nira Queen. Saat itu baru bergabung 5 penderes yang bersedia menjadi anggota dan menghasilkan 300 kg gula semut per bulan.
Seiring berjalannya waktu, usaha Edi terus berkembang. Jumlah anggota juga bertambah menjadi 130 anggota. Pada 2020 ia bertemu Dinas Perkebunan Kabupaten Banyumas yang mengabarkan tentang peluang ekspor. Semua prosedur ekspor ia turuti. Salah satunya membuat perusahaan perseroan terbatas (PT).
Edi dan rekan mendirikan perusahaan itu karena syarat ekspor harus dalam bentuk PT, bukan kelompok tani. Oleh sebab itu, ia dan beberapa kelompok tani lain bekerja sama mendirikan perusahaan bernama PT Bangkit Daya Kreasindo (BDK).
Kini perusahaan itu memasok 73 ton gula semut organik per bulan. Dari jumlah itu 40 ton gula semut organik untuk pasar ekspor. Kendala yang saat ini dihadapi KTH Nira Queen yakni produksi menurun 50—60% akibat cuaca ekstrem dan kemarau panjang.
Penyebabnya bunga kelapa tidak menghasilkan nira sehingga petani tak bisa menyadap. Kalau pun nira keluar, jumlahnya berkurang. “Kondisi cuaca yang panas, terus tiba-tiba mendung dan hujan, ternyata memengaruhi produksi nira,” kata ketua KTH Nira Queen itu.
Kontribusi BRI
Keberhasilan KTH Nira Queen memasarkan gula semut organik ke pasar mancanegara tidak terlepas dari peran berbagai pihak. Salah satunya anggota KTH Nira Queen lebih memilih KUR BRI karena plafon yang diberikan cicilannya terjangkau bagi petani. Dengan adanya KUR BRI, usaha para petani makin berkembang.
Banyak petani mulai merenovasi rumah karena usahanya maju. Ada petani yang tadinya berumah kayu menjadi semipermanen. BRI memberikan bantuan bagi KTH Nira Queen peralatan seperti 30 wajan, 40 ayakan, dan 1.000 pongkor nira.
Tambahan sarana itu tentu makin meningkatkan kapasitas produksi dan mutu produk. Keberadaan KUR BRI serta bantuan sarana dan prasarana berkontribusi terhadap pengembangan dan keberlanjutan usaha KTH Nira Queen. (Imam Wiguna/Peliput: Widi Tria Erliana)