Friday, January 24, 2025

Kisruh Bisnis Gula

Rekomendasi
- Advertisement -

Saat dijajah Belanda, industri gula menjadi sektor ekonomi yang penuh inovasi. Jejak peninggalan Belanda itu antara lain pabrik gula milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Jawa yang dikelola PT Perkebunan Nusantara IX-XI dan PT Rajawali Nusantara Indonesia.

Khudori

Pabrik-pabrik gula itu dibangun pada era kolonialisme Belanda abad ke-18. Pada masa itu dengan meningkatkan kualitas produk dan produktivitas perusahaan, konsolidasi perusahaan, mendirikan lembaga riset, dan peningkatan produktivitas kebun, industri gula di Jawa yang semula tidak efisien menjadi terefisien di dunia hingga mengalahkan industri gula Eropa.

Rendemen rendah

Secara ekonomi, industri gula memberikan kemakmuran luar biasa kepada Belanda. Pada 1860—1865, industri gula menopang 56,8% pendapatan nasional Belanda. Bahkan, Hindia Belanda menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia pada 1930. Seabad berlalu, kini Indonesia menjadi importir gula yang amat besar.

Kemerosotan kinerja pabrik gula BUMN karena miskin inovasi, teknologi absolete, berumur tua, dan berkapasitas giling kecil (di bawah 3.000 ton tebu per hari). Kini terdapat 66 pabrik gula, BUMN mengelola 53 pabrik. Dari 53 pabrik gula BUMN itu 68% pabrik tua, berumur di atas 90 tahun dan 80% terdapat di Pulau Jawa. Akibat mesin tua, kinerja pabrik gula BUMN tidak maksimal. Mesin bocor, nira tebu banyak yang tidak terproses menjadi gula. rendemen hanya 6—7%. Itu jauh di bawah pencapaian rendemen pada 1930-an, yakni 11—13%. Selain itu hanya 10% pabrik gula BUMN yang punya lahan sendiri.

Sisanya mengandalkan bahan baku tebu dari petani. Manajemen usaha tani terpisah dari manajemen penggilingan. Keputusan menanam, seperti waktu tanam, varietas, pemupukan, dan pemeliharaan sepenuhnya ada di tangan petani yang jumlahnya banyak, tetapi keterampilan dan kemampuan modalnya beragam. Pabrik gula BUMN sulit mengatur jadwal tebang, angkut, dan giling.

Pabrik gula swasta menguasai lahan, sehingga bisa mengintegrasikan manajemen usaha tani dengan pengolahan. Ia mampu mengatur jadwal tanam, tebang, angkut, dan giling bisa. Rendemen bisa ditaksir lebih tepat. Karena dibangun pada era 1980-an, teknologi pabrik gula swasta jauh lebih baik dan kapasitasnya lebih besar. Ongkos produksi pabrik swasta Rp6.000 per kg, sementara pabrik gula BUMN hampir dua kali lipat.

Aneka masalah itu membuat PG BUMN tidak kompetitif. Di negara-negara produsen dan eksportir gula utama, seperti Brasil, Australia, dan Thailand biaya pokok produksi gula hanya 50—80% dari rerata biaya gula Indonesia. Mereka membudidayakan tebu secara mekanis dan prosesnya semiotomatis di pabrik. Alokasi biaya tenaga kerja relatif kecil. Kapasitas giling pabrik gula rata-rata 10.000—15.000 ton tebu per hari.

Pabrik tidak hanya menghasilkan gula seperti di Indonesia, tapi juga produk turunan lain bernilai ekonomi amat tinggi, seperti etanol, listrik, dan kertas. Tebu sebenarnya merupakan tanaman emas, bisa disulap menjadi puluhan produk turunan yang bernilai tinggi. Di India kontribusi gula terhadap keuntungan perusahaan kurang 40%, sisanya disumbang dari cogen (listrik) dan etanol.

Penyebab kemerosotan kinerja industri gula karena pabrik gula hanya menggiling 4—5 bulan atau 120—150-an hari saat ada bahan baku. Sampai musim giling berikutnya, pabrik gula tidur. Selama itu pabrik gula dirawat dan sesekali diservis oleh segelintir staf dan karyawan. Padahal, pabrik gula bukan cuma dilayani tenaga perawat-operasi pabrik, tetapi juga staf dan karyawan yang jumlahnya lebih banyak.

Mereka menangani pekerjaan nonteknis. Dengan upah natura 34% dari gula hasil olahan tebu, pabrik gula bisa menggaji direksi, staf, dan karyawan selama setahun dan memberi kenyamanan hidup berupa mobil, rumah, dan bonus. Di sisi lain, risiko petani tebu tak tertanggungkan. Tebusiap panen memerlukan 10—14 bulan. Petani menanggung risiko gagal, seperti akibat kemarau, banjir, hama-penyakit, dan anjloknya harga.

Risiko petani

Risiko semacam itu tidak ada di pabrik gula. Apalagi, menurut perhitungan, komposisi biaya dalam industri gula 60—70% ada di kebun (Pakpahan, 2004). Artinya, share petani mencapai 60—70%. Kalau pabrik gula tidak efisien dan merugi, 60—70% inefisiensi dan kerugian itu dipikul petani. Bila harga jual gula anjlok, petani pula yang paling terpukul.

Beleid harga eceran tertinggi (HET) Rp12.500 per kg oleh Kementerian Perdagangan menambah kisruh industri gula karena penetapan harga eceran tertinggi mempengaruhi pembentukan harga lelang gula petani. Berkali-kali lelang dilakukan, gula petani belum laku juga. Jika ada tawaran, harga amat rendah sehingga petani merugi. Perguruan tinggi merekomendasikan, biaya pokok produksi gula pada 2018 Rp10.500 per kg.

Anehnya Kemendag menetapkan harga acuan pembelian Rp9.100 per kg. Setelah petani protes, pemerintah menugaskan Bulog membeli 500.000 ton gula petani Rp9.700 per kg. Bagaimana nalarnya dari ongkos produksi Rp10.500 per kg menjadi Rp9.100 per kg? Penetapan HET membuat daya beli konsumen terjaga. Di sisi lain, HET potensial membuat petani tebu merugi.

Kebijakan itu tentu tak bijaksana. Harga gula dipaksa rendah dengan kerugian besar pihak konsumen. Kemendag beralasan konsumen tidak sepatutnya ikut menanggung inefisiensi pabrik gula BUMN dengan menebus gula dengan harga tinggi. Seperti konsumen, petani juga tidak sepatutnya ikut menanggung inefisiensi pabrik gula BUMN. Kebijakan HET gula yang hanya membela konsumen, tentu tidak bijak.

Pasar gula kini dipenuhi gula sisa tahun 2017, jumlahnya mencapai 1,2 juta ton. Ini cukup untuk kebutuhan konsumsi lebih dari lima bulan. Dalam kondisi demikian, Kemendag mengeluarkan izin 1,1 juta ton impor gula mentah untuk diolah menjadi gula konsumsi. Perkiraan produksi 2018 mencapai 2,2 juta ton dan gula rafinasi yang merembes ke pasar gula konsumsi sebesar 0,5 juta ton, pasar bakal banjir gula konsumsi. Total pasokan mencapai 5 juta ton. Padahal kebutuhan gula konsumsi hanya 2,9 juta ton.

Agar pabrik gula tak jadi usaha terselubung yang memaksa petani untuk menghidupinya, harus dilakukan sejumlah langkah simultan. Pabrik-pabrik gula kecil bisa diamalgamasi atau dikonsoliasi menjadi sebuah pabrik besar, sehingga biaya produksi gula dan produk hilir lain bisa lebih ekonomis. Kedua, tingkatkan produktivitas gula dengan perbaikan varietas tebu dan kultur teknis.

Ketiga, kehilangan gula selama perjalanan dari kebun ke PG ditekan seminimal mungkin. Keempat, kalau memungkinkan menyatukan kembali manajemen di lahan dan giling. Kelima, orientasi produksi sepanjang tahun dan bukan hanya gula, tapi diperluas ke multiusaha secara vertikal dan horizontal dengan mengolah seluruh tebu jadi gula (kristal dan cair), energi, kertas dan produk turunan lain yang bisa mencapai 50 jenis produk. Jika ini dilakukan, tebu dan PG menjanjikan kesejahteraan. ***

*) Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Pasar Butuh Pasokan Buah Alpukat Berkualitas secara Kontinu, Begini Strateginya

Trubus.id–Pasar membutuhkan pasokan buah alpukat berkualitas secara kontinu. Menurut Agus Riyadi kebutuhan pasar alpukat selalu ada. Namun, kadang terkendala...
- Advertisement -

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img