Trubus.id–Kopi menjadi salah satu komoditas pertanian yang menjanjikan. Produk kopi lokal, berhasil menarik minat pasar global dengan kualitasnya yang khas dan cita rasa yang unik.
Wildan Mustofa, S.P., M.M. misalnya, mengekspor 10—12 kontainer (1 kontainer sekitar 19,2 ton) green beans kopi arabika ke Amerika Serikat, Arab Saudi, dan Jepang pada 2024.
Beberapa negara di Eropa pun menjadi tujuan ekspor Wildan. Jumlah itu hasil panen selama satu musim yakni pada Mei—Agustus.
“Harga green beans untuk ekspor US$7— US$12 per kg,” ujar Wildan saat diwawancarai November 2024.
Kapasitas ekspor Wildan itu juga meningkat dibandingkan dengan 2020 yang hanya 7—8 kontainer.
“Namun permintaan masih belum terpenuhi semua,” ujar produsen kopi di Desa Pangalengan, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, itu.
Ia memproduksi kopi khas (specialty). Pasokan berasal dari lahan milik Wildan dan petani yang tersebar di Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Sumedang, dan Garut—semua di Provinsi Jawa Barat. Total luas lahan sekitar 200 hektare (ha).
Menurut Wildan harga arabika naik sejak 2021. Musababnya kebun di Brazil sebagai produsen kopi arabika terserang penyakit sehingga gagal panen dan mengharuskan melakukan pemangkasan.
Pada 2023 rata-rata Wildan membeli kopi ceri di tingkat petani dengan harga 10—20% lebih tinggi, hampir Rp16.000 per kg.
Harga kopi
Hasil pangkas di Brazil itu mulai panen raya pada 2024 sehingga harga arabika turun sedikit.
“Sekarang harga kopi ceri hampir Rp15.000 per kg di tingkat petani,” kata Wildan.
Menurut Wildan kopi robusta pun mengalami kenaikan harga pada 2024. Berdasarkan International Coffee Organization harga rata-rata kopi robusta pada Oktober 2024 mencapai US$221.91 cents/lb. Bandingkan dengan harga pada Desember 2023 yang mencapai US$ 135.09 cents/lb.
Salah satu faktor harga tinggi karena negara pemasok robusta seperti Vietnam dilanda kekeringan sehingga produksi menurun. Sejatinya pasar kopi robusta juga terbuka lebar sebagaimana ulasan Majalah Trubus pada Februari 2023.
Edisi ke-639 itu mengupas tuntas peningkatan kualitas robusta di berbagai daerah. Banyak pihak yang melakukan aksi perbaikan mutu. Keruan saja kualitas kopi robusta pun meningkat.
Petani menerima harga lebih tinggi dengan selisih Rp10.000—Rp20.000 per kg dibandingkan dengan harga sebelumnya. Kopi para petani itu mengisi kafe yang kian menjamur.
Menurut Q grader atau penilai mutu kopi di Jakarta, Daroe Handojo, salah satu kendala berbisnis kopi yakni produktivitas. Rata-rata panen kopi di Indonesia yang rendah yakni hanya 700—1.000 kg per ha per musim.
Jumlah itu jauh lebih sedikit dibandingkan dengan produktivitas kopi Vietnam yang mencapai 2.500—3.000 kg per ha per musim.
Perbaikan kebun dan sumber daya menjadi salah satu cara Wildan meningkatkan produktivitas kopi melalui penggunaan bahan organik, mempertahankan top soil, dan konservasi curah hujan.
Cara lainnya yaitu menciptakan ekosistem naungan produktif, pemangkasan, populasi tanaman padat, dan kesesuaian varietas. Semua itu dilakukan agar kebun beradaptasi dengan perubahan iklim (climate change resilience).
Untuk sektor hilirisasi, menurut Wildan, kualitas kopi robusta kita makin setara dengan kopi robusta dunia. Hal itu terbukti dengan kopi-kopi asal Indonesia yang kerap meraih juara.
Majalah Trubus edisi Januari 2019 pun mengulas kualitas kopi jempolan berkat strategi para pekebun pada sektor hulu, hilir, dan pascapanen.
Menyeruput secangkir kopi kini bagian dari gaya hidup masyarakat perkotaan. Banyak peluang di bisnis kopi sejak di kebun hingga kafe. Dengan modal hemat pun kita bisa menerjuni bisnis itu.
Majalah Trubus edisi November 2017 mengulas topik di berbagai wilayah yang semula bukan merupakan pusat keramaian, berdiri kafe-kafe yang menjajakan aneka minuman berbahan kopi.
Para pemuda menanamkan modal yang terbilang hemat untuk memulai bisnis kopi, kisaran belasan juta rupiah. Upaya pembukaan kafe itu turut membuka peluang bagi pelaku wirausaha kopi untuk memperoleh nilai tambah di semua segmen.