Minyak kepayang menyehatkan dan bisa menjadi bahan kosmetik. Beberapa negara mulai mengincar.

Trubus — Pegawai Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Dien Novita, S.Hut, gandrung minyak angin berbahan minyak kepayang sejak 6 bulan terakhir. Ia membawa minyak yang diracik dengan ekstrak sereh sebagai pemberi aroma dalam botol 10 ml itu ke mana pun bertugas. Kemasan botol dengan pengoles bergulir (rollon) membuat pemakaiannya praktis tanpa khawatir tumpah. Setiap hari perempuan 43 tahun itu berkali-kali mengoleskan minyak kepayang ke kening atau tengkuknya.

Dien lebih menyukai minyak angin kepayang ketimbang produk komersial di pasaran karena, “Ketika hangatnya habis, kulit tidak terasa dingin seperti produk lain.” Minyak itu produksi Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (UPTD KPHP) Limau Unit VII-Hulu, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Sejak mengetahui keberadaan minyak itu, Dien membeli 6—7 botol. Selain untuk konsumsi anggota keluarga, minyak itu juga sebagai cendera mata bagi relasi atau kerabat yang berkunjung.
Minyak sehat
Minyak angin kepayang andalan Dien Novita itu sejatinya turunan dari minyak biji kepayang. KPHP Limau Unit VII-Hulu mendampingi masyarakat memproduksi minyak itu sejak 2013. Menurut Kepala UPTD KPHP Limau, Misriadi, S.P., M.Sc, sejak dahulu masyarakat yang tinggal di daerah aliran sungai Batangasai menggunakan minyak kepayang untuk minyak goreng. Mereka turun- temurun menggunakan minyak itu sampai akhirnya digantikan oleh minyak sawit. Sejak itu popularitas minyak kepayang makin surut.
“Ketika kami mulai mendampingi masyarakat, mereka tidak lagi rutin mengolah. Yang melakukan pun hanya beberapa kepala keluarga,” kata Misriadi. Pria berusia 40 tahun itu sadar, tanpa upaya pelestarian budaya mengolah kepayang bisa punah. Padahal hanya masyarakat Indonesia yang punya budaya mengolah kepayang menjadi minyak. Kebanyakan tidak lagi melakukannya. Menggandeng akademisi dari Universitas Jambi, ia berusaha menggali kelebihan minyak dari buah Pangium edule itu.
Misriadi mendapati fakta bahwa kandungan omega-3 dan asam dokosa heksaenoat (DHA) minyak kepayang lebih tinggi ketimbang minyak zaitun. Artinya, “Minyak kepayang mestinya tergolong minyak untuk kesehatan, bukan sekadar minyak goreng,” katanya. Sejak itulah ia getol memperkenalkan minyak kepayang melalui berbagai forum. Misriadi bahkan membuat akun dengan namanya sendiri di salah satu aplikasi market place untuk menjual minyak kepayang.
Ia juga mengajak masyarakat di tepi sungai untuk kembali menekuni pembuatan minyak kepayang. Upaya itu kini menampakkan hasil. Produksi minyak kepayang melibatkan 628 kepala keluarga (KK) dan 7 personil KPHP. “Mereka membentuk kelompok pengolah kepayang yang disingkat KPK,” kata Misriadi. Sekitar 60% anggota KPK adalah perempuan. Para pria mengumpulkan buah, sedangkan proses sampai mendapatkan minyak menjadi tugas perempuan.

kepayang.
Menurut Kepala Seksi Perlindungan, Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem, dan Pemberdayaan Masyarakat KPHP Limau, S.L. Suzanto, S.Hut, masyarakat kini menanam bibit asal biji di pekarangan atau lahan dekat mereka. Itu sebabnya jarak rumah tinggal ke pohon bervariasi 10 m—10 km. Menurut Suzanto pohon keluwak—sebutan kepayang di Jawa—memerlukan lahan yang cukup air tapi tidak tergenang. Itu menjelaskan mengapa pohon itu banyak tumbuh di tepi sungai.
“Hasil survei, ada 3.160 pohon produktif dan 5.000 pohon muda serta bibit,” kata Zanto—panggilan Suzanto. Lantaran perawatan nyaris nihil, pohon magori—berbuah pertama kali—berumur 10—15 tahun. Beberapa pohon bahkan tidak berbuah sama sekali. Buah matang 6—7 bulan sejak fruitset atau pembentukan buah dari bunga. Panen raya pada November—Desember, tapi, “Ada panen sela 2 kali setahun sehingga setahun 3 kali panen,” kata Zanto. Potensi total mencapai 870 ton buah kepayang per tahun, setara 261 ton kernel.
Sianida
Masyarakat mengumpulkan buah jatuh lalu menghamparkan 2—7 hari agar daging buah busuk dengan sendirinya dan hanya menyisakan biji (lihat boks “Pungut Buah Panen Minyak”). Kernel (inti biji) terlindung tempurung keras serupa tempurung kelapa atau cangkang sawit, yang membuat biji harus direbus selama minimal 2 jam. “Angkatan pertama memerlukan pemanasan 3—4 jam karena mulainya dari air dingin. Pada angkatan berikutnya pemanasannya cukup sejam sudah bisa diangkat,” kata Zanto.

M.Sc.
Selama perebusan, air menguap sehingga pekerja harus terus-menerus menambahkan air. Pencongkelan sekaligus menyingkirkan kernel rusak yang berbau. Jika terbawa dalam proses, kernel rusak itu bisa merusak keseluruhan minyak. Setelah dicongkel dari cangkang, kernel direndam 48 jam di air mengalir. “Tiap 12 jam dibalik agar sianida terbilas sempurna,” kata Zanto. Kandungan sianida (HCN) dalam biji kepayang itulah yang menjadi muasal istilah mabuk kepayang.
Pencincangan kernel menjadi sebesar beras tujuan utamanya mempercepat pengeringan ketika penjemuran, selain mempermudah penepungan. “Kalau sehari tidak kering, masukkan rumah tapi jangan dibungkus karung agar tidak ditumbuhi cendawan,” kata Zanto. Setelah kering sempurna, kernel dilumat menjadi tepung lalu dikukus. Menurut Suzanto pengukusan untuk membuka pori-pori kernel sehingga minyak mudah keluar. Pascapengempaan, minyak disaring lalu diendapkan 24 jam baru dikemas.
Rendemen buah menjadi kernel 30%, sedangkan kernel menjadi minyak 10%. Kasarnya 100 kg buah menghasilkan 30 kg kernel, yang setelah diproses menjadi 3 kg minyak. Artinya pembuatan sekilogram minyak memerlukan minimal 34 kg buah. Potensi 261 ton kernel bisa menghasilkan 7,83 ton minyak. Dengan harga Rp50.000 per kg, peluang mendulang pemasukan Rp391,5 juta per tahun. Masalahnya proses pembuatan minyak kepayang makan waktu minimal 5 hari dan melibatkan banyak orang.

“Kalau dihadapkan dengan minyak sawit sebagai minyak goreng jelas tidak layak,” kata Misriadi. Namun, beberapa negara melirik pemanfaatan minyak dari pohon anggota famili Achariaceae itu. Misriadi mengatakan, mereka pernah mengirim ke Inggris. Namun, saat ini KPHP Limau fokus untuk menjual di pasar lokal dulu. Maklum, untuk ekspor mereka bakal keteteran karena produksinya berbasis masyarakat dengan sistem padat karya. (Argohartono Arie Raharjo)