
Lahan di bawah tegakan jati, kayu putih, atau kelapa sawit yang selama ini menganggur potensial untuk budidaya kedelai.

Trubus —Ratusan jati Tectona grandis berbaris rapi. Umur pohon anggota famili Verbenaceae itu bervariasi mulai 1—2 tahun, ada pula yang 12 tahun. “Ada satu blok yang 12 tahun tetapi kerapatannya sangat jarang,” ujar Ir Suhartina, MP, pemulia kedelai dari Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi). Di bawah tegakan jati itulah tumbuh kedelai. Selama ini budidaya kedelai lazimnya di lahan terbuka, tanpa naungan.
Suhartina dan periset lain dari Balitkabi menggunakan varietas kedelai toleran naungan seperti varietas dena 1 yang toleran naungan hingga 50%. Kementerian Pertanian melepas dena 1 pada 2014 dengan rata-rata hasil 1,68 ton per hektare dan umur masak 78 hari setelah tanam. Selain dena 1, peneliti ekofisiologi dari Balitkabi, Ir. Abdullah Taufiq, MP dan Suhartina juga menggunakan varietas unggul lain, seperti anjasmoro, argomulyo, dan dega 1.
Toleran naungan
Budidaya kedelai di bawah naungan itu bukan 1—2 hektare, tetapi 41 hektare di Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah. Para periset menyebut inovasi itu budena alias budidaya kedelai di bawah naungan. Penanaman jati berjarak 3 m x 3 m, sementara jarak tanam kedelai baris tunggal 40 cm x 15 cm. Para peneliti juga menanam kedelai berbaris ganda, 50 cm x (30 cm x 20 cm).

Mereka mencampur benih dengan pupuk hayati yang mengandung rhizobium berkonsentrasi 20 g per 10 kg benih. Kebutuhan pupuk organik atau pupuk kandang per hektare mencapai 1 ton, sementara pupuk Phonska 250 kg dan SP36 100 kg per hektare. Proses budidaya selama 3 bulan, menghasilkan produktivitas yang beragam. Taufiq menuturkan, produktivitas tertinggi dega 1 mencapai 1,59 ton per hektare pada jarak tanam baris ganda dan 1,48 ton per hektare pada jarak tanam baris tunggal.
Namun, produktivitas itu masih 41—45% dari potensi hasil yang mencapai 2,9 ton per hektare. “Penurunan produksi kedelai di bawah naungan memang signifikan. Apalagi naungannya cukup rapat,” ujar alumnus jurusan ilmu tanah Universitas Gadjah Mada itu. Produktivitas itu jauh melampaui varietas lokal yang hanya 0,75 ton per hektare pada jarak tanam baris tunggal.

Balitkabi. (Dok. Balitkabi)
Uniknya, dega 1 mampu mengalahkan dena 1 yang sejatinya lebih toleran naungan. “Dega 1 lebih lama waktu pengisian polongnya, memiliki ukuran biji lebih besar, dan lebih cepat panen dibandingkan dengan dena 1. Keunggulan itu yang membuat produktivitas Dega 1 lebih tinggi dibandingkan dengan dena 1 meski dibudidayakan di bawah naungan,” ujar Taufiq. Hasil pengukuran intensitas cahaya yang masuk ke dalam hutan jati itu hanya 104—35 lux.
Bandingkan dengan jika tanpa naungan 869—1325 lux. Artinya tingkat naungan di bawah hutan jati itu mencapai 72,5—82,4%. Angka tingkat naungan itu tergolong tinggi untuk budidaya kedelai. Untuk mengatasi halangan utama berupa naungan itu, Suhartina dan rekan merompes atau memangkas cabang dan daun jati bagian bawah sebelum tanam kedelai. Tujuannya agar intensitas cahaya yang masuk ke tanaman kedelai lebih besar. Hal itu meningkatkan proses fotosintesis yang membutuhkan sinar matahari. Pertumbuhan dan produksi kedelai pun juga akan lebih baik.
Potensi besar

Hasil hitung-hitungan Suhartina dan Abdullah Taufiq, biaya produksi budena jati Rp3,8 juta per hektare. Biaya itu di antaranya untuk pengadaan benih, pupuk, pestisida, dan herbisida. Sementara biaya tenaga kerja mencapai Rp3,7 juta rupiah, sehingga total biaya produksi mencapai Rp7,574 juta. Harga jual Rp7.000 per kg. Jika membudidayakan variets Dega 1 berbaris ganda, total omzet mencapai Rp 11,1 juta. Adapun total biaya produksi Rp7,574 juta, sehingga laba bersih Rp3,5 juta per hektare.
Selama ini lahan di sela-sela tanaman tahunan seperti jati dan kayu putih “menganggur”. Padahal, potensi lahan di bawah naungan cukup besar. Sekadar menyebut contoh di tiga Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) di Jawa Timur, yakni Banyuwangi Selatan (1.440 hektare), Padangan (650 ha), dan Ngawi (413 ha). Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Gendongan (1.030 ha) juga potensial untuk produksi benih kedelai. (Bondan Setyawan)