Pantas pekebun anggrek memilih pupuk daun. Akar anggota keluarga Orchidaceae itu menyukai media berongga seperti arang, moss, dan pakis. “Kalau pupuk ditabur, bisa lolos,” kata Yos. Dahulu kala—sebelum era 60-an— pekebun anggrek mengakali kesulitan itu. Pupuk dibungkus kain strimin agar tidak terbuang. Hara yang terkandung terserap tanaman sedikit demi sedikit. Sayang, cara itu tidak efektif. Pekebun tak tahu pasti kapan nutrisi diserap tanaman.
Menurut Ayub S Parnata—produsen di Bandung—, pupuk daun dikenal luas sejak awal 60-an. Ketika itu majalah anggrek Amerika, American Orchid Society mempublikasikan sebuah terobosan baru: jalan tembus hara tanaman. “Sejak itu ia populer di kalangan penganggrek,” kata Ayub. Sayang, bahan pupuk—terutama unsur mikro—yang beredar masih diimpor sehingga terbilang langka.
Baru pada 80-an banyak produsen di Indonesia melirik pupuk daun. Sebut saja merek dagang Bayfolan dan Hyponex. Kedua pupuk daun itu diklaim cocok untuk beragam komoditas, mulai tanaman hias, sayuran, pangan, dan buah. Namun, tetap saja pupuk daun hanya populer di dunia anggrek. Pasalnya, pupuk daun tak ekonomis diterapkan p a d a p e r t a n i a n pangan dan sayuran. Pun buah, ketika itu jarang yang berkebun tanaman buah.
Mulai tren
Begitulah gambaran pupuk daun di masyarakat pada masa lalu. Kini setelah buah marak dikebunkan, foliar fertilizer—sebutan pupuk daun—juga digunakan pada buah. Bernard Sadhani, pekebun durian di Cianjur, Jawa Barat, misalnya. Ia menyemprotkan pupuk daun pada bibit durian sejak 1990. Alasannya sederhana, pupuk daun kaya hara mikro. “Sosok tanaman jadi lebih kuat,” katanya. Setelah pohon Durio zibethinus besar, penyemprotan setahun 2 kali menjelang masa berbunga.
Pun Eddy Loekito, pemilik Golden Image di Kedoya Raya, Jakarta Barat. Sejak setahun silam ia menyemprot pupuk daun pada beragam tabulampot. Frekuensinya 7—10 hari sekali sesuai dosis yang tertera di label kemasan. Pada masa pertumbuhan vegetatif ia memilih pupuk daun berkadar nitrogen tinggi. Menjelang berbuah ganti dengan yang mengandung fosfor dan kalium tinggi. Pupuk disemprotkan ke seluruh bagian tanaman, sisanya disiram ke media (baca Trubus Desember 2004, Bypass Hara ala Kedoya Raya, hal 49). Hal serupa dilakukan oleh Mulyono, pekebun lengkeng di Singkawang, Kalimantan Barat.
Tak hanya pekebun buah, pekebun sayuran juga mulai menggunakan pupuk daun. Sebut saja Carba, pekebun sayuran di Kelapagading, Jakarta Utara. Pada Januari 2004 ia tertarik menggunakan pupuk daun. Hasilnya, luar biasa. Ia memanen 50—60 kg sawi keriting per bedengan berukuran 10 m2 atau setara 50—60 ton per ha. Sebelumnya hanya 30 kg per bedengan. Ayah 3 anak itu kian untung lantaran masa panen pendek, hanya 3 minggu. Sebelumnya, 1 bulan.
Pengetahuan baru
Maraknya pupuk daun di kalangan pekebun—di luar penganggrek—dipicu oleh pengetahuan masyarakat yang kian berkembang. Harap mafhum, dulu ada anggapan pupuk daun diserap melalui stomata alias mulut daun yang terletak di bagian bawah daun. Akibatnya pengguna kesulitan menyemprot pupuk agar mengenai stomata. “Masa nyemprotnya harus membungkuk. Pekebun jadi enggan pakai,” kata Ayub.
Te r n y a t a i t u s e m u a k e l i r u . “Stomata hanya bisa dilalui gas, seperti karbondioksida untuk fotosintesis,” kata Yos Sutiyoso. Pupuk daun diserap tanaman melalui permukaan daun (sel epidermis dan kutikula, red). Ia dapat dilewati air dan pupuk lantaran sel-sel itu tersusun seperti tenunan. Pengetahuan baru itulah yang mendorong penggunaan pupuk daun lebih marak.
Pada akhirnya, penggunaan pupuk daun kian berkembang dan beragam. Ada yang menggunakan pupuk daun tanpa campuran apa pun. Eddy Loekito, pekebun buah, dan Ferdinand, hobiis cattleya, mencampurkan zat perangsang tumbuh seperti Novelgro dan Rootone-F agar tanaman kian terpacu. “Pertumbuhankian genjah dan perakaran banyak,” kata Ferdinand.
Mulyono dan Carba, lebih modern lagi. Mereka menambahkan perata pada larutan pupuk daun dan hormon agar penyerapan pupuk lebih efektif karena larutan jatuh merata. Untuk menghemat biaya, terkadang para pekebun memberikan pupuk daun bersamaan dengan pestisida. “Biar sekalian, sekali kerja 2 tujuan terpenuhi,” kata Carba.
Bermunculan
Menurut Ir Herman Suriato, direktur PT Novelvar, pupuk daun memang tren di kalangan pekebun. Produsen Novelgro— hormon pemacu tumbuh—itu berniat meluncurkan pupuk daun pertengahan tahun ini. Penelitian Herman berlangsung di Cisarua, Bogor. “Kami tahu dari para pelanggan. Mereka bingung pilih pupuk daun karena banyak merek beredar,” katanya. Lantaran itu Herman memilih pupuk daun kemurnian tinggi sebagai jawaban.
PT Petrokimia Kayaku, di Gresik, Jawa Timur, meneliti kebiasaan pekebun dalam menggunakan pupuk daun, “Biasanya dicampur pestisida. Itu akan menjadi masalah bila keduanya saling melemahkan,” kata Edy Santoso, manajer pemasaran. Itulah sebabnya, Petrokimia melepas pupuk daun Petrovita yang bersifat netral. Ia dapat dicampur dengan pestisida merek apa pun.
Itulah 2 contoh pupuk daun yang dipasarkan dalam bentuk cair. Namun, saat Trubus menelusuri ke berbagai penyedia alat pertanian, ternyata ada juga pupuk daun yang dikemas dalam bentuk kristal seperti Growmore dan Gaviota yang mudah larut dalam air. Menurut Halili, dari Growmore Research Farm, bentuk kristal dipilih agar pemasar dan pekebun tak susah payah dalam pengangkutan.
Tak hanya itu, berbagai pupuk daun organik pun mulai bermunculan sejak awal 2000-an. Itu ditengarai akibat pertanian organik yang makin marak di berbagai daerah. Toh, kimia atau pun organik bukan masalah. Dibenak mereka kini muncul pemahaman sama. Serapan pupuk daun jauh lebih besar, aplikasinya juga mudah. Ia layak melengkapi kekurangan hara tanaman yang tak mampu dilakukan lewat media. (Destika Cahyana/Peliput: Laksita Wijayanti dan Nyuwan SB)