
daerah pesisir. (Dok. Trubus)
Beragam kopi tumbuh di pesisir dan produktif di ketinggian muka laut.
Trubus — Buah-buah berwarna merah ranum memenuhi cabang-cabang pohon kopi di pekarangan Yuri Dulloh seluas 5.000 m2. Di lahan itu tumbuh ratusan pohon kopi dengan umur bervariasi. Empat jenis pohon kopi tumbuh di sana, yaitu robusta, arabika, liberika, dan ekselsa (Coffea liberica var. dewevrei). Di bawah naungan pohon kelapa, pepaya, atau sengon, semua pohon anggota famili Rubiaceae itu berdaun lebat dan rajin berbuah.

Pohon-pohon itu bukan tumbuh di lereng gunung berhawa sejuk, melainkan daerah pantai. Kediaman Yuri di Desa Pucangan, Kecamatan Ambal, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, itu hanya 3 km dari bibir pantai selatan Pulau Jawa. Pohon kopi itu melawan kelaziman yang menyatakan bahwa kopi lebih cocok tumbuh di ketinggian 400—1.200 m di atas permukaan laut.
Bagi bibit gratis
Ketinggian kurang dari 50 m dpl dan dekat pantai menghasilkan buah kopi bercita rasa kuat, tegas, dan tajam. “Rasa kopi robusta lebih kuat, sedangkan rasa asam arabika dan liberika lebih tegas,” kata ayah 1 anak itu. Meski demikian, jangan pandang sebelah mata kopi asal pesisir selatan Jawa itu. Menurut Yuri pengujian oleh tim dari salah satu perguruan tinggi ternama menghasilkan nilai lebih dari 80 untuk jenis robusta. Sementara jenis arabika dan liberika belum pernah diuji. Yang jelas, “Semua rasanya berbeda dengan kopi dari dataran menengah atau tinggi,” kata pemilik Yuam Coffee itu. Yuri membuktikan bahwa kopi sejatinya adaptif dan mampu berproduksi di dataran rendah.
Bahkan kopi arabika, yang anjuran penanamannya di ketinggian 900—1.500 m dpl, berbuah lebat di kebun Yuri. Robusta sejak lama ditanam di Kebumen. Mengutip keterangan generasi terdahulu, Yuri menyatakan bahwa Kabupaten Kebumen salah satu sentra kopi masa kolonial. Saat cengkih populer pada awal dekade 1980, masyarakat banyak yang mengganti pohon kopi mereka dengan cengkih. Pada 2009 Yuri menanam kopi di pekarangan. Ia melirik kopi lantaran saat itu kopi mulai ramai.

Apalagi secara historis sebagian masyarakat Kebumen sejatinya pernah menanam kopi. Upaya itu memancing tanggapan miring beberapa kalangan. “Kebanyakan menganggap saya orang aneh karena menanam kopi di dekat pantai,” ujar pria 40 tahun itu. Begitu pohon kopi di pekarangannya berbuah, tetangga mulai penasaran. Setelah menyesap rasa khas kopi pantai itu, Yuri makin yakin bahwa kopi bisa dikembangkan di sana. Ia lantas mengajak warga sekitar untuk ikut menanam.
Tentu saja tidak semua tertarik. Namun, Yuri bergeming. Ia membagikan bibit kopi secara gratis kepada pekebun yang ingin menanam kopi. Ia membeli buah kopi hasil panen pekebun sekitarnya dengan harga lebih tinggi ketimbang pasaran. “Ceri (buah kopi utuh, red.) robusta saja saya beli dengan harga Rp10.000 per kg,” kata alumnus Diploma 2 Perhotelan, Akademi Sektretari dan Manajemen Desanta, Yogyakarta itu. Pengepul dari kota lain paling banter membayar Rp7.000—Rp8.000 per kg.
Festival Moskow

Berkat kengototan Yuri, kini sekitar 100.000 pohon kopi tertanam di 8 kecamatan di Kebumen. Separuh dari jumlah itu robusta, lainnya liberika (30%) dan arabika (20%). Meski produksi tahunan di sana belum genap 10 ton biji kering, kopi pesisir itu memikat banyak peminat. Selain disajikan di warung kopi Yuam Coffee miliknya, Yuri kerap mengirim ke pembeli di berbagai daerah di seluruh tanah air. “Saya tidak ingin langsung menjual banyak agar kualitas terjaga,” kata Yuri.
Rendahnya produksi dibandingkan dengan jumlah pohon itu lantaran belum semua pekebun sadar pentingnya perawatan. “Pohon kopi mutlak memerlukan pemangkasan, pemupukan, dan penyiangan agar produksi optimal,” kata anggota staf Bidang Perkebunan, Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan (Distanhorbun) Kabupaten Bogor, Reza Septian, S.P.
Menurut kepala Bidang Perkebunan Kabupaten Aceh Tengah, Ir. Sulwan, kopi memang bisa tumbuh dan berproduksi di dataran rendah. Syaratnya, ada pohon peneduh yang tepat. Peneduh harus mampu menahan intensitas sinar matahari sehingga tidak langsung menerpa daun kopi. Sulwan mengingatkan, di dataran rendah risiko penggerek buah kopi (PBKo) lebih tinggi karena siklus serangga itu lebih cepat di suhu hangat.

Pada Mei 2018, Yuri memperkenalkan kopi pesisir itu kepada khalayak di kota Moskow, Rusia dalam acara Festival Indonesia. “Tanggapan mereka luar biasa. Banyak sekali yang penasaran setelah mencicipi,” kata anak kedua dari 4 bersaudara itu.Yuri mengolah hasil panen secara natural, wine, honey, dan fullwash. Sebagian pengolahan kering seperti cara natural terpaksa dilakukan karena keterbatasan pasokan air.
Kegigihannya menanam kopi di Kebumen membuat ia diganjar penghargaan Kalpataru bidang Perintis Lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Agustus 2018. (Argohartono Arie Raharjo)