Trubus.id— Kalau saja kepercayaan nenek moyang masih dipegang, mungkin tak akan pernah ada kasus pencurian jati. Dahulu jati dianggap pohon keramat yang tak boleh sembarang ditebang.
Di negeri asalnya India, jati juga memiliki arti penting dalam totemisme (kegiatan pemujaan terhadap tumbuhan atau hewan yang disucikan) umat Hindu. Masyarakat Hindu pemuja Wishnu menghormati jati sebagai pohon suci tempat bersemayam para arwah leluhur sebelum bereinkarnasi.
Mereka juga yakin, setelah mati jiwa akan pindah ke pohon jati. Oleh karena itu jika di suatu tempat tidak terdapat jati, maka akan dilakukan penanaman. Makin banyak jati ditanam, makin baik bagi diri seseorang dan anak cucunya. Sebab semakin banyak tempat bagi arwah mereka dan anak cucu kelak sebelum reinkarnasi.
Masuknya jati ke Indonesia juga diduga karena alasan religius itu. Pada waktu itu orang Hindu tidak memperdagangkan hasil hutan melainkan emas, perak, cula badak, dan gading. Diperkirakan jati telah dirantaukan ke Jawa sejak 640 Masehi atas perintah Raja Kalinga (Jepara).
Raja Kalinga yang menganut agama Hindu itu tak menemukan jati di wilayah kekuasaannya. Karena itulah dia meminta didatangkan benih jati dari India untuk ditanam di Jawa. Benih jati diambil dari daerah di sekitar Sungai Godawari, India yang diyakini sebagai daerah jati murni.
Sebagai benda keramat, ia pun diperlakukan sangat hati-hati dalam pengiriman. Benih dikemas dalam tabung bambu dan dibawa berlayar di bawah kawalan para biksu. Setiba di Jawa benih disemai dan ditanam di berbagai tempat.
Umat Wishnu pun menganggap menebang jati sebagai perbuatan dosa. Karena itu tidak semua orang mau melakukannya. Hanya orang-orang yang terlanjur berdosa atau tidak takut dosalah yang berani menebang.
Pada zaman kejayaan Majapahit, hanya orang Kalang yang berani melakukannya. Kedudukan orang Kalang memang disamakan dengan kasta paling rendah dalam masyarakat Hindu. Karena faktor kepercayaan, umat Hindu hingga kini dikenal sebagai satu-satunya bangsa di dunia yang pernah melakukan reboisasi jati besar-besaran dan membangun hutan bernilai tinggi.
Di Jawa misalnya, diduga sekitar 1,5-juta ha hutan jati dibangun umat Hindu kuno sebelum dirusak atau dieksploitasi bangsa Barat di masa penjajahan. Umat Budha di India yang notabene merupakan orang-orang kerajaan dan orang terkemuka juga menganggap tanaman ini sebagai pohon suci yang bernyawa . Meskipun kedudukannya masih di bawah pohon bodi (Ficus kurzii). Orang yang menebangnya dipandang berdosa besar. Orang yang bisa menebangnya hanyalah dari bangsa Kandala dan Sopaka.
Dalam kedudukan umat Budha di India mereka dianggap sebagai orang buangan, sama seperti orang Kalang di Jawa. Umat Budha di Sri Lanka juga menganggap jati sebagai makhluk bernyawa yang melindungi kehidupan manusia dari berbagai gangguan. Tak heran jika hingga saat ini umat Budha di sana tetap memelihara hutan jati sebagai pelindung.