Mantan wartawan itu segera mengemas sepasang kenari holland umur 8 bulan ke dalam wadah seukuran kotak sepatu. Setelah ditambah apel dan daun selada ia segera menuju ke biro perjalanan di Yogyakarta.
Rutinitas itulah yang kini mewarnai keseharian Ridlo, asisten presiden direktur Lembaga Pendidikan Primagama. Dalam seminggu 5—10 permintaan kenari umur 7—9 bulan atau piyik umur 1 bulan datang bergantian. Pemesan dari berbagai kota, seperti Kupang, Kendari, Jambi, Banjarmasin, Pekalongan, Jakarta, dan Malang. Itu belum termasuk konsumen yang datang langsung ke Pogung Lor, Yogyakarta, tempat tinggal Ridlo.
Total dalam sebulan 125—150 kenari dewasa, piyik atau siap kontes terserap pasar. Harga berkisar Rp100.000—Rp1,5-juta per ekor, tergantung kualitas dan umur burung. Alhasil pundi pundi lelaki kelahiran Purworejo 24 April 1972 itu kian menebal. Perniagaan kenari yang dijalaninya juga membawa berkah. Saat mengajukan kredit pemilikan rumah, sebuah bank menolaknya. Gaji yang diterima Ridlo dianggap kurang memadai. “Tapi ketika istri menyodorkan pembukuan jual beli kenari tok…, kredit langsung disetujui,” ujar alumnus Universitas Gadjah Mada itu.
Dipicu kontes
K i c a u a n kenari memang makin nyaring 2 tahun belakangan ini. Terutama sejak munculnya kontes khusus kenari yang diprakarsai oleh Paguyuban Penggemar Burung Kenari Yogyakarta (Papburi), awal 2004. Kontes ini tergolong unik. Sistem penilaian dan teknik lomba berbeda dengan lomba burung berkicau lain. Penonton dan pemilik dilarang menyoraki jagoannya.
Hampir setiap bulan hobiis kenari di seputar Jawa Tengah dimanjakan oleh kontes sistem baru itu. Sekali kontes peserta membeludak hingga 100 ekor. “Sebelum 2004 hanya 20—30 ekor,” ujar Dr drh Edi Boedi Santoso, ketua Papburi. Itu masih ditambah kontes skala kecil setiap pekan.
Ramainya lomba mendongkrak harga jual dan permintaan. Hobiis mengincar piyik karena bisa dimaster atau diganti dengan suara burung pilihan. Sebelum 2003, di Pasar Ngasem, Yogyakarta, harga bakalan kenari hanya Rp25.000—Rp35.000 per ekor. Sekarang meningkat 4 kali lipat. Oleh Ridlo piyik F1 (istilah untuk hasil persilangan jantan yorkshire dan betina holland, red) umur 25 hari paling rendah Rp350.000 per ekor. Jenis lokal seperti anakan holland lebih murah, antara Rp100.000—Rp150.000. Harga kenari jawara melambung, minimal Rp1,25-juta
Kenari dewasa siap kawin, umur 9—12 bulan dihargai lebih tinggi, Rp600.000— Rp900.000. Ridlo termasuk orang yang kecipratan berkah dari kenari. Bahkan karena permintaan yang terus mengalir, mantan koresponden sebuah koran harian ibukota itu terpaksa beralih fungsi sebagai pengepul. Dahulu ketika pertama kali terjun di bisnis kenari, akhir 2001, ia menernaknya sendiri. Namun, sekarang tidak lagi. “Bagaimana mungkin saya mau ternak, saat dijemur di halaman, ada orang datang langsung diminta. Kecepatan produksi dan permintaan tidak seimbang,” ujar ayah 2 putra itu. Sekarang Ridlo menampung kenari dari peternak di sekitar Yogyakarta.
Maraknya perniagaan kenari juga menarik Argo Pambudi. Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta itu mengembangkan 7 indukan di halaman samping rumahnya. Dalam waktu 25 hari 10—15 piyik berhasil didapat. Anakan F1 paling cepat laku dengan harga tinggi, Rp250.000—Rp750.000. Pasalnya, ia terbukti unggul di setiap kontes. Ongkos pemeliharaan relatif rendah. “Cuma Rp10.000—Rp15.000 per ekor tiap bulan,” ungkap alumnus UGM itu. Untuk urusan pasar Argo tidak perlu repot lagi. Berbekal aktif di perkumpulan pecinta kenari, informasi tentang produknya tersebar dengan sendirinya.
Hobi menguntungkan
Selain Argo, ada Brigjen Purn. Noeryanto, mantan direktur Perbekalan dan Angkutan Angkatan Darat. Berawal dari hobi sejak kecil, siapa sangka jika ayah 4 anak itu sekarang menjadi salah satu peternak besar di Yogyakarta. Di sepetak lahan di belakang rumah, 200 kenari berbagai umur dipelihara untuk memenuhi permintaan 10—15 piyik per minggu. Meski tidak murni berbisnis, toh permintaan tetap deras mengalir. “Sehari ada 10 orang yang datang dan tanya-tanya,” ujar Cahyono, pengurus kenari milik Noeryanto. Memelihara kenari dilakukan Noeryanto sebagai pengisi waktu pada hari pensiunnya.
Di Solo ada Sholahudin Machrus. Alumnus Universitas Brawijaya Malang itu memutuskan keluar dari sebuah perusahaan swasta 3 tahun lalu dan terjun di kenari. Dari semula 1 jantan dan 3 betina, kini ia sibuk mengurus 20 indukan betina, 1 jantan yorkshire, dan 4 jantan holland. Indukan dan anakan dipelihara dalam ruangan 8 m x 1,5 m.
Piyik dibawa ke pengepul di Klaten, Jawa Tengah. Kadang ada pehobi yang langsung datang ke rumahnya di daerah Laweyan, Solo. Harga di pengepul memang lebih rendah, tetapi hal itu ditempuh suami Nuri A. Rahmawati lantaran kebutuhan dana segar sudah mendesak. Dalam sebulan Udin—panggilan akrab Sholahudin—menjual 10—15 piyik, 4 ekor merupakan anakan F1 yang harganya tinggi.
Indukan diburu
Imbas bisnis kenari juga dirasakan para penyedia yorkshire, induk jantan F1. Sampai saat ini kebutuhan yorkshire harus dipasok dari Belanda atau Jerman. “Ternaknya sulit,” kata Kian Shing, importir kenari di Yogyakarta. Antara Desember—Maret lalu, Kian Shing sudah 4 kali mengimpor yorkshire dari Belanda. Impor hanya dilakukan di akhir tahun, menyesuaikan dengan siklus penangkaran di negara asal.
Di luar masa itu, stok kosong. Harga pun melambung, mencapai Rp3-juta per ekor. Sekali memasukkan, 140 yang langsung ludes dalam 3 hari. Yorkshire siap kawin dihargai Rp1,25-juta per ekor. Gairah bisnis kenari tidak hanya milik peternak di Jawa Tengah. Di Jakarta ada Yudi Yanuarso Wijaya, yang khusus beternak kenari holland. Dengan 88 indukan, setiap hari pemilik Taurus Bird Farm itu menjual 20—30 piyik umur 1 bulan seharga Rp350.000—Rp500.000 per ekor. Menurut Yudi kontes memicu bisnis kenari.
Walaupun tidak seramai di Yogyakarta, satu kontes kenari di Jakarta diikuti oleh 50—60 peserta. Berbeda dengan pasar di Jawa Tengah, konsumen di Jakarta tidak fanatik dengan anakan F1. “Standarnya warna dan bunyi saja,” ujar Yudi. Harga kenari dewasa siap kontes lebih dari Rp1-juta. “Hobiis lebih suka piyik, bisa diaturatur suaranya,” ungkapnya lebih lanjut.
Asal telaten
Sebenarnya wajar jika anggota famili Fringilidae itu makin marak. Manisnya keuntungan berbanding terbalik dengan kendala budidaya. “Kenari itu salah satu burung yang paling mudah diternak. Ia sudah terdomestikasi dan jinak,” ujar Edi, yang juga ahli burung dari UGM. “Kuncinya hanya satu, telaten merawat,” ujar Noeryanto. Peternak harus pintar-pintar memilih posisi sangkar, rajin menjemur dan menjaga kebersihan kandang. Jika tidak diikuti, bukan laba yang didapat, tapi piyik gagal menetas. Pengalaman Budi Santoso, hobiis di Manisrenggo, Klaten, bisa dijadikan contoh.
Ketika mulai beternak pada awal 1998, ia menempatkan sangkar 1 m dari genting rumah. Ternyata suasana panas yang terus menerus menyebabkan telur gagal menetas, bahkan mengering. Kegagalan ini berulang hingga 3 kali.
Isu fl u burung yang mengemuka belakangan ini pun sempat menciutkan peternak dan hobiis. Namun, dari hasil pantauan Trubus di Yogyakarta, Solo, Klaten, dan Jakarta, perniagaan kenari tetap marak. Peserta kontes tidak mengalami penurunan, pun dengan permintaan kenari di peternak. “Bahkan banyak permohonan untuk membuka Papburi di daerah, seperti di Madura, Kudus, Madiun, dan Jakarta,” kata Edi.
Kendala mungkin dihadapi para importir. Pasalnya pihak karantina di negara asal dan Indonesia berhati-hati menanggapi isu fl u ini. Namun, Kian Shing yang berencana mendatangkan 175 yorkshire dari Belanda akhir tahun ini tetap optimis. Kebutuhan kenari dewasa tetap bisa terpenuhi. Kicauan kenari memang masih merdu. (Laksita Wijayanti)