Monday, March 3, 2025

Sentra Lengkeng Bermula dari 150 Bibit

Rekomendasi

Merawat lengkeng hingga berbuah di kebun membuat warga tertarik mengikuti.

Sri Sunaryo menjadikan Dukuh Timur kawasan agrowisata lewat lengkeng. (Dok. Sri Sunaryo)

Trubus — Sebanyak 18 pohon lengkeng tumbuh di pelataran depan, samping, dan belakang aula tanpa dinding seluas 120 m². Sri Sunaryo—sang pemilik aula beratap joglo itu—menanamnya pada Januari 2016. Hanya 2 tahun berselang, pada November 2018, pohon-pohon Dimocarpus longan itu berbuah. Total 150 pohon lengkeng jenis kateki milik warga Dukuh Timur, Desa Selomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta mengeluarkan dompolan buah menggiurkan pada November 2018.

Kabar lengkeng berbuah membuat dukuh kecil di tepi jalan alternatif Kalasan—Pakem itu heboh. Masyarakat sekitar penasaran ingin melihat dan mencicipi. Alhasil, meski setiap pohon menghasilkan 30—40 kg sehingga total ada 4,5—6 ton buah di Dukuh Timur, semuanya ludes dalam 2 bulan. Padahal Sunaryo membanderol Rp35.000 per kg. Ketika Trubus berkunjung pada Februari 2019, pohon di aula joglo itu tidak menyisakan lengkeng sebuah pun.

Hasil menggiurkan

Ke-150 pohon lengkeng itu bermula dari kunjungan pegiat lengkeng di Desa Telaga, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Isto Suwarno ke Dukuh Timur pada akhir 2015. Meski berbeda kabupaten dan provinsi, tempat Isto hanya sekitar 7 km dari Dukuh Timur. Merasa dibesarkan oleh lengkeng (baca “Isto Suwarno, Sebelas Tahun Membangun Mimpi”, Trubus Maret 2009), Isto giat mengajak masyarakat di sekitarnya menanam lengkeng. Kala itu Isto mengajak rekan-rekan anggota klub mobil yang ia ikuti untuk membagikan 100 bibit lengkeng di Dukuh Timur.

Lengkeng kateki menjadi andalan mengundang wisatawan. (Dok. Trubus)

Tumbuh dan besar di lingkungan pertanian, Sri Sunaryo yang juga menjabat kepala Dukuh Timur paham potensi pohon-pohon mungil yang Isto bagikan. Ia pun berbagi pikiran dengan kepala desa agar mengucurkan bantuan untuk memperbanyak pengadaan bibit lengkeng. Kepala Desa Selomartani, Nur Widayati, S.H., sepaham dengan ayah 2 anak itu. Nur mengucurkan Rp2 juta dari kas desa untuk membeli 50 bibit tambahan dari Isto seharga Rp75.000 per batang sehingga tersedia 150 bibit siap tanam.

Saat berbuah, pohon lengkeng di aula joglo
menjadi daya tarik agrowisata. (Dok. Trubus)

Warga yang ingin memiliki bibit itu hanya membayar Rp50.000 dari harga asli Rp75.000 sehingga terkumpul dana Rp7,5 juta. “Warga lebih serius merawat kalau merasa membeli,” ungkap Sunaryo menjelaskan alasannya mengharuskan warga membayar. Minus selisih pembelian bibit tambahan yang sebagian dibantu kas desa, tersisa Rp5,75 juta. Dana itu menjadi modal awal Kelompok Sadar Wisata (pokdarwis) Buah Manis yang Sunaryo dirikan setelah bibit lengkeng tertanam.

Kini hampir semua warga Dukuh Timur—total 176 kepala keluarga—menanam lengkeng di pekarangan mereka. Total ada 500 pohon lengkeng kateki, termasuk 150 tanaman dari penanaman pertama pada 2016. Warga yang memiliki pohon rambutan, mangga, atau jambu menebang pohon mereka tanpa ragu untuk memberi tempat bagi lengkeng. “Lengkeng jauh lebih menguntungkan ketimbang menanam padi,” kata Sunaryo.

Pohon lengkeng menggantikan pohon mangga atau rambutan di pekarangan warga. (Dok. Trubus)

Pria berusia 50 tahun itu memberi gambaran. Sebatang pohon menghasilkan minimal 30 kg buah seharga Rp35.000 per kg per tahun sehingga memberi pemasukan Rp1,05 juta. Jika setiap keluarga memiliki 10 tanaman, itu berarti mereka mendapat pemasukan ekstra Rp10,5 juta per tahun. Apalagi pembuahan kateki bisa diatur sesuai keinginan agar buah tersedia sepanjang tahun. Toh, bukan berarti Sunaryo mengajak warga berhenti bertani padi. “Tidak ada yang berniat menanam lengkeng di tengah sawah. Lengkeng hanya ditanam di pematang, tapi prioritas di pekarangan,” katanya.

Ajari memangkas

Sri Sunaryo membagikan pengetahuan merawat lengkeng, termasuk cara memangkas. (Dok. Trubus)

Pekarangan dekat rumah menjadikan pemilik mudah merawat pohon. Dengan perawatan intensif, produksi jadi optimal. Perawatan yang Sunaryo maksudkan adalah pemupukan, penyiangan, pemangkasan, dan pemberian perangsang buah (booster). Pemupukan wajib dimulai sebelum menanam dengan membenamkan 10 kg kompos per pohon. Berikutnya ia menganjurkan pengulangan pemberian kompos 5—6 bulan sekali, sedangkan pupuk majemuk sebulan sekali. Penyiangan gulma juga salah satu hal vital agar hama penyakit tidak bersarang di tanah.

Sejak warga Dukuh Timur giat menanam lengkeng, kegiatan Sunaryo bertambah. Setiap hari pada pagi dan sore ia keliling kampung sembari menggenggam gunting pangkas. Ia memangkas tunas air, cabang nonproduktif, serta merompes buah yang gagal terbentuk. Ia melakukannya di lahan sendiri, sementara di pekarangan warga ia menunjukkan cara memangkas dan bagian yang perlu dipangkas.

Maklum, meski mayoritas warga Dukuh Timur berlatar belakang pertanian, tidak banyak yang paham cara mengoptimalkan produksi tanaman buah. Sukses menjadikan Dukuh Timur kawasan agrowisata, lengkeng hanya bagian pertama dalam rencana Sunaryo. Ia berencana membuat wisata kuliner dan rumah tinggal agar pengunjung makin banyak dan mau menginap barang 1—2 malam. Aula joglo yang terletak di samping rumahnya itu menawarkan pemandangan eksotis, yaitu lereng gunung Merapi. Lengkeng menjadi langkah awal Sunaryo menggairahkan agrowisata di Dukuh Timur. (Argohartono Arie Raharjo)

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Daya Tarik Padi Jarwo

Hamparan sawah untuk budidaya padi jajar legowo menjadi daya tarik wisatawan. Trubus.id-“Mulyaharja ini surga tersisa di Kota Bogor.” Muhammad Khoerudin...

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img