Pertumbuhan sengon solomon dua kali lebih cepat dibanding sengon lokal. Pada umur tiga tahun diameter sengon solomon mencapai 25 dan tinggi batang lurus 20 m.
Suara menderu mesin pemotong itu merobek keheningan siang Desa Kebonsari, Kecamatan Temanggung, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Dalam hitungan menit, sebatang pohon sengon rebah ke tanah. Hari itu Agus Sumarmo menebang 100 batang sengon berumur 5 tahun secara borongan. Agus menjual borongan, bukan per kubik, karena lebih praktis. “Pemborong datang, menaksir, membayar, lalu ketika dia menebang saya tinggal pulang,” tutur Agus.
Pemborong membanderol kayu Paraserianthes falcataria itu Rp2-juta per batang berdiameter 50 cm. Jika diameter 30 cm harganya Rp750.000 dan diameter 25 cm, Rp450.000 per batang. Agus bungah meraup omzet Rp80-juta pada pengujung 2012 itu. Pohon berumur 5 tahun diameter batang 50 cm? Harap mafhum Agus memang menanam sengon solomon, bukan sengon biasa! Diameter sengon biasa pada umur 5 tahun itu rata-rata hanya 25 cm.
Asli Solomon
Menurut perhitungan Agus, sebatang solomon berumur 5 tahun itu dengan batang bebas cabang sepanjang 15-20 meter mampu menghasilkan 0,9-1,1 m3. Agus mendapati 10 pohon berdiameter 50 cm sehingga setara 9-11 m3. Bandingkan dengan kubikasi sengon lokal pada umur 5 tahun dengan tinggi batang bebas cabang rata-rata hanya 8-10 meter. Oleh karena itu sebatang sengon lokal hanya menghasilkan 0,7-0,9 m3. Meski meraksasa, biaya produksi sengon solomon relatif sama dengan sengon biasa. Agus hanya mengeluarkan biaya perawatan rata-rata Rp2.500 per pohon per tahun.
Ketika panen, dari 100 pohon terdapat 10 pohon berdiameter batang 50 cm. Artinya sengon solomon di kebun Agus memang bongsor. Riap tumbuh rata-rata 10 cm per tahun. Itu dua kali lipat riap tumbuh sengon lokal. Di kebun Agus masih tersisa 400 pohon solomon hasil penanaman pada 2006-2007. Pohon-pohon yang kini berumur 7-8 tahun itu berdiameter 60-75 cm. Agus tidak berencana memanen karena pohon-pohon itu akan dijadikan indukan.
Pekebun sengon sejak 2004 itu memperoleh benih solomon dari Dr Eko Bhakti Hardiyanto, peneliti di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada pada 2006. Adapun Eko Bhakti mendapatkan benih dari Pusat Benih Tanaman Kehutanan Asean (AFTSC, Asean Forest Tree Seed Centre, sekarang menjadi Asean-Canada Forest Tree Seed Centre, red.) di Saraburi, Thailand, pada 1994. Pada 2002, seorang rekan di Kepulauan Solomon, Pasifik, mengirim sekilogram benih sengon solomon terdiri atas 20.000-25.000 biji kepada Eko. Menurut alumnus Departemen Kehutanan Michigan State University, Amerika Serikat itu harga benih solomon US$150 setara Rp1,2-juta jika kurs 1 US$ mencapai Rp8.500. Itu di luar ongkos kirim.
Saat itu harga benih sengon lokal belum genap Rp50.000 per kg. Selain memberikan kepada para kolega seperti Agus, Eko Bhakti juga menanam benih-benih itu di Kabupaten Muaraenim, Provinsi Sumatera Selatan dan tumbuh menjadi 49 pohon. Dalam 5 tahun terakhir, Eko mengamati pertumbuhan sengon solomon di lahan Agus Sumarmo dan di Pare, Kediri. Albasia pendatang itu terbukti bongsor. Pertambahan tinggi dan diameter mendahului sengon laut alias sengon lokal yang ditanam dengan perlakuan sama.
Pada umur 2 tahun, diameter solomon mencapai 8 cm dan tinggi 16 m, sementara sengon lokal baru berdiameter 7 cm dengan tinggi 12 m (lihat infografis: Pendatang vs Lokal). Pengamatan Agus, solomon berumur 8 tahun di lahannya bediameter 75 cm dengan tinggi batang lurus lebih dari 25 m. “Namun tidak semua bisa tetap lurus sampai setinggi itu. Beberapa pohon ada yang memunculkan cabang di ketinggian lebih dari 10 m,” tutur Agus.
Periset sengon solomon di Departemen Silvikultur, Institut Pertanian Bogor, Dr Ir Ulfah Juniarti Siregar, mengatakan, pertumbuhan sengon solomon dua kali lipat dibanding sengon lokal. Sudah cepat tumbuh, solomon tahan gempuran hama dan penyakit pula. Riset ilmiah membuktikan bahwa pohon solomon resisten serangan kumbang serendang Xystrocera festiva penyebab hama boktor. Larva kumbang itu menggerek bagian dalam pohon sehingga pasar menolak kayu hasil gerekan (baca “Tak Mempan Serendang” halaman 20-21).
Karena nitrogen
Mengapa solomon tumbuh bongsor? Menurut Dr Irdika Mansur MForSc, ahli Silvikultur di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, tekanan alam itu yang membentuk sengon solomon lebih “bandel” ketimbang sengon lokal. Maklum, kepulauan Solomon, yang menjadi panggung utama pertempuran Pasifik ketika pasukan sekutu memukul balik posisi Jepang di Asia tenggara pada Perang Dunia II, terbilang “keras”. Angin kencang dari lautan berembus tanpa henti dan karakter daratan yang landai di zona tropis menjadikan periode penyinaran harian genap 12 jam atau lebih. “Namun kondisi keras itu justru menguntungkan tanaman yang mampu bersimbiosis dengan makhluk lain,” tutur Irdika.
Sengon anggota famili Fabaceae alias kacang-kacangan menyediakan rumah bagi bakteri pengikat nitrogen di bintil akar. Bakteri memperoleh makanan karbohidrat hasil fotosintesis daun, sementara akar memperoleh asupan nitrogen siap saji dalam bentuk ion nitrit yang ditangkap bakteri dari udara. Menurut Ir Yos Sutiyoso, pakar Fisiologi Tanaman di Jakarta, asupan nitrogen berguna untuk pertumbuhan vegetatif, antara lain pertunasan daun. Itu menjelaskan karakter daun sengon solomon yang relatif lebih lebar daripada sengon lokal.
Irdika menduga, daun lebar itu membuat sengon solomon mampu menangkap lebih banyak sinar matahari sehingga fotosintesis lebih cepat dan menghasilkan lebih banyak karbohidrat. Hasil akhirnya, tanaman tumbuh bongsor dalam waktu lebih singkat. Agar potensi bongsor solomon terwujud, pekebun idealnya. “Menanam sengon solomon di tanah subur berdrainase baik berketinggian 0-300 meter di atas permukaan laut,” tutur Eko Bhakti, pengajar mata kuliah Pembibitan Pohon di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada itu. Syarat itu mutlak kalau pekebun ingin pohon tumbuh optimal.
Hambatan
Sengon solomon seolah begitu mengilap: bongsor dan tahan hama atau penyakit. Namun, sejatinya mengebunkan solomon banyak hambatan menghadang. Calon pekebun yang berhasrat mengebunkan solomon boleh jadi sulit memperoleh benih. Itu antara lain karena pohon baru berbunga dan berbuah pada umur hampir 9 tahun. Jamak terjadi, produsen bibit mengail di air keruh. Saking banyaknya permintaan, produsen menyeleksi benih sengon lokal yang berukuran besar dan melabeli sebagai solomon (baca: “Beda Solomon dan Lokal” halaman 16-17).
Hanya itu? Aral lain siap menghadang para pekebun sengon (baca boks “Sandungan Tak Kunjung Sudah” halaman 13). Namun, jika pekebun mampu melampaui beragam hambatan, berkebun solomon menjanjikan laba besar. Sengon tetap menjadi pilihan banyak orang. Menurut Ulfah, rantai perniagaan sengon sejak bibit sampai tebang sudah lama terbentuk, terutama di Jawa dan sebagian Sumatera. “Kalau menanam sengon, saya pasti bisa jual. Tapi kalau kayu lain belum tentu,” tutur dr Yuno Abeta Lahay di Bogor, Jawa Barat.
Dokter itu menanam 10.000 bibit sengon solomon di lahan 10 ha miliknya di Kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pada Februari 2014, Yuno menjarangkan 50 pohon berumur 3.tahun. “Saya jual pohon yang kuntet, terserang cendawan, atau pertumbuhannya jelek parah. Sebenarnya pertumbuhan bagus, terbukti pohon-pohon jelek itu saja diameternya 15-20 cm dalam 3 tahun,” tutur Yuno. Dari penjarangan itu omzetnya Rp6-juta. Saat Trubus mengunjungi lahan Yuno pada April 2014, diameter pohon-pohon mencapai 25 cm dengan batang lurus nircabang menjulang kira-kira setinggi 20 m.
Sukandar, manajer pengadaan bahan baku industri kayu lapis di Balaraja, Tangerang, PT Sumber Graha Sejahtera, menyatakan, tidak ada kayu yang mampu menggantikan pasokan sengon setidaknya hingga 5 tahun ke depan. “Importir di negara tujuan menanti kiriman produk. Saking butuhnya, sekarang mesin yang menyesuaikan ukuran kayu, bukan kayu yang harus sesuai kapasitas mesin,” kata Sukandar.
Produsen pabrik kayu lain, PT Serayu Makmur Kayuindo di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mendatangkan sengon dari Jawa Barat bagian selatan agar produksi tetap berjalan. Menurut Priyono, general manajer Serayu Makmur, mereka menanam jabon untuk pengganti bagian face dan back alias pelapis luar. “Namun bagian core alias tengah kayu lapis tetap memerlukan sengon,“ ungkap Priyono.
Artinya, selama mesin-mesin itu berjalan, baik Serayu Makmur Kayuindo maupun Sumber Graha Sejahtera tetap memerlukan pasokan sengon. Itu sebabnya kehadiran solomon yang tumbuh 2 kali lebih cepat, 2 kali lebih besar, dan 2 kali lebih tinggi bakal menjadi jawaban. Apalagi harga jual cenderung meningkat. Menurut Sukandar, saat ini harga jual kayu sengon rata-rata mencapai Rp1,1-juta per m3. Itu meningkat ketimbang harga pada 2013 yang mencapai Rp950.000 per m3.
Mutu kayu
Banyak produsen kayu yang berebut kayu sengon membuktikan pasar masih terbuka. Itu sekaligus indikasi kualitas kayu solomon sesuai kebutuhan pasar. Sebagian orang meragukan kualitas solomon yang pertumbuhannya meraksasa. Menurut Dr Ulfah Juniarti Siregar kualitas sengon solomon persis sama dengan sengon lokal. “Keduanya sama-sama sengon dari spesies sama sehingga karakter batang pun akan sama,” ujar doktor Genetika Tanaman alumnus Universitas Kyoto, Jepang itu.
Ulfah mencontohkan kualitas JPP, jati genjah rilisan PT Perhutani. Penelitian lanjutan membuktikan, sifat JPP berumur 10 tahun-masa optimal pertumbuhannya-sama dengan jati hutan yang optimal pada umur 40 tahun. Atas dasar itu Ulfah yakin bahwa sengon solomon dan sengon lokal berdiameter sama-sama 30 cm akan mempunyai sifat sama, terlepas dari faktor umur solomon yang 2 tahun lebih muda.
Pantas kian banyak orang yang mengebunkan sengon. Buktinya permintaan bibit relatif banyak. Menurut Iwan Gunawan, bagian produksi PT Bio Hutanea, permintaan bibit solomon relatif stabil, 30.000-50.000 bibit per bulan. Aryka Mai Tridasa, penangkar benih di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, mendirikan PT Bio Hutanea, menempuh langkah praktis, memperbanyak solomon dengan cara kultur jaringan.
Para calon pekebun tertarik membudidayakan sengon karena komoditas itu genjah alias cepat panen. Apalagi jika pekebun membudidayakan solomon, waktu panen bakal kian cepat, hampir separuh dari waktu budidaya sengon lokal. Penyakit karat tumor yang selama ini menghantui pun dapat diatasi dengan bahan sederhana. (Argohartono Arie Raharjo/Peliput: Kartika Restu Susilo, Riefza Vebriansyah, dan Rosy Nur Apriyanti)