Upaya meningkatkan kadar vanilin pada polong vanili.
Senyawa vanilin salah satu penentu mutu vanili. Menurut dosen di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si, selama ini kualitas dan kadar vanilin pada vanili kering Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan potensinya.
Penyebabnya petani memanen polong muda. Selain itu proses curing atau pelayuan kurang sempurna. Padahal, pembeli menghendaki kandungan vanilin yang tinggi. Meski kadar vanilin tidak secara langsung sebanding dengan kualitas aroma vanili. Dwi menuturkan, salah satu cara memperbaiki kualitas vanili adalah dengan memodifikasi proses pelayuan. Ia bersama tim meneliti peningkatan kadar vanilin pada polong vanili menggunakan beberapa perlakuan.
Aktivator enzim
Melalui penelitian Dwi mempercepat penetrasi aktivator enzim alfa-glukosidase ke dalam polong vanili agar waktu perendaman lebih singkat. Enzim itu berfungsi memecah glukovanilin menjadi vanilin dan glukosa sehingga kadar vanilin polong vanili meningkat. Ia membandingkan pengaruh penyayatan dan penusukan buah dengan buah utuh terhadap aktivitas enzim alfa-glukosidase dan kadar vanilin setelah perendaman dengan aplikasi tekanan.
Hasil penelitian menunjukkan nilai aktivitas enzim alfa-glukosidase polong vanili utuh lebih tinggi dibandingkan dengan vanili yang disayat dan ditusuk. Aktivitas enzim vanili utuh lebih tinggi rata-rata 1,15 kali aktivitas enzim polong segar. Adapun aktivitas enzim vanili sayat dan tusuk masing-masing hanya 0,87 dan 0,81 kali buah segar. Dalam penelitian itu Dwi membandingkan tiga kelompok uji.
Ia menyayat kelompok polong dan menusuk pada kelompok polong lain serta merendam dalam larutan butanol berkonsentrasi 0,1 molal (M) dan 3 milimolal (mM) sistein menggunakan infiltrasi vakum. Kedua senyawa itu berperan meningkatkan aktivitas enzim alfa-glukosidase dalam polong vanili. Kelompok ketiga berupa polong utuh. Dwi menduga penyayatan dan penusukan pada polong menyebabkan dinding dan membran sel rusak sehingga integritas sel berkurang.
Pengeluaran air dari dalam sel juga terjadi lebih cepat. Air diperlukan untuk proses katalitik dan mempertahankan sifat fleksibilitas enzim. Selama perendaman itu Dwi juga memberikan tekanan vakum berbeda, yaitu 5 kilopaskal (kPa), 50 kPa, dan tekanan normal (100 kPa) selama 5, 10, 20, 30, dan 40 menit.
Pengeringan
Teknik infiltrasi vakum tekanan 5 kPa selama 10 menit menghasilkan aktivitas enzim dan kadar vanilin lebih tinggi dibanding tekanan vakum 50 kPa, tekanan normal (100 kPa), dan tekanan tinggi 150 kPa. Pengeringan absorpsi tidak dapat menstabilkan kadar vanilin yang diperoleh selama lima hari pertama pengeringan (1% bk). Kadar vanilin yang diperoleh dari pengeringan absorpsi hanya 0,82% bk.
Waktu pengeringan juga lebih lama, yakni 17—21 hari. Semula diperkirakan suhu yang relatif rendah pada pengeringan absorpsi dapat melindungi vanilin dari oksidasi maupun degradasi akibat panas. “Kemungkinan adanya panas tetap diperlukan untuk pembentukan vanilin,” tutur Dwi. Pengeringan dengan oven microwave juga tidak dapat menstabilkan kadar vanilin yang diperoleh dari lima hari pertama pengeringan.
Pengeringan menggunakan oven microwave hanya mampu menghasilkan kadar vanilin 0,49% bk meski waktu pengeringan sangat cepat, yaitu hanya 5 hari. Pengeringan menggunakan oven suhu 60ºC selama 3 jam per hari meningkatkan kadar vanilin menjadi 1,40% (bk) dalam waktu 15—19 hari. Kadar itu lebih tinggi dibandingkan dengan metode standar (Balitro II) yang hanya 0,96% dalam waktu 13—16 hari. “Curing vanili dengan pengeringan absorpsi dan microwave tidak tepat untuk diaplikasikan,” kata Dwi. (Imam Wiguna)