Fermentasi meningkatkan khasiat herbal.
Konsumsi satu sloki ramuan herbal memberikan khasiat setara minum segelas jamu. Itulah tujuan produsen ramuan herbal di Kota Salatiga, Jawa Tengah, Ahmad Budiharjo. Ia menggunakan rimpang temulawak, jahe, kunyit, yang juga merupakan bahan utama jamu produksi pembuat jamu maupun produsen lain racikan herbal. Menurut Budiharjo konsumen biasanya meminum segelas (200 ml) racikan herbal itu.
Padahal, “Tidak semua orang suka rasa jamu,” kata alumnus Jurusan Teknik Arsitektur Lanskap Universitas Trisakti itu. Semua produk racikannya melalui proses fermentasi. Budi—panggilannya—tidak mengkulturkan sendiri mikrob fermentor itu. Pria 65 tahun itu menggunakan ragi dari toko bahan roti. Ia lantas menambahkan nektar kelapa—air nira kelapa yang diolah tanpa pemanasan—sebagai “makanan” ragi itu.
Berbagai herbal
Budi menyatakan, penambahan ragi memekatkan konsentrasi ramuan sehingga konsumsi sedikit saja khasiatnya sama. Konsumen cukup meminum satu sloki (15–20 ml) tiap kali konsumsi untuk memetik manfaat konsumsi segelas jamu. Budi memfermentasi berbagai produk herbal antara lain beras merah, bit merah, bunga telang, atau daun moringa. Aneka rimpang seperti jahe, kunyit, dan temulawak juga difermentasi.
Semua berupa racikan, bukan herbal tunggal. Beberapa komponen yang ia gunakan terbilang tidak lazim. Di produk biometa misalnya, ia menambahkan cabai, nanas, dan tempe. Nanas tinggi kandungan bromelain yang efektif mengikis kolesterol, sementara tempe kaya probiotik. Cabai kaya vitamin C dan mengandung kapsaisin yang meningkatkan suhu tubuh dan mempercepat sirkulasi darah. Selain itu, Budi juga menambahkan beras merah, beras hitam, dan sari kurma pada biometa.
Kendala menggunakan ragi dari pasaran adalah kandungannya tidak terstandar. Proses sama, bahan sama, tapi ragi berbeda niscaya menghasilkan produk dengan rasa berlainan.
Budi selalu menggunakan merek ragi yang sama demi menghasilkan produk dengan rasa seragam. Oleh karena itu, ia memilih membeli sebelum memproses agar selalu mendapat ragi baru.
Menurut Budi ragi mengandung khamir Saccharomyces sp. yang mengurai kandungan tepung dalam rimpang. Setelah tepung terurai, tubuh lebih mudah menyerap kandungan berkhasiat dari rimpang atau herbal lain. Pembuatan racikan herbal terfermentasi itu sederhana dan bisa dilakukan siapa pun. Budi menghaluskan bahan-bahan rimpang, mengambil airnya, lalu mendidihkan. Setelah dingin, ia menambahkan nektar kelapa dan ragi lalu memasukkan dalam botol.
Produk siap konsumsi setelah fermentasi dua pekan. Nektar kelapa bisa diganti gula pasir atau gula merah 20–30 gram dan 5 gram ragi per 200 ml ekstrak atau sesuai selera. Peracik tanaman obat itu menumbuk halus ragi untuk kemudahan penggunaan. Sebaiknya gunakan ragi baru, cari di toko atau kios yang ramai sehingga stok tidak menumpuk lama.
Meningkatkan mineral
Periset mikrobiologi di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Haryo Bimo Setiarto, S.Si., M.Si. menyatakan, fermentasi menggunakan khamir dilakukan sejak ratusan tahun silam pada masa nenek moyang. Khamir mampu memproduksi amilase untuk menguraikan gula kompleks dari tepung menjadi glukosa sehingga hasil fermentasi terasa manis. Menurut Haryo khamir menjadikan hasil dan proses fermentasi terarah dan terkendali sehingga menghasilkan produk sesuai keinginan.
Hasil penelitian periset Jurusan Hasil Teknologi Pertanian Univesitas Lampung, Dr. Dra. Maria Erna Kustyawati, M.Sc., khamir meningkatkan kadar protein tepung dan menurunkan kadar amilumnya. Selain itu fermentasi zat tepung dengan khamir meningkatkan kadar zat besi (Fe), magnesium (Mg), dan kalsium (Ca) bahan makanan terfermentasi. Ketiganya unsur mineral yang diperlukan tubuh.
Purnatugas periset Pusat Teknologi Agroindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (PTA BPPT), Serpong, Prof. Dr. Bambang Hariyanto, M.Si. menyatakan khasiat bahan herbal teruji secara empiris selama ratusan tahun. Kini tinggal menambahkan bukti ilmiah secara klnis, terutama untuk herbal terfermentasi. Sejak pandemi, Budi banyak mengirimkan produknya kepada tenaga kesehatan di berbagai daerah yang menangani pasien virus korona.
Menyelamatkan Ayam
Selain jamu, Ir. Ahmad Budiharjo juga membuat pupuk hayati. Petani di Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah membuktikan keampuhan pupuk itu ketika terjadi erupsi besar pada 2010. Padi berumur 25 hari yang terkubur abu vulkanik kembali bangkit begitu diguyur hujan. Saat pandemi flu burung pada 2005, rekan Budi yang memelihara sejuta ayam potong hampir bangkrut gara-gara 800.000 ayamnya mati.
Dari sisa 200.000 ekor, Budi mempersilakan sang rekan memberikan ramuan—yang sebenarnya pupuk hayati—untuk 100.000 ekor. Sisanya diberi obat buatan pabrik. Sebanyak 100.000 ekor yang mendapat ramuan herbal itu, 80.000 bertahan sampai panen. Adapun 100.000 ekor lainnya, yang diberi obat pabrikan, akhirnya mati. Budiharjo produsen herbal di Kota Salatiga, Jawa Tengah menggunakan bahan temulawak, kunyit, atau jahe—analog dengan bahan produk minuman herbalnya yang laku keras saat pandemi merebak. (Argohartono Arie Raharjo)